Bilang tidak bukan dosa. Tapi banyak sekali di antara kita yang tak enak hati mengatakannya.
Saya sedang tergila-gila pada sebuah video Youtube yang beberapa bulan lalu ditunjukkan anak bungsu saya Ananta. Video dengan kata kunci “This baby can’t say ice cream” ini ‘dibintangi’ seorang bayi perempuan yang cantik, yang saya duga bernama Delta. Dia selalu mengganti kata ice cream dengan kata “camtono” tiap kali ayahnya menyebutkan dua kata itu secara bersamaan. Padahal, saat kedua kata itu diucapkan secara terpisah, Delta bisa mengikuti mengucapkan kata ice dan cream. Tapi kalau dua kata itu disambung, ia akan kembali menyebutnya dengan “camtono” dengan kenes, sambil matanya berbinar-binar seperti tahu ia sangat menggemaskan saat mengatakan itu.
Tapi bukan soal kata camtono itu yang sebenarnya saya ingin ceritakan. Melainkan adegan di menit ke 1.01 hingga 1.05 dari video berdurasi 1.32 menit itu. Di tengah percakapan, Delta tiba-tiba mogok, tak mau mengikuti instruksi ayahnya, melainkan hanya mengatakan “no” dengan tegas beberapa kali. Saya senang melihat ketegasan dan wajah lucunya saat mengatakan tidak itu. Lalu sering berpikir, kapan terakhir kali saya mengatakan kata tidak setegas dan seringan Delta melakukannya.
Ketika masih kecil, rasanya kita bisa ringan saja mengatakan tidak untuk menolak apa pun yang tidak kita inginkan. Tak ada kekhawatiran bila kata tidak yang kita ucapkan akan mengecewakan orang yang menerimanya. Bahkan kita tak ragu menangis sekeras-kerasnya bila dipaksa melakukan apa yang tidak ingin kita lakukan. Tidak ingin makan sayur, tidak ingin tidur siang, tidak ingin membuang boneka butut kesayangan dan banyak hal lainnya.
Seiring bertambahnya usia, acap kali keberanian untuk mengatakan "tidak" dengan tegas menjadi semakin menipis, atau bahkan hilang sama sekali. Kata "tidak", tak lagi terasa ringan kita ucapkan. Ada banyak pertimbangan sebelum mengatakan itu. Apakah kata tidak yang kita ucapkan akan membuat seseorang kecewa atau bahkan marah, membuat kita dianggap tidak kompeten, membuat kita dimusuhi kelompok pertemanan dan sebagainya. Bila kita memiliki persoalan yang sama tentang mengatakan tidak, tampaknya kita bisa mengambil beberapa kiat yang disampaikan penulis dan pendiri situs www.want2discover.com, Chantalle Blikman dalam tulisannya di www.tinybuddha.com. Tentang bagaimana beberapa hal berikut bisa membantu kita, Anda dan saya, untuk meyakini bahwa berkata “tidak” bukanlah sesuatu yang tabu, apalagi berdosa.
Mengatakan tidak bukanlah kesalahan. Tak ada yang salah dengan mengatakan tidak. Kita tak berarti menjadi tidak sopan, egois atau jahat bila tidak menjawab ya. Tuntutan untuk menjadi orang yang baik, santun, membanggakan, disukai dan sebagainya, acap kali menjadi jebakan yang membuat kita tak lagi bisa dengan ringan mengatakan tidak. Kita sering merasa perlu membuat alasan yang masuk akal untuk menolak ajakan atau tawaran yang tak berkenan di hati, sekadar agar kita tak melukai hati yang mengajukannya, atau dianggap sebagai teman yang tak setia kawan. Padahal, kalaupun kita dengan lugas menjawab tidak, orang lain tak memiliki hak untuk memaksa dan kata tidak yang kita cetuskan pun bukan kesalahan.
Ketahui nilai kita. Sadari bahwa kita berharga dan pendapat kita tentang diri sendiri, jauh lebih penting dari pendapat orang lain. Kita tak akan pernah benar-benar bebas dan bahagia bila menggantungkan kebebasan dan kebahagiaan kita pada pengakuan orang lain. Ketergantungan pada pengakuan orang lain, hanya membuktikan bahwa pendapat mereka lebih penting dari pendapat kita tentang diri kita sendiri. Kita bisa mengingat empat hal untuk mampu membangun pendapat yang kuat tentang diri kita. Pertama, persoalan kita tak menentukan diapa kita. Kedua, tak apa-apa melakukan kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna dan semua orang pasti pernah melakukan hal-hal yang mereka sesali. Hal ini yang membuat kita menjadi manusia. Ketiga, hal yang membuat seseorang hebat sebenarnya bukanlah semata-mata karena penampilan atau pencapaiannya, melainkan kemauannya untuk mencintai sesama, kerendahan hatinya, dan bertumbuh sebagai seorang manusia, dengan segala persoalannya. Keempat, yakini bahwa kita unik, penting dan berharga.
Benarkah kata “ya” kita berharga? Pastikan bahwa keputusan mengatakan “ya” memang benar-benar layak dan berharga. Seringkali, setelah menyatakan komitmen pada sesuatu hal, keraguan mengganggu dan membuat kita mulai berpikir, apakah kita bisa keluar dari komitmen tersebut. Bila tak ada alasan yang cukup baik, kita seringkali terpaksa memutuskan, apakah akan berkata jujur atau datang dengan kebohongan. Kata “ya” yang diucapkan dengan terpaksa kerap menimbulkan kegundahan, stres dan penyesalan di belakang hari. Jadi, mengatakan “tidak” secara lugas di awal pastilah akan membuat segalanya jadi lebih mudah.