“Aku wajar mengalami usia tua,
Aku takkan mampu menghindari usia tua.
Aku wajar menyandang sakit,
Aku takkan mampu menghindari penyakit.
Aku wajar mengalami kematian,
Aku takkan mampu menghindari kematian.
Segala miliku yang kucintai dan kusenangi, wajar berubah, wajar terpisah dariku.
Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri,
Terwarisi oleh perbuatanku sendiri,
Lahir (terkondisi mengalami kelahiran) dari perbuatanku sendiri,
Berkerabat dengan perbuatanku sendiri,
Bergantung pada perbuatanku sendiri.
Perbuatan apa pun yang akan kulakukan, baik atau buruk; perbuatan itulah yang akan kuwarisi.
Demikian hendaknya kerap kali direnungkan.”
Abhiṇhapaccavekkhaṇa Pāṭha (Perenungan Kerap Kali)
Terjemahan bahasa Indonesia
Syair-syair di atas selalu diulang dan direnungkan oleh pembelajar Buddhisme dalam berbagai kesempatan. Baik di saat biasa, ketika semuanya berjalan baik-baik saja, maupun ketika tengah mengalami kehilangan atau kematian.
Bukan sekadar dibaca layaknya mantra, syair Perenungan Kerap Kali ini difungsikan menjadi pengingat sekaligus permakluman bahwa tidak ada yang kekal; segalanya akan selalu berubah, dan ketidakkekalan tersebut merupakan situasi yang alamiah, serta mustahil dihindari. Menumbuhkan kesadaran bahwa kehilangan dan kematian pasti terjadi pada siapa saja.
Misalnya, saat ini mungkin kita yang ditinggalkan, kita yang mengalami kesedihan. Namun, suatu saat, kitalah yang meninggalkan, justru kita yang menimbulkan kesedihan bagi orang lain.
Manakala menghadapi kematian orang lain, melalui perenungan ini, para pembelajar Buddhisme diharapkan bisa melihat dan menyikapi kematian sebagaimana adanya. Paling tidak, membuat kita memiliki kekuatan mental untuk mampu bersedih secukupnya, lalu kembali berpikiran jernih dalam bertindak, terus menjalani hidup dengan belajar dari pengalaman, dan berhati-hati.
Saat ini mungkin kita yang ditinggalkan, kita yang mengalami kesedihan. Namun, suatu saat, kitalah yang meninggalkan, justru kita yang menimbulkan kesedihan bagi orang lain.
Sebagai fenomena yang alamiah, kematian bisa terjadi karena adanya faktor-faktor yang mengkondisikannya. Secara spesifik, Sang Buddha menggunakan analogi api lampu minyak atau pelita untuk menggambarkan skenario-skenario penyebab kematian.
-
Api pelita mati karena minyaknya habis.
-
Api pelita mati karena sumbunya habis.
-
Api pelita mati karena minyak dan sumbu habis bersamaan.
-
Api pelita mati karena faktor-faktor lain, seperti tertiup angin, jatuh, dan sebagainya.
Secara sederhana, minyak pelita mewakili kamma atau karma, yakni daya pengkondisi terjadinya kelahiran dan kehidupan. Sedangkan sumbu pelita melambangkan daya hidup, yang sejak kemunculannya terus mengalami penurunan dan kelapukan.
Dengan demikian, apa pun faktor penyebabnya, api pelita (kehidupan) akan padam dan selain berjuang menerima padamnya api pelita sebagai sebuah keniscayaan, kita sepatutnya terus berusaha agar bisa menjadi api pelita yang menerangi dan bermanfaat hingga tiba waktunya padam nanti.
Kita sepatutnya terus berusaha agar bisa menjadi api pelita yang menerangi dan bermanfaat hingga tiba waktunya padam nanti.