Tidak bisa dipungkiri, setiap orang pasti memiliki keinginan untuk membeli berbagai macam barang, baik yang memang ia butuhkan, atau sekedar ingin memilikinya saja. Dengan berkembangnya media sosial yang secara cepat mempromosikan segala macam hal dan menunjukkan apa saja yang teman atau orang lain miliki, akan selalu ada penawaran yang membuat kita bisa saja terpengaruh untuk ikut membeli serta memilikinya. Perilaku konsumerisme ini sangat dekat sekali dengan keseharian kita dan bisa membuat kita ketagihan untuk berbelanja, mengeluarkan uang, serta memiliki lebih banyak barang daripada sebelumnya.
Konsumerisme adalah sebuah paham atau gaya hidup yang membuat seseorang membeli sesuatu tanpa sadar, sehingga pada akhirnya membeli segala sesuatu secara berlebihan. Istilah ini berteman dengan kata materialisme dan juga hedonisme. Untuk keluar dari sikap konsumtif ini, kita perlu untuk merasa cukup dan sadar akan apa saja yang kita butuhkan serta belanjakan. Belilah sesuatu yang esensial bagi kita miliki. Hal ini akan membuat kita waras dalam mengeluarkan uang kita.
Belilah sesuatu yang esensial bagi kita miliki. Hal ini akan membuat kita waras dalam mengeluarkan uang kita.
Saya akui, saya sendiri memiliki kelemahan terhadap buku. Saya tidak bisa tidak membeli buku. Masalahnya, dari sekian banyak buku yang dibeli, belum semuanya saya selesai baca, bahkan masih ada beberapa yang dibungkus rapi. Bagi saya, ada suatu perasaan nyaman yang hinggap pada diri setiap membeli dan memiliki sebuah buku baru. Meski demikian, saya tahu hal ini perlu saya sikapi secara bijak. Walau mungkin terasa sulit, saya menantang diri saya untuk mengikhlaskan sebagian buku yang kira-kira sudah tidak diperlukan, untuk diberikan ke orang lain. Dengan demikian, saya menjadi memiliki kesadaran akan berapa banyak buku yang sebenarnya sudah saya miliki dan baca, untuk menjadi pengingat bagi diri saat hendak membeli buku kembali. Apa saya benar-benar membutuhkannya atau tidak. Saya paham, untuk mengikhlaskan sesuatu, entah buku, pakaian, maupun hal lainnya, tidak semudah pengucapannya. Kadang pula, kepemilikan akan suatu hal dapat menyebabkan rasa takut untuk merelakannya atau tidak memilikinya kembali. Untuk itu, kita perlu untuk bersikap ikhlas.
Kepemilikan akan suatu hal dapat menyebabkan rasa takut untuk merelakannya atau tidak memilikinya kembali. Untuk itu, kita perlu untuk bersikap ikhlas.
Lantas, bagaimana kita belajar mengikhlaskan? Tiap orang tentu memiliki cara yang berbeda. Apabila saya, saya mencobanya dengan mulai melakukan secara berkala terhadap benda-benda yang saya miliki. Misalnya sebulan sekali melakukan evaluasi benda apa saja yang sekiranya tidak lagi saya butuhkan, yang dapat saya berikan ke orang lain. Pelan-pelan saja, jangan ekstrim. Sesuatu yang ekstrim justru berpeluang akan membawa kita kembali lagi ke kebiasaan lama, seperti istilah ‘yoyo diet’, dimana berat menjadi ekstrim naik dan turun karena usaha penurunan berat badan secara drastis. Dengan memulai dari sesuatu yang kecil secara rutin, lama-lama akan membentuk sebuah kebiasaan.
Perbedaan antara konsumerisme dengan esensialisme terletak pada bagaimana kita benar-benar paham akan apa yang menjadi kebutuhan (needs), bukan hanya sekedar kemauan (wants) kita. Pada saat kita terjebak pada kemauan dan kita memiliki keinginan menggebu untuk memilikinya, coba tanyakan pada diri sendiri mengapa kita bisa memilki keinginan untuk membelinya sedemikian rupa. Karena mengatasi konsumerisme seperti mengatasi kecanduan. Terlebih dahulu kita harus tahu apa alasan kita ingin memiliki sesuatu, baru dapat menentukan bagaimana langkah untuk mencegah atau mengobatinya secara tepat.
Mengatasi konsumerisme seperti mengatasi kecanduan. Terlebih dahulu kita harus tahu apa alasan kita ingin memiliki sesuatu, baru dapat menentukan bagaimana langkah untuk mencegah atau mengobatinya secara tepat.