Perkembangan teknologi yang semakin canggih terasa membuktikan pernyataan “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Interaksi antar manusia semakin mudah cukup lewat sentuhan jari saja. Tapi pernah terbayang tidak kalau kita terus-menerus mengandalkan teknologi di keseharian apakah bumi kita akan seperti dalam film animasi Wall-E, ya? Semua manusia jadi gemuk-gemuk saking tidak pernah beranjak dari kursi dan layar karena komputer mengambil alih segala aktivitas. Lalu makhluk hidup lainnya punah, tidak ada yang mengurus. Fenomena ini bukannya tidak mungkin terjadi jika kita secara berkelanjutan ketergantungan dengan teknologi dan terjebak dalam zona nyaman akan kemudahan hidup.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih terasa membuktikan pernyataan 'mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat'
Perlu disadari kehadiran teknologi utamanya internet memang telah mengubah perilaku kita. Di samping segala kebaikannya memberikan informasi sebanyak-banyaknya dan ruang interaksi seluas-luasnya, internet tidak luput dari dampak negatif. Faktanya, terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya dapat memengaruhi kondisi mental kita. Pada dasarnya, berbagai hal yang serba instan bisa membuat kita jadi kurang menghargai nilai sebuah proses. Membuat kita meremehkan perkara sesederhana masalah typo atau salah ketik. Kini kita sudah terbiasa dengan fitur edit di mana kita jadi tidak takut salah ketik karena berpikir masih bisa diperbaiki. Namun tanpa disadari dari kebiasaan kecil tersebut bisa mengurangi kewaspadaan kita akan kesalahan. Fatalnya bisa-bisa kita tidak merasa takut berbuat salah. Berawal dari kesalahan kecil lama-kelamaan kita akan semakin berani melakukan kesalahan besar tanpa pikir panjang.
Pada dasarnya, berbagai hal yang serba instan bisa membuat kita jadi kurang menghargai nilai sebuah proses.
Belum lagi dengan adanya ruang terbuka nan bebas di dunia media sosial. Tiap hari pasti kita bisa menemukan celotehan netizen yang berani mengutarakan hal-hal negatif tentang orang lain. Bahkan orang yang tidak mereka kenal dekat. Tanpa rasa bersalah menghakimi dan menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tidak menyenangkan. Berdalih dengan asas demokrasi, para netizen seakan merasa sah-sah saja untuk berbicara seenaknya. Dimulai dari satu orang yang kurang bijak menggunakan ruang sosial untuk mencari perhatian diikuti oleh sekelompok orang yang membenarkan aksi tersebut. Perlahan budaya mencari pengakuan mengakar di masyarakat. Kesadaran akan toleransi pun mulai pudar. Padahal nilai toleransi melekat pada orang Indonesia dengan keberagamannya. Tetapi secara tidak sadar kehadiran dunia maya mengubah nilai-nilai luhur tersebut.
Berdalih dengan asas demokrasi, para netizen seakan merasa sah-sah saja untuk berbicara seenaknya.
Mengapa bisa?Jawabannya terletak pada konsumsi internet berlebihan. Semakin banyak kita melihat orang lain serentak melakukan tindakan yang sama kita seakan terdorong untuk melakukan tindakan itu juga. Seakan kita diperbolehkan melakukan itu karena banyak orang sudah melakukan hal tersebut. Selain itu, semenjak kehadiran dunia maya di tengah-tengah kita, cara berpikir pun mulai berubah. Semua serba instan, kita jadi terbawa selalu ingin buru-buru. Informasi yang terpapar seluas-luasnya tanpa arahan kita serap mentah-mentah sehingga informasi yang menyimpang dipahami menjadi informasi yang akurat. Di saat yang sama informasi tersebut tidak kita benturkan dengan pemikiran manusia lainnya secara riil. Kurangnya ruang bertukar pikiran, bersinergi dan berbagi emosi sangatlah menurun berpotensi menjadi faktor pendukung perubahan perilaku kita menjadi individualis. Membuat kita terkurung dalam pemikiran sendiri dan tidak berkembang.
Semakin banyak kita melihat orang lain serentak melakukan tindakan yang sama kita seakan terdorong untuk melakukan tindakan itu juga.
Lantas bagaimana? Apakah harus sama sekali tidak mengakses dunia digital? Bagaimanapun juga teknologi sudah menjadi bagian dari hidup. Kehadirannya mempermudah kita melakukan pekerjaan. Akan tetapi yang perlu diingat adalah kita manusia ini harus lebih pintar dari benda-benda mati itu. Jangan malah sebaliknya kita diracuni oleh perangkat lunak dan merusak diri sendiri. Sejatinya, segala yang serba cepat akan berakhir cepat dan apapun yang berlebihan pasti tidak akan berbuah baik. Selayaknya makhluk yang berakal budi, sudah menjadi tugas kita untuk mengendalikan diri. Inilah misi kita sepanjang hidup. Cobaan terbesar di semesta ini adalah mengendalikan diri, mengatur keseimbangan tiap aspek kehidupan. Harus menyadari kapan harus mulai, istirahat, dan mengakhiri.
Cobaan terbesar di semesta ini adalah mengendalikan diri, mengatur keseimbangan tiap aspek kehidupan.
Kuncinya adalah mengasah diri mendengarkan suara hati. Caranya dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri ketika hendak membuka dunia maya:
Perlu tidak ya saya membuka media sosial?
Tujuannya apa ya saya mempublikasi konten ini, apakah sekadar mencari validasi atau untuk menebarkan kebaikan atau untuk mendorong pekerjaan?
Masih bisa tidak ya warung itu saya jangkau apa ya perlu dengan aplikasi pengantaran makanan?
Sudah berapa lama ya saya membuka laptop?
Saya sedang bersama pacar, perlu tidak ya membuka handphone?
Terus berikan pertanyaan sebagai pertimbangan diri penting atau tidak mengonsumsi dunia maya. Nantinya, kita bisa memiliki kesadaran penuh akan apa yang lebih esensial dalam hidup. Kita bisa lebih mudah memilah waktu yang tepat untuk membuka pintu maya dan menutupnya sementara. Kita bisa lebih berpijak pada hal-hal nyata, yang ada di depan mata. Lebih bijak menentukan apa yang baik untuk hidup kita dan memahami bahwa segala yang diciptakan oleh tangan manusia adalah semu, pasti akan menemukan kata habis. Sehingga kita harus dapat mengatur waktu sebaik-baiknya agar penciptaan-penciptaan tersebut bertahan lebih lama.