Masih ingat kan, di cerita terakhir, kita lagi berusaha tidak menolak diri sendiri sebelum ditolak perusahaan? Sekarang bayangkan kalau kita sudah di tahap interview, duduk berhadapan dengan user. Terus mereka tanya, “How do you see yourself in 5 years?” Padahal, rencana minggu depan saja masih tergantung dari apakah dapat kerjaan ini atau tidak.
Karena kita lagi tidak bisa berwisata ke tempat lain, bagaimana kalau kita berwisata ke waktu lain? Karena kalau dipikir-pikir, saat mengenang sesuatu dengan mendalam, kita lagi berkunjung sejenak ke masa lalu. Kalau lagi nonton series atau baca buku yang seru banget, kita terbawa ke periode waktu yang berbeda. I’ve said this before: the mind is a terrible thing to waste. Pikiranmu bisa membawamu masuk lubang, tapi juga bisa membawamu berjelajah empat dimensi.
Pikiranmu bisa membawamu masuk lubang, tapi juga bisa membawamu berjelajah empat dimensi.
Nah, serunya menjelajah ke masa depan adalah, masih kosong. Atau mungkin juga terlalu penuh khayalan, jadi tidak tahu mana yang harus diikuti. Tapi sebenarnya kemampuan untuk melihat diri sendiri di masa depan itu bisa dilatih. Misalnya, bayangkan di dinding kamarmu ada pajangan foto. Bukan foto dari 10 tahun lalu, tapi foto di 10 tahun ke depan. Bayangin aja. Misalnya umurmu sekarang 22, jadi ini adalah foto dirimu di umur 32. Seperti apa foto ini? Lagi di mana? Apakah lagi naik gunung? Wisuda? Foto sama anak? Rambutnya panjang atau pendek? Ekspresinya lagi senyum atau ketawa lepas?
Kalau fotonya sudah kebayang, baru deh dipikirkan ceritanya. Gimana bisa sampai ke situ dalam 10 tahun? Try it, and you might be surprised. Enaknya masa lalu adalah, benar-benar bisa dipegang, ada buktinya, ada fotonya, ada sertifikatnya. Tapi sebenarnya masa depan juga bisa dipegang, bisa dibuat, bisa dimainkan. Dan buat yang udah punya pasangan, ini lebih berguna lagi. Kalian mau foto bersama dalam 10 tahun lagi pakai baju apa nih? Mungkin kesannya akan memicu peperangan, tapi sebenarnya peperangan ini perlu, kan? Kalian perlu satu visi.
Ada juga cara lain, yang namanya scenario building. Intinya, kalau ada terlalu banyak kemungkinan, pilih saja dua. Buat yang paham programming, pasti paham konsep if-then-else, atau A/B testing. Misalnya, faktornya adalah Penghasilan dan Waktu Luang. Kalau kita kerja kantoran, pemasukan stabil, tapi waktu luangnya akan sedikit sekali. Kalau kerja freelance, ada waktu, tapi keuangan tidak terjaga. Kalau banyak uang dan waktu? Mungkin kesannya itu ideal scenario, tapi coba kalian bayangkan dulu. Kalau benar-benar sampai kejadian di mana keuangan dan waktu berlimpah, apa kesibukan kalian di skenario itu? Dan tentunya, jangan lupa kuadran terakhir. Misalnya kalau mau usaha sendiri, itu akan makan waktu, tapi penghasilan belum pasti. Makanya kita perlu tabungan, untuk siap-siap menghadapi worst case scenario.
Dalam hidup ini, kita akan melewati keempat kuadran ini. Itu pasti. Jadi coba diantisipasi. Karena worst case maupun best case sama-sama bisa membuat manusia kehilangan arah. Jadi selain persiapan tabungan, perlu juga ada tujuan hidup yang lebih besar. Tujuannya supaya tetap merasa berguna, walaupun sudah tidak perlu bekerja lagi.
Worst case maupun best case sama-sama bisa membuat manusia kehilangan arah.
Okay, hal terakhir. Mungkin ada yang bilang, untuk apa berandai-andai soal ke depan? Kan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Buat saya, mantranya seperti ini: langkah awal dalam memecahkan masalah adalah melihat masalah itu sebagai hal yang bisa dipecahkan. Saat ini kita hidup dalam masa di mana mudah sekali merasa helpless, seolah kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, bermainlah dengan masa depan, karena sekarang waktunya. Sekarang kita lagi menunggu pandemi berakhir. Tapi kalau sudah lewat, apakah hidup kita mau sama saja seperti masa lalu?
Langkah awal dalam memecahkan masalah adalah melihat masalah itu sebagai hal yang bisa dipecahkan.
By the way, di 2022, saya akan punya foto di mana saya lulus dari kuliah saya saat ini. Kalau kalian, foto masa depannya seperti apa?