Selama ini, kita terbiasa beranggapan bahwa kebahagiaan dan penderitaan berada di dua kutub yang saling berseberangan; keberadaan yang satu akan menghilangkan yang lain, saling menegasikan, saling menghancurkan. Anggapan itu pula yang mendorong kita agar selalu mengejar kebahagiaan, mencari dan melekati hal-hal yang dirasa membahagiakan, serta menghindari maupun mencegah terjadinya penderitaan dengan cara apa pun.
Padahal, tanpa kita sadari, kebahagiaan dan penderitaan muncul silih berganti; keduanya saling menggantikan dalam proses yang teramat cepat. Kebahagiaan tercipta ketika penderitaan sirna, sedangkan penderitaan muncul manakala kebahagiaan telah berlalu.
Kebahagiaan dan penderitaan muncul silih berganti. Kebahagiaan tercipta ketika penderitaan sirna, sedangkan penderitaan muncul manakala kebahagiaan telah berlalu.
Yang sejatinya terjadi adalah momen, dan pergantian dari satu momen ke momen lainnya. Kebahagiaan dan penderitaan merupakan kesan yang timbul, perasaan yang mengiringi setiap momen tersebut.
Izinkan saya menggunakan anak kecil dan es krim sebagai analogi.
Saat pergi berbelanja bersama ibunya, seorang anak melihat es krim dan langsung merengek minta dibelikan. Rengekan itu tidak diacuhkan selama beberapa waktu, hingga kemudian si anak kecil tadi menangis kencang, tetap dengan keinginannya untuk makan es krim. Sang ibu yang terganggu dan malu dengan pengunjung lain pun menuruti keinginan anaknya.
Dengan es krim di genggamannya, sang anak menjadi gembira. Cukup Anda bayangkan tingkah laku anak kecil yang kegirangan karena mendapatkan es krim. Saking girangnya, sang anak kurang fokus dan agak kehilangan keseimbangan saat berjalan. Es krim yang ia pegang terjatuh! Sontak, tangisannya kembali pecah, tak kalah heboh dibanding tangisan yang sebelumnya.
Jika kita amati, sang anak kecil tadi mengalami perubahan momen dari:
1. Datang ke swalayan, belum ada keinginan (NETRAL)
2. Sebegitu kuatnya ingin mendapatkan sesuatu (MENDERITA)
3. Mendapatkan sesuatu yang diinginkan (BAHAGIA)
4. Kehilangan sesuatu yang diperoleh sebelumnya (MENDERITA)
Apabila contoh di atas terkesan agak sederhana, yang berikut ini mungkin telah atau sedang Anda alami.
Sudah sejak pertengahan 2019 kita merencanakan liburan ke luar negeri. Kita telah menghitung target uang yang harus ditabung, bahkan telah membeli tiket pesawat dengan harga promo, disusul menyusun timeline sedemikian rupa untuk reservasi hotel, menyusun alur perjalanan (itinerary), mengajukan visa perjalanan, dan sebagainya.
Tiba waktunya di Februari 2020, tabungan berhasil dikumpulkan dengan susah payah. Rasa hati makin excited lantaran sebentar lagi bisa wisata impian. Tak disangka, pada Maret 2020 dunia seakan terbalik. Pandemi melanda. Semua aktivitas terhenti, termasuk penerbangan internasional dan aktivitas wisata. Negara tujuan liburan malah menutup perbatasannya, memberlakukan lockdown total yang tidak memungkinkan siapa saja untuk datang.
Sedih, kesal, kecewa bercampur jadi satu. Sayangnya, ingin marah sekeras apa pun, tidak akan mampu mengubah keadaan. Liburan impian hanya bisa dilupakan.
Silakan Anda kenali perubahan momen yang terjadi dalam contoh di atas. Coba identifikasi, mana yang memunculkan rasa bahagia dan derita.
Inilah yang dimaksud dengan kebahagiaan dan penderitaan silih berganti dalam pergantian momen kehidupan. Bukannya saling menghilangkan, keduanya justru ibarat kembar siam yang bersisian. Saat bahagia kita seakan-akan dibuat melayang, tetapi saat menderita kita merasa terpuruk begitu dalam.
Kenyataannya, segala sesuatu pasti berlalu. Apa pun yang terjadi, momen yang membahagiakan atau mengecewakan, life must go on! Walau sekuat apa pun kita menahannya, momen kebahagiaan bisa usai dan berlalu. Begitu juga sebaliknya.
Yang perlu kita lakukan ialah belajar mengubah persepsi. Belajar agar tidak terlampau mudah dihanyutkan perasaan sendiri.
Sadari
Sadar bahwa semuanya adalah momen yang silih berganti.
Ubah Persepsi
Sadar pula bahwa rasa bahagia dan derita adalah kesan yang timbul dari batin kita pada setiap momen yang terjadi.
Kendalikan Diri
Sadar bahwa sebaiknya tidak hanyut dengan perasaan. Mulai belajar mengamati batin dan gejolak yang timbul-tenggelam. Mulai belajar memiliki batin yang tak tergoyahkan.
Batin kita laksana lautan, perasaan ibarat angin. Manakala angin bertiup kencang, permukaan laut bergejolak. Menghasilkan ombak tinggi yang ganas dan membahayakan. Namun, seganas dan seberbahaya apa pun ombak menghempas, ia akan kembali menjadi buih, kembali ke keadaan awalnya.