Cinta adalah salah satu kekuatan pendorong terbesar dalam hidup manusia. Kemampuan mencintai kepada seseorang yang (kita anggap) tepat, maupun kepada sekelompok orang yang berharga dalam hidup kita bisa menimbulkan perasaan bahagia. Begitu juga sebaliknya, saat kita merasa dicintai dengan tulus dan sepenuh hati. Namun, ekspresi rasa cinta juga bisa memunculkan perasaan tidak nyaman, bahkan berujung pada kesedihan yang menderitakan.
Dalam kebahagiaan ketika kita mencintai seseorang, sekelompok orang, atau sesuatu, kita menginginkan situasi tersebut dapat berlangsung langgeng dan berkepanjangan, atau malah selamanya. Padahal, perubahan secara fisik dan mental pasti selalu terjadi, dan bisa merenggut mereka yang kita kasihi. Perpisahan tak akan bisa kita hindari, menjadi hal yang telah dimengerti tetapi akan selalu susah untuk dihadapi.
Perpisahan tak akan bisa kita hindari, menjadi hal yang telah dimengerti tetapi akan selalu susah untuk dihadapi
Rasa bahagia yang kita alami ketika dicintai pun bisa berubah 180 derajat, menjadi belenggu atau ikatan yang menyakitkan saat ekspresi mencintai tersebut diwarnai oleh sikap terlalu protektif, posesif, hingga dipenuhi curiga. Hal yang bisa terjadi baik dalam konteks asmara, atau lingkup keluarga.
Dengan demikian, bahagia dan derita dalam cinta, akan terjadi silih berganti. Meskipun demikian, perspektif Buddhisme tidak memandang cinta sebagai sumber penderitaan. Cinta (dalam konteks metta; atau maitri yaitu cinta kasih) adalah kekuatan yang mendorong dan termanifestasikan dalam pikiran, ucapan, serta tindakan. Sedangkan derita dalam cinta (termasuk ekspresi kegembiraan semu) berasal dari kemelekatan, yang seringkali dianggap sebagai bagian dari ekspresi cinta itu sendiri.
Kemelekatan mengaburkan pandangan dan membuat kita tidak dapat melihat secara bijaksana. Kemelekatan membuat kita mencintai tanpa kesadaran, dan tanpa kesadaran itulah yang membuat kita rentan terhadap derita dalam cinta.
Kemelekatan membuat kita mencintai tanpa kesadaran, dan tanpa kesadaran itulah yang membuat kita rentan terhadap derita dalam cinta.
1. Menyadari mutlaknya perubahan
Segalanya pasti berubah, dan tidak ada satupun yang luput dari ketidakkekalan tersebut. Termasuk mereka, orang-orang atau sesuatu yang sangat kita cintai.
"Segala milikku yang kucintai dan kusenangi akan berubah, akan terpisah dariku..."
Kemelekatan akan menjadikan rasa cinta terasa begitu menyakitkan, saat perpisahan ini terjadi.
2. Menyadari perubahan di luar kendali kita
Kita tentu memiliki gambaran ideal tentang kebahagiaan dalam cinta; dengan siapa, dalam situasi yang seperti apa, masa keberlangsungannya, dan lain-lain. Terhadap segala gambaran ideal ini, yang bisa kita lakukan adalah berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk membuatnya terwujud.
Ada kalanya segala sesuatu berjalan baik sesuai rencana, tetapi tidak jarang juga segala yang sudah diidam-idamkan malah lepas dari genggaman. Untuk ini, segala perubahan yang terjadi dan bisa terjadi, akan terjadi di luar kendali kita. Kepergian, perpisahan, ketidakcocokan mesti kita sikapi sebagaimana mestinya, dengan bijak.
Ada kalanya segala sesuatu berjalan baik sesuai rencana, tetapi tidak jarang juga segala yang sudah diidam-idamkan malah lepas dari genggaman. Untuk ini, segala perubahan yang terjadi dan bisa terjadi, akan terjadi di luar kendali kita.
Dalam konteks asmara, ada perjuangan, pengorbanan, komunikasi, dan kompromi agar sebuah hubungan berjalan baik. Kendati demikian, perasaan mencintai dan dicintai melibatkan dua pihak. Sementara kemelekatan bisa mendorong seseorang memaksa orang lain untuk mencintai dirinya.
Sekali lagi, yang dapat kita lakukan adalah bertindak sebaik-baiknya. Sedangkan perasaan dan respons orang lain berada di luar kendali kita.
3. Menyadari kebahagiaan "saat ini"
Be present!
Kita semua memiliki kedudukan yang setara dalam memperjuangkan kebahagiaan cinta; mencintai dan dicintai. Namun, kita seringkali terdistraksi oleh kenangan (masa lalu) maupun kekhawatiran dan ketakutan (masa depan). Sehingga alih-alih merasakannya secara menyeluruh, kita justru menjauhkan diri sendiri dari kebahagiaan yang terjadi saat ini.
Kita kerap tersandera dengan masa lalu. Kenangan-kenangan indah yang sudah lewat, dan terus-menerus kita inginkan agar terulang kembali. Kita juga kerap terpenjara dengan apa yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Ketakutan dan kekhawatiran mengenai hal-hal tidak menyenangkan, yang bisa datang sebagai kejutan. Pada akhirnya, hal tersebut kembali bermuara pada realitas perubahan.
Ketakutan dan kekhawatiran mengenai hal-hal tidak menyenangkan, yang bisa datang sebagai kejutan. Pada akhirnya, hal tersebut kembali bermuara pada realitas perubahan.
Terakhir, Buddhisme memiliki pandangan yang spesifik terhadap realitas kehendak bebas (free will) manusia sesuai prinsip sebab akibat saling bergantung. Oleh karena itu, kitalah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri. Cinta, mencintai, maupun dicintai baru akan berpengaruh atas sensasi batin kita, jika kita mengizinkannya.
Jauh lebih penting untuk mengenali dan mencintai diri sendiri terlebih dahulu dengan sadar, sebelum berharap atau meminta orang lain mengenali dan mencintai diri kita.
Jauh lebih penting untuk mengenali dan mencintai diri sendiri terlebih dahulu dengan sadar, sebelum berharap atau meminta orang lain mengenali dan mencintai diri kita.