Setiap kali hendak menginjak bertambahnya umur, saya sering memikirkan kembali apa yang terjadi pada hidup saya belakangan, pelajaran apa yang didapatkan sepanjang satu tahun belakang. Dari segala pelajaran hidup yang saya temukan dalam perenungan, salah satu hal yang membuat saya tertegun adalah kenyataan bahwa hampir semua manusia pasti pernah melakukan standar ganda. Ada yang sadar dan mencoba untuk berubah, berhati-hati dalam berbicara, ada pula yang tidak sadar dengan perilaku tersebut.
Standar ganda atau double standard secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah perilaku atau pemikiran yang memiliki indikasi sikap kemunafikan di mana nantinya bisa berpotensi menjadi sikap bias atau perilaku tidak adil. Dan berkat media sosial yang memberikan kekuatan pada para pengunanya untuk bebas beropini, perilaku standar ganda semakin sering saya temukan di keseharian. Sejatinya, kebebasan adalah hak kita sebagai manusia. Tapi menurut saya alangkah lebih baik jika kebebasan tersebut diikuti dengan tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap integritas diri serta tanggung jawab moral pada orang lain.
Sejatinya, kebebasan adalah hak kita sebagai manusia. Tapi menurut saya alangkah lebih baik jika kebebasan tersebut diikuti dengan tanggung jawab.
Sempat saya melihat satu postingan seseorang yang sedang berlibur ke luar negeri namun ia menulis bahwa postingan tersebut bukan berarti ia mendorong para pengikutnya untuk berlibur di masa pandemi. Postingan ini menggelitik benak hingga saya berkata dalam hati, “Kalau memang tidak ingin mendorong orang lain berlibur kala pandemi, kenapa harus posting kala liburan di media sosial?”. Tidak jarang juga saya menemukan banyak orang yang menyampaikan pesan-pesan bijak dengan penuh kebaikan di media sosial, menerapkan berbagai “standar” untuk diperhatikan orang banyak, namun ternyata mereka tidak menerapkan apa yang dinyatakan. Saat ditanya mengapa ia tidak menaati apa yang diucapkan, ada saja alasan yang mengistimewakan situasinya.
Kemudian ketika memerhatikan fenomena tersebut, saya pun menelisik kembali pada diri sendiri dan mempertanyakan apakah saya pernah seperti itu. Jawabannya tentu saja pernah. Bahkan sering! Setelah membaca-baca artikel psikologi, ternyata manusia memang punya kecenderungan untuk merasa benar. Itulah mengapa kita memiliki ego yang mengatur keinginan untuk merasa benar. Lalu, kalau kita terus-terusan begini, terus-terusan memberikan alasan untuk membenarkan perilaku yang salah, tidak apa-apa, bukan? Semua orang juga melakukan hal yang sama, kok! Apa benar standar ganda tidak akan berdampak negatif pada diri sendiri dan orang lain?
Setiap kali kita menerapkan standar ganda di keseharian, kita sama saja melatih diri menjadi orang yang “palsu”, munafik, atau bermuka dua. Akhirnya, jika ini terus dilakukan dan mendarah daging, bisa-bisa kita kehilangan integritas dan menjadi seseorang yang tidak lagi bisa dipercaya karena tidak konsisten dengan apa yang diucapkan. Tidak berhenti di sana, seperti yang saya sebutkan di awal, standar ganda bisa menuntun pada jalan ketidakadilan. Kalau kita terus memberi makan ego untuk mengistimewakan diri, penilaian subyektif yang bias akan menjadi bagian dari kepribadian sehingga memengaruhi cara kita menilai situasi di sekitar.
Memahami dampak atas perilaku standar ganda yang pernah atau sedang dilakukan bisa menjadi alarm peringatan agar di masa depan kita bisa lebih berhati-hati dalam berucap atau bertindak. Segala buah pemikiran dan idealisme yang dimiliki sebaiknya bisa diolah dengan penilaian realita yang obyektif. Bukan atas dasar subyektivitas dan bias semata-mata ingin merasa lebih benar dari orang lain. Di kala ingin menilai seseorang atau satu masalah dengan persepsi yang dimiliki, kita baiknya mengingatkan diri sendiri untuk mempertanyakan apakah sebelumnya pernah melakukan hal yang sama atau tidak. Dengan begitu, kita sebenarnya sedang melatih diri untuk memiliki kesadaran diri.
Di kala ingin menilai seseorang atau satu masalah dengan persepsi yang dimiliki, kita baiknya mengingatkan diri sendiri untuk mempertanyakan apakah sebelumnya pernah melakukan hal yang sama atau tidak.
Memang, kesadaran diri atau self-conscious yang berlebihan tidaklah baik. Kesadaran diri berlebih bisa mengurangi rasa percaya diri sehingga membuat kita menjadi seseorang yang rendah diri. Namun dengan dosis yang seimbang, kesadaran diri bisa memberikan kerendahan hati agar menjauhkan diri kita dari penghakiman impulsif. Dengan mempertanyakan dan memikirkan kembali kepercayaan atas pemikiran, kita bisa sekaligus belajar berkomitmen dengan diri sendiri dan bertanggung jawab atas persepsi diri. Nantinya, jika memang apa yang kita percaya ternyata salah dan kita berubah pikiran, kita bisa lebih bijak dalam mengakui kesalahan persepsi tersebut dan membuka diri untuk menerima koreksi dari orang lain. Dengan begitu, kita sedang melatih diri untuk terus berupaya menjadi pribadi yang memiliki integritas.