Self Lifehacks

Seberapa Dekat Kita DenganNya

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Larik-larik puisi berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” dari penyair Abdul Hadi W. M. ini kerap terngiang di kepala saya tiap kali memikirkan sebuah pertanyaan: seberapa dekat dan sebaik apa hubungan saya dengan Tuhan. Juga ketika kasus Meiliana, perempuan paruh baya yang harus berhadapan dengan hukum karena mengeluhkan volume pelantang suara mesjid dan divonis satu tahun penjara merebak beberapa pekan lalu. Saya terpekur. Di kepala saya terputar lari larik-larik puisi Abdul Hadi W. M. itu.

Teringat juga pengalaman saya dengan pelantang suara mesjid belasan tahun silam, juga berbagai pemikiran yang berseliweran di kepala saya saya tentang apakah hubungan insan dengan Tuhan memang sebatas kadar kelantangan suara kita memanggilNya?

Sebagai seorang muslim, terus terang saja, saya pun pernah merasa terganggu dengan volume pelantang suara dari mesjid di depan tempat tinggal yang saya huni sekitar dua puluh tahun lalu. Saat itu, anak pertama saya, Meira, baru berusia beberapa bulan. Di hari-hari tertentu, sekelompok ibu menggelar pengajian pada sekitar pukul 10 pagi. Jam di mana bayi saya tertidur lelap setelah selesai menyusu dan kelelahan bermain di pagi hari. Pelantang suara mesjid yang digunakan oleh ibu-ibu pengajian itu, tak jarang mengejutkan bayi saya dan membuatnya menangis. Saya sering kesal dan ingin protes ke pengurus mesjid, meminta volume pelantang suara di sana dikecilkan agar tak mengganggu nyenyak tidur bayi saya.

Hanya saja, saya tak pernah melakukannya. Tak berani tepatnya. Saya hanya berani menggerutu di balik pintu, pada asisten rumah tangga, atau pada kerabat yang kebetulan sedang menginap. Itu pun, selalu saya dapat peringatan untuk tak meneruskan gerutuan saya karena mereka anggap saya akan berdosa bila merasa suara-suara yang datang dari mesjid sebagai gangguan. Biasanya, kata “berdosa” selalu bisa meredam gerutu saya. Tapi tidak dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala saya tentang apakah benar Tuhan harus disapa selantang itu? Sebab dalam sebuah ayat di AlQuran, kitab suci yang saya imani, tertera firman yang mengatakan bahwa Tuhan saya berdiam di urat nadi, di leher setiap manusia. Artinya, Dia berada sangat dekat.

Saya sendiri, termasuk orang yang sangat percaya bahwa Tuhan memang sedekat itu. Bahkan tanpa berseru, Dia bisa mendengar apa yang kita pikir dan rasakan. Begitu pula kita. Saya, entah mulai kapan tepatnya, merasa yakin bahwa kita pun selalu bisa mendengar ucapan dan kehangatan kasih sayang Tuhan, tanpa Dia perlu berteriak di telinga kita. Hubungan Tuhan dan insan, menurut saya, merupakan sebuah hubungan maha lembut yang bekerja di partikel paling kecil di hati seorang manusia.   

Tuhan, saya percaya, adalah Dia yang menjadi seperti apa yang kita yakini. Dia baik apabila kita berpikir bahwa Dia baik. Dia kejam dan penuh penghakiman segera setelah kita berpikir demikian. Tuhan, dalam berbagai agama, sejatinya merupakan sebuah konsep tentang sebuah kekuatan maha besar, keagungan maha tinggi yang hanya bisa diimani bila kita meyakininya dengan kesadaran dan bukan indoktrinasi. Dia bisa ada di mana saja. Di rumah-rumah ibadah, di rumah kita, di jalan raya, di pasar, di kantor, di restoran, di penjara atau di lokalisasi prostitusi, selama orang-orang yang berada di sana menyimpan Tuhan di dalam hatinya. Tuhan bisa saja tak hadir bahkan di rumah ibadah paling megah dengan pengeras suara paling santer, bila Tuhan sesungguhnya tak hadir di hati mereka yang tengah berdoa di dalamnya.

Koneksitas dengan Tuhan sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat personal. Tiap orang pasti akan merasa dekat, atau bahkan paling dekat denganNya, apalagi ketika ibadah telah dengan tekun dilakukan, segala perintah telah dikerjakan dan segala larangan tak lagi didekati. Tapi, mungkin pula hubungan dengan Tuhan tak bisa dikalkulasi serupa hubungan jual beli seperti itu. Ada nilai-nilai lain yang juga tak bisa dirumuskan secara batu seperti satu tambah satu adalah dua. Kedekatan insan dengan Tuhannya, saya pikir merupakan hal tak kasat mata yang bisa dengan kuat dirasakan secara individual.

Kelembutan hati seorang manusia pada diri dan lingkungan sekitarnya pun, menurut saya, bisa menjadi indikasi seberapa besar kehadiran Tuhan dalam dirinya. Hablumninallah, hubungan insan dengan Allah SWT merupakan pola hubungan insan dan Tuhan yang saya imani sebagai seorang muslim. Sejak kecil saya diajarkan berbagai cara beribadah untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Mengimani lima rukun Islam yakni mengucap dua kalimat syahadat, mendirikan salat, berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat, dan berhaji bila mampu. Mengimani pula enam rukun iman yang mengharuskan saya percaya pada Allah, malaikat, kitab-kitab suci yang diyakini dalam Islam, mulai Zabur, Taurat, Injil hingga Al Qur’an, hari kiamat, juga takdir buruk dan baik.

Saya menyebut habluminallah ini sebagai ibadah personal yang merupakan urusan langsung insan dengan Tuhan. Hubungan yang intensitas dan kualitas kedekatannya sejujurnya hanya bisa dirasakan oleh orang tersebut. Bisa saja kualitasnya terlihat baik di mata manusia lain karena seseorang melakukan berbagai ritual yang secara umum dijadikan indikasi kedekatan. Tapi sesungguhnya, hanya orang tersebut yang bisa merasakan sebesar apa Tuhan hadir dalam hatinya.

Di luar hubungan insan dan Tuhan ini, dalam keyakinan saya, ada pula hubungan insan dengan insan yang juga bisa menjadi indikasi kedekatan kita dengan Sang Maha Pencipta. Namanya habluminannas, sebuah konsep hubungan sosial yang tak bisa diabaikan. Hubungan ini menjadi pengejawantahan habluminnallah. Seberapa baik kita bisa melakukan hubungan dengan sesama manusia, merupakan cerminan dari seberapa takzim kita mengimani hubungan dengan Tuhan.

Barangkali ini yang bisa menjelaskan ucapan Gus Dur yang kerap dikutip tentang kebaikan. Tentang mengapa keimanan kita pada Tuhan perlu diikuti dengan kelembutan pada sesama.Bahwa seseorang tak akan ditanya apa agamanya ketika memberi bantuan, seperti juga kita tak semestinya menanyakan apa agama seseorang saat ingin memberikan bantuan. Ini pula yang menjelaskan pada saya bahwa sejatinya, hubungan kita dengan Tuhan tak selalu membutuhkan pelantang suara. Sebab kebaikan kita pada sesama yang sebenarnya merupakan pelantang suara bagi kualitas keimanan kita. Ini menurut saya. Demikiankah pula menurut Anda?

Related Articles

Card image
Self
Perbedaan dalam Kecantikan

Perempuan dan kecantikan adalah dua hal yang tidak akan pernah terpisahkan. Cantik kini bisa ditafsirkan dengan beragam cara, setiap orang bebas memiliki makna cantik yang berbeda-beda sesuai dengan hatinya. Berbeda justru jadi kekuatan terbesar kecantikan khas Indonesia yang seharusnya kita rayakan bersama.

By Greatmind x BeautyFest Asia 2024
01 June 2024
Card image
Self
Usaha Menciptakan Ruang Dengar Tanpa Batas

Aku terlahir dalam kondisi daun telinga kanan yang tidak sempurna. Semenjak aku tahu bahwa kelainan itu dinamai Microtia, aku tergerak untuk memberi penghiburan untuk orang-orang yang punya kasus lebih berat daripada aku, yaitu komunitas tuli. Hal ini aku lakukan berbarengan dengan niatku untuk membuat proyek sosial belalui bernyanyi di tahun ini.

By Idgitaf
19 May 2024
Card image
Self
Perjalanan Pendewasaan Melalui Musik

Menjalani pekerjaan yang berawal dari hobi memang bisa saja menantang. Menurutku, musik adalah salah satu medium yang mengajarkanku untuk menjadi lebih dewasa. Terutama, dari kompetisi aku belajar untuk mencari jalan keluar baru saat menemukan tantangan dalam hidup. Kecewa mungkin saja kita temui, tetapi selalu ada opsi jalan keluar kalau kita benar-benar berusaha berpikir dengan lebih jernih.

By Atya Faudina
11 May 2024