Self Lifehacks

Weak Ties: Burnout

Ada seorang teman, sebut saja namanya Iri. Waktu pertama kali kenalan, saya pikir dia manusia biasa. Tapi lama-lama menyadari bahwa dia punya superpower, yaitu super ambisius. Semua hal dia kerjakan, semua ide akan di-follow up, dan dia bisa tuh mengerjakan semuanya sekaligus. Sepertinya dia menikmati berada di dalam chaos.

Sampai kadang saya merasa harus menghindar dari dia, karena tidak ingin mengakui bahwa - berbeda dengan Iri - saya tidak punya kekuatan untuk mengejar semua hal yang saya bilang saya inginkan.

Semua ini untuk menjelaskan bahwa, saat teman saya ini mendadak posting mengenai ‘burnout’, saya langsung menganggapnya serius. Kebetulan saya punya juga cerita favorit mengenai sejarah konsep burnout, tapi sebelum masuk ke situ, yuk kita bahas dulu apa burnout itu. 

Ada tiga dimensi yang mendefinisikan burnout, yaitu:

1. Exhaustion, artinya kelelahan, lemah, kekurangan energi, secara fisik maupun emosional. 

2. Cynicism, sempat disebut juga depersonalisasi, yaitu saking capeknya, mulai ada perilaku dan mindset negatif kepada orang lain, gampang kesal, tidak ingin bersosialisasi, dan juga kalau idealisme mulai hilang.

3. Inefficacy, jadi produktivitas atau pencapaian yang menurun, termasuk juga hilangnya kepercayaan diri dalam bekerja.

Mungkin kalian pernah mengalami salah satu dari ketiganya. Yang berbahaya adalah saat ketiganya terjadi bersamaan, dan dibiarkan saja, atau tidak ditindaklanjuti. Karena burnout adalah efek jangka panjang dari situasi kerja yang menekan.

Burnout adalah efek jangka panjang dari situasi kerja yang menekan.

Buat yang mau tahu lebih jauh, bisa cek MBI, atau ‘Maslach Burnout Inventory’. Ini adalah checklist indikasi dari ketiga dimensi tadi, dan ini bukan psikotes, melainkan daftar efek nyata yang akan terjadi kalau ketiga dimensi itu dibiarkan saja. Sesuai namanya, salah satu peneliti pionir dari konsep burnout adalah Christina Maslach. Gimana Ms. Maslach bisa sampai terpikir ke situ? Nah, ini cerita favorit saya. 

Jadi, waktu Ms. Maslach kuliah psikologi di Stanford, pacarnya pernah membuat eksperimen psikologi mengenai status dan kekuasaan dalam suatu penjara buatan. Mungkin kalian pernah dengar, pacarnya itu namanya Philip Zimbardo, dan eksperimennya bernama Stanford Prison Experiment’. 

Ms. Maslach pernah cerita, bahwa di tengah eksperimen itu, dia sendiri kaget melihat bagaimana Mr. Zimbardo yang dia kenal bisa berubah drastis. Dia melihat perilaku peserta eksperimen yang sangat berbeda, dan dia jadi bertanya-tanya, buat mereka yang berada di situasi kerja yang ekstrim, yang kerjanya berurusan dengan emosi tinggi, gimana caranya mereka bisa pulih?

Dari situlah gagasan tentang burnout muncul. Ms. Maslach juga ikut mendefinisikan 6 area penyebab burnout di tempat kerja, yang disebut ‘Areas of Worklife Scale’. Kesimpulan dari cerita ini: kalau pacar kalian bikin stress, coba diekspresikan, siapa tahu bisa jadi groundbreaking research topic.

So, sampai sekarang burnout masih menjadi pusat perhatian di bisnis maupun psikologi, karena semakin banyak inovasi yang membantu kita bekerja lebih efektif, maka kita akan lebih banyak bekerja, maka perlu inovasi lagi, maka kerjanya nambah lagi, dan seterusnya. Ini mentalitas kerja di abad 21, if you can do more, why not do more? Well, because....di tahun 2019, WHO memasukkan burnout ke dalam klasifikasi penyakit yang bisa berkontribusi terhadap kesehatan mental. Lihat lagi tiga dimensinya ya, ini bukan cuma soal capek atau stress, tapi efek jangka panjangnya.

Karena semakin banyak inovasi yang membantu kita bekerja lebih efektif, maka kita akan lebih banyak bekerja, maka perlu inovasi lagi, maka kerjanya nambah lagi, dan seterusnya.

Di awal masa pandemi ini, kita mulai melihat bahaya dari never ending growth. Work from home belum tentu mengurangi burnout, tapi perubahan cara kerja ini semoga bisa membuat kita berpikir lagi tentang batasan our work-self vs our-self.

Nah, pesan saya buat teman saya dan teman-teman lain yang ambisius: we love you and that fire in your soul. Sekedar mengingatkan, api unggun itu cukup sampai bikin hangat, tapi jangan sampai membakar hutan.

Api unggun itu cukup sampai bikin hangat, tapi jangan sampai membakar hutan.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024