Self Love & Relationship

Terjebak Kesadaran Palsu "Happily Ever After"

Rasanya di masyarakat modern ini, kebanyakan orang pasti sudah pernah membaca atau menyaksikan kisah Cinderella, Putri Salju, atau Putri Tidur. Sejak kecil, kita dimanjakan dengan dongeng putri kerajaan yang bertemu dengan pangeran lalu menikah dan hidup bahagia selamanya “Happily Ever After” seakan menjadi gol untuk dicapai saat berhubungan dengan seseorang.

Belum lagi dengan sederetan film atau novel romantis yang turut mendukung kepercayaan “Happily Ever After". Saking banyaknya tayangan dan bacaan tentang hidup bahagia selamanya. Kita jadi tidak sadar bahwa otak kita telah terhasut oleh kepercayaan yang sebenarnya bisa dibilang kurang realistis.

Sudah pernah dengar belum tentang teori false consciousness atau kesadaran palsu?

False consciousness dapat diartikan sebagai sebuah fenomena sosial yang berasal dari penyebaran ideologi dengan tujuan untuk mendorong sekelompok orang percaya pada ideologi tertentu tanpa menyadari bahwa ideologi tersebut sebenarnya menyimpang. False consciousness juga merupakan bagian dari filsafat politis yang memanipulasi sekelompok orang untuk tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang berada dalam eksploitasi kapitalisme.

False consciousness dapat diartikan sebagai sebuah fenomena sosial yang berasal dari penyebaran ideologi dengan tujuan untuk mendorong sekelompok orang percaya pada ideologi tertentu tanpa menyadari bahwa ideologi tersebut sebenarnya menyimpang.

Kalau mau dipikir kembali, ideologi tentang bahagia selamanya atau Happily Ever After bisa jadi tergolong sebagai false consciousness karena menjebak kita untuk mengejar kebahagiaan dengan pernikahan. Padahal, bisa saja kan ideologi Happily Ever After sebenarnya hanya menjadi bagian dari propaganda kaum kapitalis untuk mendorong masyarakat menjadi lebih hedonis menghabiskan uang pada pesta pernikahan?

Sama seperti Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang. 

Jika dipikirkan kembali, apa tujuan utama adanya Valentine’s Day

Apakah kasih sayang harus dirayakan dengan cokelat, hadiah, atau makan malam romantis? 

Bukankah nantinya semua hanya tentang kapitalisme?

Orang berlomba-lomba membeli cokelat atau hadiah untuk orang-orang tersayang pada Valentine’s Day. Padahal, untuk menunjukkan kasih sayang bisa dengan cara apapun dan hari apa pun, bukan? Tentu saja pernikahan bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi pernikahan juga bukan satu-satunya kunci untuk bahagia. Apalagi untuk membuktikan bahwa sebuah hubungan asmara telah berhasil. Apakah jika ternyata kita memilih untuk tidak menikah berarti kita tidak akan hidup bahagia selamanya? Belum tentu, kan?

Tentu saja cerita-cerita dongeng atau film-film romantis tidak melekatkan “Happily Ever After” pada mereka yang tidak menikah. Orang yang hidup sendiri tidak menghabiskan biaya lebih banyak dari orang yang hidup berpasangan, apalagi yang berkeluarga. Semakin banyak anggota keluarga, semakin banyak biaya yang dikeluarkan, semakin untung para kaum kapitalis yang memiliki bisnis untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lagi pula, dorongan untuk menikah seharusnya tidak berasal dari dorongan individualis yang mengharapkan kebahagiaan.

Dorongan untuk menikah seharusnya berasal dari keinginan kita berbagi hidup bersama dengan orang yang dicintai. Menikah adalah tentang bagaimana kita tidak hanya berbagi kebahagiaan tapi juga kesulitan bersama. 

Dengan menyadari ini, kita sebenarnya dapat menyesuaikan ekspektasi pribadi sebelum melangkah ke dalam pernikahan. Pada teorinya, hubungan pernikahan adalah hubungan yang panjang. Dalam perjalanannya, tidak mungkin hanya ada kebahagiaan. Kita pasti akan dipertemukan dengan emosi-emosi lain yang berlawanan dengan kebahagiaan.

Kalau kita terus menganggap pernikahan sebagai sebuah langkah menuju kebahagiaan sejati, nantinya kita hanya akan sering bertemu dengan kekecewaan karena ternyata pernikahan tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Baiknya kita mulai menyadari bahwa happily ever after hanyalah terjadi di dalam kisah dongeng atau fiksi belaka.

Dengan mengetahui motivasi kita menikah yang sesungguhnya, kita bisa jadi pribadi yang lebih realistis sehingga tidak menuntut pasangan untuk menciptakan hidup bahagia selamanya. Dengan demikian, kita dapat belajar untuk menerima segala pengalaman (baik atau buruk) yang akan hadir di dalam pernikahan.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024