Self Lifehacks

Secawan Teh: Komparasi Diri


Dalam Secawan Teh sebelumnya, kita telah mencoba melihat kesombongan dalam bentuknya yang paling halus, dan kerap tidak kita sadari kemunculannya. Kesombongan merupakan salah satu hasil akhir dari fenomena batin yang kemudian memengaruhi pemikiran, ucapan, dan tindakan kita.

Perspektif Buddhisme memandang kesombongan dihasilkan dari kecenderungan kita (ego) membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Dalam proses membanding-bandingkan diri tersebut, secara alamiah kita akan menemukan orang-orang yang kondisinya di atas kita, maupun yang di bawah.

Saat membandingkan diri kita dengan mereka yang berada “di atas”, kita cenderung melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri. Kita pun bisa terdorong untuk terus mengejar dan melengkapi kekurangan-kekurangan itu. Tanpa kesadaran yang waskita (mindfulness) dan pandangan yang bijaksana, situasi ini dapat menumbuhkan ketidakpuasan dan kegelisahan yang konstan; kita akan selalu terfokus pada apa yang tidak dimiliki, dan membuat kita berada dalam siklus pengejaran tanpa akhir.

Sebaliknya, saat membandingkan diri kita dengan mereka yang berada “di bawah”, kita akan terpapar dengan segala kelebihan yang telah dimiliki. Lazim jika kita bisa merasa berbesar hati, bersyukur, dan berterima kasih. Namun, apabila tidak disikapi dengan waspada dan kurang berhati-hati, situasi ini malah berpotensi memunculkan keakuan atau kebanggaan yang berlebihan, kegembiraan yang melengahkan, hingga sikap angkuh, merendahkan orang lain, atau sombong tanpa kita sadari.

Inilah yang menyebabkan komparasi diri terlihat sebagai gerbang menuju ilusi batin atau jebakan mental. Sederhananya, ketidakpuasan, kegelisahan, dan kekurangan diri sendiri (dibanding orang lain) menimbulkan sensasi tidak menyenangkan (menderita). Sementara rasa bangga yang berlebihan atas apa yang kita miliki (dibanding orang lain) seringkali terasa menyenangkan (bahagia). Kemudian, lagi-lagi tanpa disadari, kedua sensasi tersebut justru mengendalikan kehidupan kita. Padahal semuanya kita munculkan dan berasal dari pikiran sendiri.

Kita dijebak oleh pikiran sendiri.

-     Sadari godaan untuk komparasi diri

Sebagai makhluk sosial, kita memang selalu dihadapkan dengan keinginan atau malah dikondisikan untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Kita penasaran dan ingin tahu, di manakah posisi kita; berapa nilai kita, apa yang telah kita capai, apa yang harus kita capai untuk menyamai atau melampaui, dan beraneka parameter lainnya.

Ibarat umpan di mata kail, cobalah sadari godaan tersebut agar jangan sampai tersangkut. Dalam hal ini, komparasi mustahil dihindari. Namun, upayakan jangan sampai hanyut dalam sensasi menyenangkan/tidak menyenangkan yang muncul. Ini bertujuan agar segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, dapat kita lihat secara netral dan apa adanya. Tidak terlampau bergejolak dan melumpuhkan.

-     Tenang menghadapi pujian atau hinaan

Selain menghasilkan respons internal (dari batin sendiri), proses komparasi diri juga mengundang hadirnya respons eksternal (dari orang lain). Milikilah jangkar batin ketika mendapatkan pujian atau hinaan, agar kita tidak melekat; bergembira atau terpuruk berkepanjangan.

Lihatlah pujian atau hinaan itu sebagaimana mestinya. Coba tangkap intinya (bila ada), lalu lepaskan tanpa perlu melabelinya dengan perasaan. Waktu dan tenaga kita terlampau berharga untuk saat ini, daripada dicurahkan untuk marah, gegap gempita, sedih, berhura-hura, maupun tersinggung gara-gara ucapan atau perkataan.

-     Miliki rasa puas dan sikap berterima kasih

Dalam Mańgala Sutta, salah satu mańgala atau berkah keutamaan pada seseorang adalah memiliki rasa puas dan sikap berterima kasih atas apa yang dimiliki. Bukan sekadar menjadi penangkal sikap rendah diri maupun sikap angkuh, melainkan menekan dorongan, atau bahkan membuat kita enggan terlarut dalam komparasi diri.

Kendati demikian, istilah “rasa puas” di sini jangan disalahartikan berupa sikap tidak ingin melakukan apa-apa lagi (complacent), tetapi berupa rasa puas yang penuh dan menenteramkan (content).

Sebab manakala batin dan pikiran sudah tenteram, apa lagi yang tersisa untuk diperbandingkan?

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024