“Apa tujuan hidupmu?”
“Aku hanya ingin hidup bahagia!”
Pernah suatu kali saya bertanya ini kepada seorang teman. Jawabannya itu kemudian tinggal sejenak dalam benak saya. Berbagai pernyataan soal kebahagiaan sontak muncul bertubi-tubi:
“Apa arti bahagia untuk saya?”
“Apakah saya sekarang sudah bahagia?”
“Lalu kalau belum, apa yang membuat saya bahagia?”
Sejatinya kita pasti ingin hidup bahagia. Rasanya tidak ada orang yang sengaja menyakiti dirinya agar tidak bahagia. Tapi menurut saya terkadang kita ingin hidup bahagia tanpa sebelumnya mengetahui benar apa yang membuat kita bahagia. Pencarian kebahagiaan itu sendiri sepertinya tidak akan berhenti dalam satu masa hidup. Seiring berjalannya waktu, makna bahagia yang kita percaya bisa berubah. Mungkin di kala masih sekolah yang membuat kita bahagia adalah mendapat nilai bagus atau bisa masuk sekolah populer. Kemudian ketika masuk ke dunia kerja bisa saja kita merasa yang membuat bahagia adalah jabatan tinggi atau gaji besar.
Sejatinya kita pasti ingin hidup bahagia. Rasanya tidak ada orang yang sengaja menyakiti dirinya agar tidak bahagia. Tapi menurut saya terkadang kita ingin hidup bahagia tanpa sebelumnya mengetahui benar apa yang membuat kita bahagia.
Lingkungan dan masyarakat kita memang sangat berpotensi membentuk pikiran dan persepsi. Terkadang saat kita belum tahu makna kebahagiaan untuk diri sendiri kerapkali kita menyontek dari orang lain. Melihat segelintir orang di dalam media sosial terlihat bahagia saat mereka bermesraan dengan kekasih, baru membeli kendaraan mewah, atau tinggal di rumah bak istana. Lalu semerta-merta mengikuti apa yang mereka lakukan. Seolah-olah bahagia itu hanya soal materi, kekuasaan, dan tingkat afeksi tertinggi yang menghadiahi kita pengakuan.
Jujur, saya pun masih belajar memaknai kebahagiaan dalam hidup. Pernyataan teman saya tadi seakan menegur dan mendorong untuk mengenal diri sendiri lalu memulai pencarian makna kebahagiaan. Hingga sampai suatu saat saya menyaksikan sebuah tayangan Youtube lansiran School of Life yang memperkenalkan pada filsuf bernama Epicurus. Ia adalah seorang filsuf yang mencari dan melakukan eksplorasi secara mendalam tentang arti kebahagiaan. Menurutnya, manusia sering salah dalam mengartikan kebahagiaan yang menitikberatkan kepada asmara, uang, pekerjaan, jabatan atau kekuasaan, dan kemewahan.
Manusia sering salah dalam mengartikan kebahagiaan yang menitikberatkan kepada asmara, uang, pekerjaan, jabatan atau kekuasaan, dan kemewahan.
Ia menemukan banyak sekali pasangan yang tidak bahagia karena banyaknya lika-liku hubungan asmara. Mulai dari kecemburuan, perselingkuhan hingga berujung pada kekecewaan. Tanpa sadar manusia suka sekali menggantungkan kebahagiaan pada pasangan hingga melambungkan ekspektasi terlalu tinggi. Kemudian soal uang, kekuasaan dan pekerjaan. Epicurus menilai bahwa banyak orang berpikir jika punya uang banyak, rumah mewah, perusahaan besar, mereka akan bahagia. Tapi mereka tidak memperhitungkan betapa banyak pengorbanan (sia-sia) yang diperlukan untuk meraih itu semua. Menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, yang menggerogoti mental demi melihat belasan deretan nol di dalam kartu ATM. Belum lagi kecemburuan yang menguasai diri ketika menginginkan kekuasaan. Tidak jarang banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapat posisi tertinggi dalam perusahaan.
Akhirnya ia pun menemukan rumus kebahagiaan. Berdasarkan pengamatannya, terdapat tiga hal yang dapat kita pertimbangkan untuk merasa bahagia. Pertama adalah pertemanan. Ketimbang terjebak menggantungkan kebahagiaan dalam pencarian hubungan asmara dan mengedepankan gairah seksual semata, ia mendapati bahwa pertemanan platonik bisa membuat kita lebih bahagia. Tidak perlu setiap hari bertemu mereka. Cukup menjaga hubungan —dengan mereka yang kita anggap teman baik, dari masa ke masa secara berkelanjutan. Faktanya, Epicurus membeli rumah besar untuk tinggal bersama teman-temannya. Ia merasa bahagia ketika bisa kapan saja bertemu teman-temannya dan memiliki banyak hal untuk dibagi bersama. Tidak merasa sendirian.
Seorang teman ada yang bercerita pada saya tentang hal yang serupa. Ketika kuliah ia tinggal bersama kelima temannya dalam satu rumah. Memang terkadang ia butuh waktu sendiri. Terlebih jika perlu mengerjakan tugas atau belajar untuk ujian. Akan tetapi momen bersenda gurau bersama teman-temannya hampir setiap hari, sekadar main gitar dan menonton TV bersama, menghabiskan sela-sela waktu berbagi beban adalah saat-saat yang ditunggu setiap pulang kuliah. Kata “kesepian” seakan tak pernah terucap. Kalau diingat serial TV Friends yang amat fenomenal itu juga cukup mewakili pemahaman Epicurus ini. Hidup berdampingan dengan teman-teman dekat bisa membuat keseharian terasa lebih bermakna. Kita hanya tinggal ketuk jika butuh seseorang untuk menemani bicara atau sekadar mendengarkan.
Sedangkan tentang pekerjaan, uang dan kekuasaan, Epicurus percaya bahwa apabila kita bekerja sendiri atau dalam perusahaan kecil dengan sedikit orang dapat membuat lebih bahagia. Begitu juga saat kita berkontribusi membuat perubahan pada sekitar. Kontribusi kecil seperti bekerja pada perusahaan yang memerhatikan kesejahteraan lingkungan, misalnya. Ini dinyatakan bisa membuat kita lebih bahagia ketimbang mengejar pengakuan menjadi seorang bos di perusahaan internasional tanpa ada aksi sosial apapun.
Epicurus percaya bahwa apabila kita bekerja sendiri atau dalam perusahaan kecil dengan sedikit orang dapat membuat lebih bahagia. Begitu juga saat kita berkontribusi membuat perubahan pada sekitar. Kontribusi kecil seperti bekerja pada perusahaan yang memerhatikan kesejahteraan lingkungan, misalnya.
Terakhir yang terpenting untuk dapat membuat kita bahagia adalah perasaan dan pikiran tenang. Dan ini tidak bisa diperoleh hanya dengan menatap panorama pantai nan cantik dari dalam kamar hotel bintang lima. Kita perlu melatih pikiran positif yang terhindar dari distraksi negatif yang membuat kita sering gusar menjalani hari. Banyak melakukan refleksi diri, menulis jurnal, membaca buku berkualitas yang memotivasi, serta meditasi diyakini dapat menjadi cara untuk mendapatkan ketenangan pikiran.
Namun, pilihan-pilihan yang ditawarkan Epicurus ini tidak membatasi eksplorasi kita memaknai kebahagiaan untuk diri sendiri. Selain dapat memikirkan masak-masak tiga hal utama di atas, kita juga bisa mencoba untuk sejenak memberikan waktu pada diri memikirkan memori yang benar-benar membuat kita bahagia. Ingatan yang menyelimuti diri dengan kepuasan batin. Sambil kemudian menciptakan kerangka baru dalam benak untuk berani mengubah hidup sesuai dengan arti kebahagiaan yang kita percaya.