Oke, alih-alih membahas satu topik kali ini saya akan cerita tentang suatu percakapan yang terjadi beberapa tahun lalu. Ada seorang figur yang saya kenal, yang kemudian menawarkan diri untuk sesi coaching dengan saya. Waktu itu saya belum pernah mengikuti coaching dan saya excited sekali karena beliau cukup senior. Jadi, malam sebelumnya saya siapkan berbagai poin yang mau saya bahas. Ada financial goals, saya mau belajar investasi. Ada professional goals, saya mau jadi manager dalam x tahun ke depan. Social goals, saya mau jadi pembicara di acara A,B,C, pokoknya lapar mata aja yang orang lain punya, saya juga mau.
Jadi, waktu akhirnya bertemu, bapak itu bertanya, “Apa yang mau kamu bahas di sesi ini?” Saya siap banget, supaya kesannya nggak terlalu ambisius saya berikan tiga agenda terpenting saja terus saya minta bapak itu pilih. Tenyata dia malah tanya balik “Selain itu ada lagi?” Jadi, saya keluarkan topik keempat. Ditanya lagi yang lain, terus begitu sampai saya kehabisan topik. Mulai bingung sendiri, apa daftar topik saya salah, ya?
Buat saya artikulasi itu penting sekali dan semakin bapak itu minta ide lain, semakin saya terlihat bingung atau nggak yakin. Sampai akhirnya saya mulai berpikir, “Ya sudah kasih yang random saja” Sebenarnya saya juga ingin tahu bagaimana caranya agar bisa lebih compassionate, maksudnya lebih friendly jadi kayak orang baik karena orang sering bilang saya itu kayak robot. Saya ingin terlihat lebih hangat gitu, terus dia tanya “Menurut kamu orang baik itu seperti apa?” Mungkin orang baik itu ngomongnya selalu baik-baik. Jadi, mungkin mereka pikirannya lebih positif. Contoh ngomong baik itu misalnya kalau lagi menyapa orang lain, omongannya baik, gitu. Nggak nyinyir, bisa kasih pujian, atau sesuatu yang bikin orang lain senang. Kemudian coach saya tanya,
“Kamu bisa nggak kasih pujian ke orang lain,”
“Bisa, sih, pak,”
“Gimana cara melatihnya?”
Di titik ini saya sudah nggak bisa lagi kelihatan pintar dan cuma bisa menjawab pakai insting, satu-satunya yang terpikir mungkin misalnya sehari kasih satu komplimen ke orang kantor tapi harus ganti-ganti orang tiap hari, ya, supaya tidak mencurigakan. Coach saya lalu mengamini dan menjadikan ini sebagai PR saya selama seminggu ke depan. Setelahnya saya harus kasih satu pujian ke orang kantor setiap hari dan saya harus e-mail bapak itu sebagai bukti bahwa saya sudah mengerjakan tugas. Waktu kita ketemu lagi, bapak itu bertanya gimana rasanya setap hari kasih suara positif ke orang laun? Terus kita bahas. Saya juga jadi dapat feedback yang tidak langsung, kelihatan sekali waktu saya kasih pujian, orang terlihat agak kaget tapi mereka selalu tersenyum dan bilang terima kasih. Nggak ada yang malah nyinyirin saya balik atau keliatan nggak nyaman dan kalau orangnya terlihat senang saya juga jadi lebih senang.
Waktu saya kasih pujian, orang terlihat agak kaget tapi mereka selalu tersenyum dan bilang terima kasih. Nggak ada yang malah nyinyirin saya balik atau keliatan nggak nyaman dan kalau orangnya terlihat senang saya juga jadi lebih senang.
Dari kejadian ini saya menyadari tiga hal. Pertama, this is compassion. Ternyata yang namanya jadi orang baik, friendly, atau hangat bisa sesederhana ini, toh. Saya nggak perlu susah-susah mendefinisikan hanya perlu satu eksperimen latihan dan saya langsung bisa merasakan dan meilhat sendiri efeknya. Kedua, this is learning, this is progress. Ini kan aneh, ya, karena nggak ada sekolah atau video training tentang ini. Saya tidak akan pernah punya sertifikat lulus jadi orang baik dan nggak bisa saya tulis di LinkedIn.
Menurut saya ini alasannya kenapa coach tersebut memilih hal ini untuk dibahas karena ini bukan pencapaian melainkan latihan dalam lifelong learning dari proses ini saya jadi terbiasa untuk langsung memikirkan hal baik tentang seseorang waktu pertama kali ketemu. Untuk seorang pesimis seperti saya, that’s amazing. Ini ada hubungannya dengan hal terakhir, this is coaching. Figur ini dia bukan teacher yang kasih tahu saya ini, loh, caranya jadi compassionate, sebagai coach dia mengarahkan saya untuk mencari sendiri indikasi keberhasilan dan saya yang menentukan sendiri latihannya. Tapi kalau saya tidak mengerjakan latihannya sesi kita nggak akan bisa maju, begitu latihannya sudah selesai, kita bahas dan pikirkan selanjutnya mau coba latihan apa lagi, ya?
Saya suka menyebutnya, latihan receh. Progress yang mungkin terlihat nggak penting tapi bikin kita penasaran coba dan kalau selesai ada rasa bangga. Saya kenal seseorang yang sedang melatih kepercayaan diri, latihan recehnya adalah kalau dia bercanda dan orang lain nggak ketawa, dia nggak boleh diam. Dia harus bilang “Yah, nggak lucu, deh. Oke, deh,” sereceh itu. Lifelong learning is so simple and it could be so much fun. By the way buat teman-teman di bidang edukasi atau korporat mungkin bisa melihat aspek behavioral learning atau kuantifikasi goal dari cerita ini. Dua hal ini sedang banyak sekali disukai dan ini juga pasti ada bahayanya, tapi kita sedang dalam masa-masa yang sangat berat. Jadi, selama pandemi masih berlangsung saya akan terus latihan untuk buat orang lain tersenyum, minimal sehari sekali.
Saya suka menyebutnya, latihan receh. Progress yang mungkin terlihat nggak penting tapi bikin kita penasaran coba dan kalau selesai ada rasa bangga. Saya kenal seseorang yang sedang melatih kepercayaan diri, latihan recehnya adalah kalau dia bercanda dan orang lain nggak ketawa, dia nggak boleh diam. Dia harus bilang “Yah, nggak lucu, deh. Oke, deh,” sereceh itu.