Dalam banyak referensi, baik spiritual maupun populer, keinginan kerap disebut sebagai biang kerok penderitaan.
Ada yang menerimanya mentah-mentah, secara harfiah dan begitu saja, sehingga akhirnya menjadi sangat benci pada kehidupan karena mustahil menjalani hidup tanpa keinginan sedikit pun. Selebihnya, banyak pula yang langsung menolak pandangan tersebut, menganggapnya merupakan pemikiran orang-orang pesimistis yang malas berusaha; kurang bersyukur; tidak beriman atau tidak mampu berserah.
Diperlukan kebijaksanaan hingga tiba pada titik menyadari bahwa keinginan merupakan sumber penderitaan, dan dengan kebijaksanaan itu pula bisa membuat batin kita luwes bermanuver menghadapi keinginan yang muncul, dan dampak lanjutannya. Mengutip tulisan Secawan Teh sebelumnya, antara bahagia dan derita, yang terjadi hanyalah pergantian momen. Kali ini, kita melihat keinginan sebagai salah satu penyebab terjadinya pergantian momen tersebut.
Sebagai manusia biasa, mustahil bagi kita untuk hidup tanpa keinginan, maupun menghilangkan keinginan sampai 100 persen dalam kehidupan kita. Namun, jangan sampai kita justru diperbudak oleh ilusi dari keinginan-keinginan tersebut, dan membuat kita seolah-olah tidak memiliki kendali sedikit pun atas diri sendiri.
Kita akan merasa tidak bahagia atau menderita saat keinginan tidak terpenuhi, atau malah mendapatkan yang kita benci (misalnya musibah, malapetaka, kerugian, dan sebagainya). Begitu pula sebaliknya, kita bisa merasa gembira dan bahagia manakala mendapatkan yang diinginkan.
Ibarat bisa bertemu dengan yang kita cintai, kita pun mendekap erat-erat dan melekat pada hasil akhir dari keinginan tersebut, Karena selain terasa menyenangkan, didapatkannya pun dengan susah payah. Situasi ini memunculkan keinginan baru, agar yang sudah diperoleh bisa langgeng kekal selamanya. Sayangnya, tatkala keinginan baru tersebut tidak bisa dicapai, pertemuan harus kembali berujung pada perpisahan, kebahagiaan pun kembali berganti menjadi penderitaan. Ini tidak terhindarkan dan seringkali kita sangkal.
Jadi, alih-alih langsung menyalahkan keinginan sebagai sumber penderitaan, dan mengikrarkan perang melawannya, ada baiknya kita mulai dengan menyadari beberapa hal.
1. Mendapatkan atau Tidak Mendapatkan
Bagian paling mendasar adalah menyadari dan memahami bahwa realitasnya ada dua: berhasil mendapatkan, atau tidak berhasil mendapatkan. Pasalnya, kita seringkali bersikap bahwa ketidakberhasilan itu sama dengan nestapa. Manage our expectation, tetap mengupayakan yang terbaik, tetapi juga mempersiapkan diri untuk kondisi terburuk.
2. Kenali dan Pilah Keinginan
Ada keinginan yang individualistis (keinginan biasa), dan keinginan yang berujung pada kesejahteraan orang atau makhluk lain (keinginan luhur). Kenali keinginan-keinginan yang muncul, dan pilah jenisnya. Sangat alamiah bila kita masih didominasi keinginan-keinginan biasa, hanya saja pahami bahwa keinginan-keinginan tersebut hanya berdampak pada diri kita sendiri … menjadi sarana untuk belajar mengurangi egoisme. Saat berhasil mendapatkannya, bagi kebahagiaan dengan sesama. Saat tidak berhasil mendapatkannya, tidak perlu seret orang lain untuk berduka bersama-sama.
3. Tidak Kekal
Ada awal pasti diikuti akhir. Begitu pula dengan keinginan. Semembahagiakan atau semenderitakan apa pun hasil akhirnya, akan berlalu. Susah payah mempertahankan sesuatu yang tidak kekal pasti akan berujung pada kekecewaan. Keberhasilan memperoleh yang diinginkan harus diiringi dengan belajar melepaskan. Sedangkan dari setiap kegagalan yang dialami sebaiknya didampingi kemampuan untuk bangun dan bangkit lagi.
Dari poin ini pula, kita bisa pelan-pelan belajar tentang batin yang seimbang. Sadar bahwa segala sesuatunya tidak pasti dan tidak kekal, kita tidak hanyut, berlama-lama dalam ledakan euforia maupun ratap tangis.
Jadi, keinginan memang sumber penderitaan, selama kita membiarkan diri kita sendiri untuk dideritakan oleh keinginan.
**
Referensi:
Cattāri Ariya Saccāni (Four Noble Truth)