Amatlah manusiawi, ketika kita hanya mengharapkan hal-hal baik terjadi dalam hidup kita, karena memberikan perasaan menyenangkan), serta dijauhkan dari segala keburukan dan kesulitan yang tentu saja memberikan perasaan tidak menyenangkan.
Kendati demikian, sebesar apa pun pengharapan dan optimisme atau pesimisme yang kita bangun, masa depan tetaplah akan menjadi misteri dengan segala kondisinya. Mustahil bagi kita untuk tahu pasti apa yang akan terjadi; hal-hal yang baik maupun yang buruk; dan seberapa besar dampaknya bagi hidup kita.
Perspektif Buddhisme memandang ketidakpastian ini sebagai sesuatu yang alamiah. Segala sesuatu bisa terjadi dalam hubungan sebab-akibat; ketika semua faktor-faktor pengkondisinya mencapai keadaan yang sesuai, yang memungkinkan sesuatu itu bisa terjadi. Selayaknya proses buah yang matang di pohonnya.
Bukan sekadar berdiam diri dalam menghadapi realitas ini, perspektif Buddhisme malah menitikberatkan pada kesiapan kita saat menerima apa pun yang terjadi. Siap menerima, bukan pasrah. Karena keduanya adalah sikap batin yang berbeda, dan meninggalkan hasil akhir yang berbeda pula di setiap peristiwanya.
Dalam konteks ini, kesiapan menerima berlandaskan pada pemahaman, pengertian, yang pada akhirnya dapat memupuk kebijaksanaan. Berbeda dengan kepasrahan, saat kita seolah-olah sengaja menanggalkan kemampuan untuk merespons.
Harapan tak bisa dipisahkan dari kekhawatiran
Seperti dua sisi mata uang, harapan merupakan saudara kembar dari perasaan khawatir. Saat kita mengharapkan sesuatu (agar terjadi dalam hidup kita), otomatis ada kekhawatiran atau bahkan rasa takut apabila harapan tersebut tidak menjadi kenyataan.
Kita seringkali menekan perasaan khawatir tersebut secara tidak realistis. Kita menggelembungkan harapan sebesar-besarnya, berupaya mengenyahkan kekhawatiran tersebut tanpa benar-benar mengenalinya. Kita menolak melihat kekhawatiran tersebut sebagaimana adanya.
Kemampuan untuk siap menerima apa pun yang bisa terjadi ditandai dengan menyadari bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kita tidak gampang terlena oleh harapan, tetapi juga tidak mudah diguncang kekhawatiran. Keengganan untuk memahami keduanya secara bijak menghalangi kita dari menjadi seseorang yang siap menerima. Kita hanya gemar berharap, dibuat lupa daratan, lalu mengalami kejatuhan yang menyakitkan.
Kemampuan untuk siap menerima apa pun yang bisa terjadi ditandai dengan menyadari bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kita tidak gampang terlena oleh harapan, tetapi juga tidak mudah diguncang kekhawatiran.
Dua kenyataan mutlak: Sebab-Akibat, dan Ketidakkekalan
Segala sesuatu yang muncul atau terjadi adalah akibat dari sebab-sebab yang sudah berlangsung sebelumnya. Bila kita mengharapkan hal-hal baik bisa terjadi dalam hidup kita, kita pun harus melakukan penyebab-penyebabnya. Begitu pula sebaliknya, karena kita tidak menginginkan hal-hal buruk terjadi dalam hidup ini, maka berupayalah semaksimal mungkin agar tidak melakukan penyebab-penyebabnya.
Dilanjutkan dengan cobalah untuk terus menyadari bahwa segalanya tidak kekal, dan selalu berubah. Segala hal yang sedang, dan yang akan terjadi nanti, pasti memiliki durasinya masing-masing. Ia akan muncul, berlangsung, kemudian berlalu.
Tidak ada peristiwa-peristiwa pemicu kegembiraan maupun kesedihan yang akan terjadi selamanya. Setelah usai, ia hanya menyisakan kenangan, dan kita pun bisa kembali merasa gembira atau menderita justru karena melekat pada ingatan-ingatan. Sekuat apa pun dampak dari kenangan tersebut tak akan mampu membalikkan waktu.
Kita menjadi seseorang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam kehidupan kita sendiri, dan kesadaran atas kedua hakikat ini mengkondisikan kita menjadi seseorang yang mampu lebih bijaksana saat bergembira maupun bersedih.
Batin yang seimbang
Pandangan kita kerap bias dalam memberikan label “baik” dan “buruk” atas hal-hal yang terjadi dalam hidup ini. Kemampuan untuk siap menerima, yang dilandaskan pada beberapa perspektif Buddhisme di atas mampu mendorong kita belajar memandang melampaui label-label, bahkan dimulai dari bentuknya yang paling dasar.
Misalnya, belajar berprasangka baik untuk hal-hal menyenangkan yang terjadi dalam hidup kita. Tidak menduga-duga, dan meragukan diri sendiri. Sekali lagi diingatkan, hal-hal baik yang terjadi saat ini merupakan akibat dari sebab-sebab yang pernah kita lakukan sebelumnya.
Begitu pula sebaliknya. Manakala hal-hal buruk terjadi dalam hidup ini, kita lebih mengerahkan perhatian untuk mawas diri dan introspeksi, bukan untuk terpuruk dan berlama-lama mengasihani diri. Kita mencoba untuk belajar dari kesalahan sebelumnya, memetik pelajaran, supaya tidak jatuh ke lubang yang sama di kemudian hari.
Esensi dari menjadi manusia yang terus bertumbuh di sepanjang hidupnya, dan tidak mudah diombang-ambingkan gejolak emosi.