Perasaan yang satu ini kerap diibaratkan seperti api, yang setelah membakar hanya akan menyisakan abu atau arang; kerusakan. Namun, sama seperti bentuk-bentuk perasaan lainnya pada manusia, munculnya kemarahan adalah sesuatu yang alamiah dan manusiawi.
Semua orang bisa marah karena alasannya masing-masing. Kemarahan bisa timbul sebagai sebuah perasaan, tetapi juga bisa muncul sebagai sebuah keinginan yang mendorong untuk bertindak dan melakukan sesuatu terhadap orang (atau makhluk) lain.
Kemarahan terjadi ketika kita merasa tidak nyaman, terusik, tidak terima, maupun terganggu. Yang pasti, munculnya kemarahan berasal dari dalam diri sendiri, sebagai reaksi atas sesuatu. Di titik ini, kemarahan yang muncul belum bersifat destruktif, ia belum menyebabkan kerusakan baru. Saat kita melakukan sesuatu karena marah apalagi untuk menyakiti, saat itulah kemarahan tadi justru menjadi penyebab, aksi yang pasti akan diikuti oleh reaksi.
Bila kita mengamati lebih cermat, bukanlah kemarahan yang menyebabkan kerusakan, melainkan tindakan yang kita pilih untuk merespons luapan emosi tersebut. Di sinilah kita perlu berhenti menyalahkan diri sendiri (karena telah mengalami kemarahan), melihat kemarahan sebagaimana adanya, dan mulai belajar menjeda.
Bila kita mengamati lebih cermat, bukanlah kemarahan yang menyebabkan kerusakan, melainkan tindakan yang kita pilih untuk merespons luapan emosi tersebut.
1. Ambil jarak, amati dari kejauhan
Layaknya bentuk-bentuk perasaan lainnya, kemarahan mengalami fase muncul, memuncak, lalu tenggelam. Selama ini, kita terbiasa membiarkan aliran emosi terjadi begitu saja sehingga kerap tidak sadar; tahu-tahu sudah dalam keadaan marah, tahu-tahu khilaf, tahu-tahu sudah melakukan sesuatu yang teramat disesali kemudian. Padahal sebelum kemarahan itu muncul, perasaan kita datar saja. Kesadaran dan perasaan bukanlah satu kesatuan.
Di sinilah pentingnya being mindful atau menjaga kesadaran, waspada terhadap segala yang terjadi dengan tidak ikut tenggelam dan hanyut ke dalamnya, melainkan berusaha menyadari sejelas-jelasnya.
Saat melakukan pengamatan batin, kita seakan-akan melihatnya dari kejauhan. Bukannya tidak diacuhkan sama sekali, melainkan cukup berjarak agar tetap bisa mengenalinya secara jelas tanpa ikut terdampak olehnya. Sesaat setelah kita mampu mengenalinya, kita memberikan catatan mental kepada batin: “Oh… saya sadar, SAAT INI saya sedang merasakan kemarahan.” Hanya menyadari. Tidak menghakimi penyebab munculnya kemarahan, tidak menganalisis macam-macam, dan tidak berkutat dengan konsep-konsep yang muncul dalam pikiran.
Metode di atas merupakan salah satu bentuk latihan meditasi yang belakangan lazim disebut mindfulness meditation, yang sejatinya bertujuan lebih dari sebuah ketenangan pikiran.
Sekilas, langkah-langkah di atas terkesan sulit untuk dijalankan, atau bahkan tampak seperti omong kosong. Wajar jika ada yang beranggapan demikian, karena sekali lagi, kita sudah sangat terbiasa membiarkan segalanya terjadi begitu saja dengan cepat. Saya pastikan, ini bisa dilatih. Bukan untuk mengabaikan perasaan marah yang muncul, tetapi agar kita tetap terjaga.
Selebihnya, apabila Anda membutuhkan quick fix untuk meredakan kemarahan, cara lain yang juga populer adalah menghitung satu sampai sepuluh secara perlahan sambil mengatur napas.
2. Bersabar dengan benar
Ini terkait dengan persepsi yang kita miliki selama ini. Kesabaran bukanlah hasil dari kemampuan menahan amarah. Kesabaran adalah sikap yang kita ambil, dan kita lakukan secara aktif saat berurusan dengan kemarahan.
Kesabaran bukanlah hasil dari kemampuan menahan amarah. Kesabaran adalah sikap yang kita ambil, dan kita lakukan secara aktif saat berurusan dengan kemarahan.
Kita analogikan kemarahan seperti petasan yang segera meledak. Menahan amarah ibarat menaruh petasan tersebut ke dalam kaleng dan menutupnya. Meskipun terkesan sudah diamankan, ledakan tetap akan terjadi. Bahkan bunyinya bisa lebih nyaring. Sedangkan kesabaran kurang lebih berupa tahu apa yang sebaiknya dilakukan agar petasan tersebut tidak meledak sama sekali. Misalnya dengan menenggelamkannya ke dalam air.
Setelah kita berhasil menjaga jarak dan melihat kemarahan sebagaimana adanya, dengan penuh kesabaran kita mencoba memerhatikan pemicu munculnya kemarahan tersebut. Mengetahui pangkal masalah yang dihadapi sejelas mungkin, agar mampu menimbang dan memutuskan tindakan selanjutnya. Apabila penyebab kemarahan ternyata sesuatu yang sepele dan bisa dibiarkan berlalu begitu saja, kita sudah menang tanpa harus berperang.
3. Belajar dari pengalaman
Berlatih sabar dengan benar mengkondisikan kita untuk lebih tenang, dan mampu berpikir. Dari situ kita dapat mencermati masalah yang dialami, apa penyebabnya, dan apakah bisa terjadi lagi di masa depan atau merupakan sesuatu yang tidak akan terulang. Sebagian orang menyebutnya hikmah, ada juga yang menyebutnya pelajaran dari pengalaman. Apa pun sebutannya, yang jelas kita tetap bisa belajar lebih bijaksana lewat kemarahan. Agar kita bisa menghindari kesalahan serupa, atau menghindari terpapar objek-objek pemicu kemarahan yang sama di waktu mendatang.
Bagi Anda yang memiliki amarah saat ini, sudahkah Anda mengenali kemarahan tersebut? Bila perlu catat hasil identifikasi yang Anda temukan (apa, mengapa, bagaimana, siapa), lalu baca kembali beberapa waktu kemudian.
Selamat mencoba.