Kita tentu sudah tahu, bahkan sangat paham tentang salah satu sikap mental ini. Sejak kecil, kita telah diperkenalkan dan diajarkan tentang kesombongan sebagai sesuatu yang buruk. Meski demikian, kita seringkali tidak sadar ketika sebenarnya sedang tinggi hati, ketika kita sedang menunjukkan keangkuhan–ketika kita sedang bertindak sombong dalam bentuknya yang paling halus.
Cunningham’s Law mungkin merupakan salah satu contoh yang relevan. Ward Cunningham, seorang pakar komputer dari Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai pencetus pemikiran ini–meski ia menyangkalnya.
“The best way to get the right answer on the Internet is not to ask a question; it's to post the wrong answer.”
Mengapa demikian?
Cunningham menyebut bahwa para pengguna internet, termasuk media sosial, cenderung lebih terdorong untuk mengkoreksi jawaban yang keliru dibanding sekadar merespons pertanyaan selayaknya percakapan pada umumnya.
Tanpa meninjaunya lebih dalam lewat kajian psikologi perilaku, sekilas tidak ada yang aneh dari aktivitas tersebut. Yang terjadi adalah; memberitahu yang tidak tahu, dan meluruskan yang keliru. Namun, coba cermati motivasi yang timbul manakala kita terdorong untuk mengatakan, atau melakukan sesuatu. Apakah niat kita benar-benar sekadar memberitahu yang tidak tahu, dan meluruskan yang keliru, atau kita justru ingin menunjukkan bahwa “saya lebih tahu daripada kamu…” Saat kita bisa memberi label “lebih” pada diri sendiri terhadap orang lain, di situlah kesombongan mulai terjadi.
Saat kita bisa memberi label “lebih” pada diri sendiri terhadap orang lain, di situlah kesombongan mulai terjadi.
Kemunculannya bukan tanpa sebab, and this is the tricky part. Dalam banyak situasi, awalnya kita memang tidak bertujuan untuk meninggikan diri sendiri, atau merendahkan orang lain yang kita jadikan lawan interaksi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kita terus melakukan penilaian terhadap orang tersebut, dengan menjadikan diri sendiri sebagai pembanding. Objek-objek yang umumnya kita bandingkan antara lain; kepintaran(ku dan kepintarannya), pengetahuan(ku dan kepintarannya), wawasan(ku dan wawasannya), referensi(ku dan referensi yang ia gunakan), teori-teori dan argumen(ku dan argumennya), serta pelbagai kualitas-kualitas positif lainnya.
Proses menilai dan membandingkan ini berlangsung relatif cepat. Dari hasil penilaian tersebut, kita bisa teramat bangga dengan kualitas-kualitas positif yang kita miliki, hingga menimbulkan asumsi bahwa “saya lebih tahu daripada kamu…” Sekali lagi, di situlah kesombongan mulai terjadi.
Perspektif Buddhisme memandang hal ini (kesombongan yang tumbuh dari kebanggaan diri) sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Ia merupakan jebakan batin, menciptakan ilusi eksistensial “aku” sebagai salah satu pengkondisi siklus saṃsāra. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa coba dilakukan.
1. Sadari dan kenali luapan yang muncul
Kita sangat mengenali gejala batin yang satu ini: antusiasme. Yakni, berupa dorongan atau semangat untuk menanggapi sesuatu saat berinteraksi. Terutama pada saat kita merasa memiliki tanggapan terbaik, tanggapan yang bisa membuat kita merasa lebih senang kepada diri sendiri. Dalam contoh Cunningham’s Law di atas, kita merasa lebih senang kepada diri sendiri setelah merasa berhasil mengkoreksi kesalahan orang lain.
Sadari ini. Jangan terburu-buru meluapkannya. Lalu, coba kenali dorongan yang muncul. Apakah tanggapan (berupa ucapan yang akan kita sampaikan, atau tindakan yang akan kita lakukan) benar-benar bermanfaat bagi situasi tersebut? Jika tidak bermanfaat, coba hindari. Karena hanya akan membesarkan ego, memfasilitasi terbentuknya kesombongan.
Pelan-pelan.
2. Kita hanya bisa menjadi pengamat
Kita mungkin merasa telah menjadi seseorang yang pintar, berpengetahuan luas, dan berpengalaman. Kita pun bisa memberikan nasihat yang terdengar bijak. Walau demikian, kita bukanlah orang lain. Kita hanya mampu melihat kondisi orang lain dari sudut pandang pribadi, dan mustahil bisa menghasilkan pemahaman yang 100 persen sama. Maka, apa pun yang kita sampaikan atau lakukan, tidak akan pernah valid bagi kehidupan orang lain. Bila bantahan atau penolakan dari orang lain membuat kita gusar, tidak nyaman, atau bahkan tidak bisa kita terima dengan tenang, itulah salah satu bentuk bibit kesombongan yang halus. Coba sadari, dan kenali.
Pelan-pelan.