Kebanyakan dari kita akan menjawab pertanyaan “Apa yang membuatmu bahagia?” dengan berbagai kondisi-kondisi seperti saat bersama orang terkasih, meraih suatu pencapaian membanggakan, keberhasilan, hingga menikmati sesuatu yang memuaskan diri. Merasakan kebahagiaan memang terasa menyenangkan, namun perasaan bahagia adalah sesuatu yang bersifat sementara – dan terus menerus berusaha mengejarnya akan menjadi sebuah ‘adiksi’ yang berbahaya.
Perasaan bahagia adalah sesuatu yang bersifat sementara – dan terus menerus berusaha mengejarnya akan menjadi sebuah ‘adiksi’ yang berbahaya.
Ironis saat mengetahui fakta bahwa apabila kita berusaha mengejar kebahagiaan – terutama secara agresif – justru akan membawa kita pada ketidakbahagiaan. Dalam sebuah jurnal ilmiah yang berjudul The Paradoxical Effects of Pursuing Positive Emotion, psikolog Brett Q. Ford dan Iris B. Mauss memaparkan beberapa hasil penelitian mereka mengenai pencarian kebahagiaan. Dalam penelitian, para psikolog meminta sebagian responden untuk membuat diri mereka merasa sebahagia mungkin sambil mendengarkan musik. Sementara sebagian responden lain diminta untuk sekadar mendengarkan musik. Pada akhir eksperimen, mereka yang diberikan ‘target’ untuk mencapai kebahagiaan justru akan mendapatkan perasaan yang tidak membahagiakan.
Penyebabnya, menurut Brett dan Iris, adalah saat kita berusaha mengejar kebahagiaan secara disadari atau tidak kita akan menetapkan sebuah standar tertentu. Begitu apa yang didapatkan atau capai tidak sesuai standar tersebut, kita justru akan terjerembab pada kekecewaan dan frustrasi – yang malah bertolakbelakang dari perasaan bahagia yang dicita-citakan.
Saat berusaha mengejar kebahagiaan, kita akan menetapkan sebuah standar tertentu. Begitu apa yang didapatkan tidak sesuai standar tersebut, kita akan terjerembab pada kekecewaan.
Alih-alih berusaha keras mengejar kebahagiaan, yang sebaiknya kita lakukan dalam hidup adalah untuk menjalaninya sesuai dengan kemampuan kita dan tidak muluk-muluk. Menjadi realistis adalah salah satu kunci agar tidak terjebak pada paradoks tadi. Mulailah dengan menyusun rencana hidup yang dapat kita kontrol dengan menempatkan diri kita sebagai tolak ukurnya – dan bukan dengan ukuran orang lain.
Selain itu, yang juga penting untuk disadari adalah bagaimana kita seharusnya menempatkan bahagia dan tidak bahagia bukan sebagai hal yang harus dikejar dan dihindari. Tidak ada satu orang pun di dunia yang bisa terhindar dari kesedihan, keterpurukan, atau kegagalan – yang kerap kita rangkum menjadi ketidakbahagiaan. Namun layaknya roda, hidup selalu berputar. Bahagia dan tidak bahagia adalah sebuah fase dalam hidup yang selalu hadir berdampingan dan harus dilalui.
Ingat saja kalimat “badai pasti berlalu” yang dengan bijaknya mengingatkan kita semua bahwa kebahagiaan akan datang dengan sendirinya setelah berbagai prahara. Saat kita mengingatnya dan menjadikan semacam mantra hidup, niscaya kita dapat menjalani hari dengan lebih bahagia dan tidak perlu terpuruk saat tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.
Kebahagiaan akan datang dengan sendirinya setelah berbagai prahara.