Agak berbeda dari topik bahasan Secawan Teh biasanya, kali ini kita akan berbincang tentang “avatar”, bahasan yang makin sering muncul dalam beberapa tahun terakhir, khususnya terkait digital lifestyle, atau interaksi virtual melalui jagad digital. Saat ini, banyak dari kita yang mengenal konsep “avatar” sebagai extended identity; atau tanda pengenal khusus yang bisa kita rancang sendiri. Dalam platform tertentu yang memungkinkan hal tersebut, kita memilih atau membuat citra visual tersendiri, lalu melengkapinya dengan nama atau panggilan khusus.
Melalui avatar tersebut, kita berinteraksi; melibatkan diri dalam perbincangan yang berlangsung, mengutarakan opini maupun sekadar thinking out loud, hingga melakukan beragam aktivitas digital lainnya.
Semua ini seolah-olah menjadikan “avatar” identik dengan peradaban modern; dunia internet, serta perkembangan teknologi komunikasi dan sosial. Padahal, realitasnya, konsep avatar dan implementasinya telah dikenal, bahkan populer sejak lebih dari dua milenium lalu dalam berbagai kebudayaan dan tradisi-tradisi filsafat timur. “Menyeberang turun.” Kurang lebih inilah arti harfiah dari kata “avatar” dalam bahasa Sanskerta. Yakni ketika sosok adikodrati, umumnya dewa-dewa utama, “turun” menitis menjadi individu, atau bahkan menjadi makhluk lain untuk menjalankan dharma, atau tugas khusus. Individu atau makhluk lain yang memiliki nama dan rupa yang baru inilah yang lazimnya disebut avatar. Seakan-akan ada dua eksistensi yang berbeda, padahal sejatinya satu.
Konsep avatar dan implementasinya telah dikenal, bahkan populer sejak lebih dari dua milenium lalu dalam berbagai kebudayaan dan tradisi-tradisi filsafat timur. “Menyeberang turun.” Kurang lebih inilah arti harfiah dari kata “avatar” dalam bahasa Sanskerta. Yakni ketika sosok adikodrati, umumnya dewa-dewa utama, “turun” menitis menjadi individu, atau bahkan menjadi makhluk lain untuk menjalankan dharma, atau tugas khusus.
Kini, kita relatif bebas mengekspresikan diri melalui avatar digital. Dalam beberapa genre online game RPG, misalnya, kita dapat memilih figur-figur yang tersedia untuk menjadi avatar kita, jagoan kita. Setelah berhasil menyelesaikan serangkaian tugas dan petualangan, kita pun dapat memodifikasi avatar digital tersebut dengan berbagai aksesori baru, busana khusus, dan sebagainya. Begitu pula di berbagai platform lainnya. Para pengembang biasanya akan merilis item-item baru secara berkala, yang bisa digunakan untuk membuat avatar-avatar digital tampil lebih unik. Seiring berjalannya waktu, avatar digital pun menjadi kian personal. Layaknya manusia dengan keunikannya masing-masing, demikian juga avatar digitalnya. Mereka menjadi wakil-wakil para pemiliknya di semesta maya.
Supaya lebih nyaman saat berinteraksi dengan, dan bersama avatar digital, berikut beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan.
Sadar. Lakukan dengan sadar. Menyadari bahwa avatar digital kita adalah personifikasi yang kita buat untuk berinteraksi di lingkungan virtual tersebut. Lalu, karena itu, menyadari juga bahwa segala tindakan avatar digital tersebut berasal dari diri kita sendiri.Segala perkataan baik dan positif dari avatar digital kita, berasal dari kita. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, menyadari bahwa avatar digital kita tidak semestinya dijadikan topeng untuk kebebasan melakukan hal-hal buruk.
Jujur. Kejujuran dalam membuat, mengelola, dan menggunakan avatar digital kita, jangan diartikan dengan membuka atau menyebarkan data sensitif pribadi, seperti nama lengkap resmi atau tanggal lahir.
Dalam konteks ini, kejujuran lebih ditekankan pada tidak adanya niat atau keinginan untuk membohongi, mengelabui, atau mendustai orang lain saat berinteraksi virtual. Apalagi jika tindakan tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara ilegal. Sebab, apa pun platformnya, baik offline maupun online, tindakan yang tidak didasari oleh niat buruk dapat mendukung terciptanya ruang interaksi yang aman.
Berhati-hati. Saat ini, memang hampir semua komunitas dan pengelola platform virtual menerapkan Community Guideline, atau panduan penggunaan sebagai standar. Tidak ada toleransi untuk tindakan-tindakan antisosial, seperti perundungan, pelecehan dan penghinaan, intimidasi, atau sejenisnya. Terlepas dari itu, kita tetap harus hati-hati. Be vigilant, dan berusaha berani bertindak tepat ketika diperlukan. Termasuk seperti tidak meladeni permintaan-permintaan yang terkesan aneh, atau mencurigakan.
Terakhir, juga berhati-hati dengan diri sendiri. Paling tidak, tahu kapan sebaiknya mengambil jeda, dan beristirahat. Sekarang setelah paham apa itu Avatar, kalian bisa aplikasikan pelajaran ini ketika bikin Avatar metaverse kalian di Nusameta, sebuah platform metaverse Indonesia, di mana kita bisa mengekspresikan diri kita yang sebenarnya. Kamu bisa untuk memulai #newlifenewyou di Nusameta.