Ritme kehidupan yang bergerak begitu cepat, terkadang membuat kita terpaksa bergulat dengan rasa frustrasi. Kegelisahan dan kekesalan yang lahir karena tidak sanggupnya kita untuk mengikuti arus waktu dengan pekerjaan yang menumpuk dan menunggu untuk diselesaikan. Rasanya 24 jam dalam satu hari dan tujuh hari seminggu pun terasa tak cukup.
Ada kalanya kita ingin membeli tambahan waktu hanya untuk sekadar menyelesaikan yang belum sempat terurus di hari itu. Namun sebesar apa pun uang yang kita rela keluarkan untuk membeli waktu, sudah pasti kita tahu bahwa ia tidak dapat dibeli. Waktu adalah konsep dan ‘tidak punya cukup waktu’ hanyalah sebuah perasaan.
Kita dan manusia lainnya menjalani waktu yang sama. Namun yang membedakan setiap manusia adalah kemampuan dalam mengaturnya dan mengisinya dengan hal-hal yang berarti.
Ada satu kisah mengenai waktu yang pernah saya dengar – entah fiktif atau tidak, namun filosofi di dalamnya cukup menarik. Dalam sebuah kelas, seorang profesor mengisi sebuah toples berukuran sedang dengan bola golf dan menanyakan mahasiswanya apakah toples ini menurut mereka sudah penuh. Serempak mereka mengiyakan. Sang profesor kembali membuka toples dan kini mengisinya dengan batu kerikil yang ia goyang-goyangkan hingga mengisi sela-sela antara bola golf dengan dinding-dinding toples. Ia kembali menanyakan mahasiswanya hal yang sama dan diiyakan mereka. Lalu sang profesor kembali lagi membuka toples berisi bola golf dan kerikil. Kali ini ia mengisinya dengan pasir yang seketika langsung mengisi celah antara kerikil hingga memenuhi seluruh toples.
Setelah itu sang profesor kemudian menjelaskan makna eksperimen yang ia lakukan tersebut. Ia mengandaikan hidup bagai sebuah toples di mana bola golf merepresentasikan hal-hal terpenting seperti keluarga, sahabat, kesehatan, dan passion – hal-hal yang jika kita hanya ditinggalkan dengannya maka hidup kita masih ‘penuh’. Kerikil diibaratkan sebagai hal lain yang berarti – pekerjaan, status sosial, rumah, dan kendaraan. Sementara pasir ia anggap sebagai remeh-temeh, hal-hal kecil dalam kehidupan.
Logikanya, jikalau kita menempatkan pasir ke dalam toples terlebih dahulu maka tidak akan ada ruang untuk kerikil-kerikil dan bola golf. Berkaca dari analogi tersebut, begitu pula lah yang terjadi dalam hidup. Apabila kita terlalu banyak menghabiskan waktu dan energi untuk hal-hal kecil, takkan ada tempat bagi hal yang jauh lebih penting. Maka dari itu ada idiom “don’t sweat on small stuffs” yang mengajarkan kita agar tidak terlalu memusingkan hal-hal kecil yang justru tidak penting bagi kehidupan kita.
Permasalahan yang umumnya terjadi dalam kehidupan kita adalah ‘toples’ yang kita miliki tidak cukup besar untuk semua itu. Sederhananya, yang kita perlukan hanyalah mengatur mana hal-hal yang lebih penting untuk dimasukkan ke dalamnya. Jika kita melihat dari sudut pandang task management semacam itu, hidup sesungguhnya akan menjadi lebih mudah.
Kuncinya ada pada menyederhanakan ‘barang-barang’ yang kita miliki. Memilah-milih mana yang perlu dan mana yang tidak. Mulai lah dengan memberi perhatian lebih pada apa yang kita lakukan. Terkadang apa yang kita lakukan sehari-hari tanpa sadar hanyalah ‘sampah’ yang memenuhi toples waktu kita. Beri perhatian pada komitmen-komitmen yang kita buat – mulai dari janji untuk menemani sahabat berbelanja, undangan pesta-pesta sosial, dan lain sebagainya. Mungkin ada baiknya kita belajar untuk mulai berkata ‘tidak’ bagi komitmen-komitmen yang nyatanya tidak memberi dampak apapun bagi diri kita pribadi.
Dengan memilah-milih to-do list kita sehari-hari, artinya kita mulai membangun kesadaran untuk menjaga ‘toples’ kita. Jadikan waktu yang kita miliki seperti sebuah anugerah yang terbatas, berharga, dan hanya layak untuk diisi dengan benda-benda terbaik. Jangan pernah sekali-kali mencoba memaksakan semuanya untuk masuk. Kalau toples yang kepenuhan lalu pecah bisa diganti yang baru, tapi kalau sudah mental kita yang akhirnya ‘pecah’ karena kewalahan pasti akan repot jadinya.