Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. – Sutan Syahrir
Sepekan lalu, berbarengan dengan pembukaan Asian Games yang gegap gempita dan amat membuncahkan kebanggaan kita sebagai anak bangsa Indonesia, digelar pertunjukan perdana monolog Sjahrir di Komunitas Salihara. Pertunjukan yang merupakan bagian dari rangkaian Salihara International Performance Festival (SIPFest) itu berkisah tentang Sutan Syahrir, salah seorang tokoh politik penting yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan negara kita. Pemikir dan diplomat pemuja sosialisme yang kerap dipanggil sebagai Bung Kecil itu, merupakan satu sosok yang melengkapi Tiga Serangkai pendiri bangsa yang terdiri dari Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir.
Satu hal yang terngiang-ngiang setelah pertunjukan usai, adalah sebuah pernyataan terkenal dari Syahrir yang muncul dalam salah satu adegan. “Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.” Kutipan itu telah menjadi generik dan cenderung klise sebenarnya. Tapi kita tak akan bisa menyangkal kekuatannya, karena hidup memang selalu merupakan sebuah meja pertaruhan, dan medan yang selalu harus diperjuangkan bila ingin dimenangkan. Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang harus berjuang untuk bisa memenangkannya? Kita sendiri tentu saja.
Setiap manusia pasti ingin memiliki hak penuh atas diri dan hidupnya. Itu mengapa begitu banyak pertempuran terjadi di atas bumi ini. Semua bangsa rela berjuang hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaannya. Kita, bersedia melakukan apa saja untuk bisa menjadi tuan bagi diri kita sendiri. Terus berusaha mengentaskan diri dari berbagai keterbatasan, agar bisa benar-benar merdeka dan bisa menentukan nasib sendiri. Dalam Al Quran, ayat ke-11 dari surat Ar Ra’ad juga mengatakan hal yang sama. “Tuhan tak akan mengubah nasib sebuah kaum hingga mereka mengubah nasibnya sendiri.” Pernyataan yang bersifat komunal itu, tentu saja berlaku sama bila dipilin dan ditarik menjadi bahan permenungan individual.
Kesadaran bahwa kita adalah pemegang kuasa atas hidup yang kita jalani tentu akan memberi kita motivasi untuk merawatnya penuh tanggung jawab. Kita membutuhkan setidaknya empat hal, yakni dorongan personal, komitmen, inisiatif dan optimisme untuk bisa terus mau dan mampu mencapai tujuan, merasa penuh dan bisa terus menerus meningkatkan kualitas hidup yang kita jalani.
Menetapkan tujuan yang ingin dicapai dan standar seperti apa yang setidaknya kita lakukan, akan menjadi bahan bakar bagi dorongan personal untuk terus bergerak. Setelah tujuan dan standar kita miliki, tentu saja dibutuhkan komitmen untuk memastikan bahwa kita akan terus memperjuangkan apa yang ingin kita raih, seterjal apa pun jalan yang harus kita lalui untuk mencapainya. Mengenali medan perjuangan menjadi penting juga dilakukan karena menyangkut pada soal inisiatif-inisiatif seperti apa yang perlu kita ciptakan untuk bisa menangkap semua peluang yang datang menghampiri.
Sebab ketika tujuan telah kita buat, standar telah kita tetapkan, kita sebetulnya tengah membuat diri kita menjadi poros di mana Semesta berputar dan bekerja menarik hal-hal yang kita inginkan. Itu sebab kenapa kita kerap mendengar anjuran untuk berhati-hati dengan apa yang kita pikirkan dan inginkan. Sebab kita dan pikiran serta perasaan kita merupakan magnet sangat kuat yang menarik apa saja yang ditangkap Semesta sebagai keinginan. Berpikir dan bertindaklah baik. Optimistislah bahwa kebaikan yang kita vibrasikan akan kembali lagi dalam bentuk yang juga semata berisi kebaikan.
Bila nasib bisa dianalogikan sebagai cetak biru sebuah desain di mana Tuhan adalah desainernya, maka kita adalah kepala proyek yang dipercaya mewujudkan cetak biru itu menjadi sebuah wujud nyata. Layaknya sebuah kemerdekaan yang datang dengan diikuti oleh serangkaian tanggung jawab, begitu pula kita manakala menyatakan diri sebagai penguasa penuh atas hidup yang kita jalani.
Ada beberapa konsekuensi yang harus mau kita terima sebagai imbalannya. Kita harus menjadi penanggung jawab atas apa pun yang terjadi sebagai akibat dari pilihan yang kita putuskan. Tak menyalahkan orang lain atas ketidak beruntungan yang kita temui. Ada baiknya meyakini bahwa 99% kesalahan yang terjadi dan kita lakukan merupakan tanggung jawab kita, agar kita tak melulu menudingkan telunjuk pada orang lain atas hal-hal yang berjalan di luar keinginan kita.
Kemampuan memaafkan juga merupakan keahlian yang perlu kita latih agar bisa menjadi penentu nasib kita sendiri. Sebab selalu ada banyak kejadian dalam hidup yang perlu kita terima dan ajak berdamai. Tak melulu soal hal-hal yang ada di luar diri kita, bahkan dengan diri kita sendiri pun, akan selalu ada banyak hal yang perlu dimaafkan dan diajak berdamai.
Mengubah sikap pun akan menjadi penentu sukses tidaknya kita menjadi penguasa nasib kita sendiri. Tentu saja soal mengubah sikap ini merupakan perjalanan gelap menuju terang, dalam arti kita selalu berupaya mengubah sikap kita menjadi lebih positif dari sebelumnya. Ada kalanya kita berjalan ke arah sebaliknya. Sejauh tak berlangsung terlalu lama dan kita bisa dengan segera menyadarinya lalu melakukan manuver balik menuju ke arah datangnya cahaya, perjalanan kita harusnya anak aman-aman saja. Asal saja, kita sudah tahu apa yang kita inginkan, dan arah mana yang ingin kita tuju.
Setelahnya, kita bisa mulai melatih diri untuk benar-benar menata hidup dengan mencoba membangun rutinitas harian yang jelas arahnya. Tak apa bila orang yang menyinyiri kita sebagai orang yang “niat banget”. Punya niat yang baik untuk menjadi penguasa nasib sendiri hal yang baik bukan? Bila makin piawai menjalani rutinitas, ada baiknya kita mulai meminimalisir kompetitor-kompetitor di luar diri yang membuat kita malah lebih sibuk mengurusi orang lain ketimbang fokus pada tujuan yang ingin kita capai. Meski sulit, menjadikan diri kita sebagai satu-satunya kompetitor bagi diri sendiri akan membantu kita selalu punya alasan untuk terus menjadi lebih baik setiap hari. Jadi, sudah siap kan kita memenangkan hidup kita sendiri?