Keberpihakan waktu pada kita boleh jadi diukur secara subjektif oleh seberapa besar harapan kita yang terpenuhi selama ini. Angan akan pemenuhan kebutuhan pribadi seringkali menggerakan seseorang untuk terlalu memusatkan diri pada tujuan yang hendak dicapai, hingga membuatnya lengah untuk berhenti sejenak, mendongak, serta melihat sekitar untuk menyadari skema besar yang tengah dunia arahkan padanya.
Mengenai waktu yang terus berjalan, perubahan adalah hal yang sudah pasti ditemui. Setiap orang hampir telah memahaminya. Mereka paham bahwa silih berganti, hidup memberi tempat untuk hal baru menggantikan yang lama. Pergerakan detik yang bergulir menjadi menit, lantas jam, hari, hingga seterusnya, menorehkan sayatan gemilang bagi teknologi serta penelitian dalam membuka lembar baru kehidupan yang lebih maju dan kompleks. Satu per satu, kebutuhan infini manusia menciptakan ragam profesi baru yang sebelumnya bahkan tidak terpikirkan dalam benak. Otomatisasi mesin menggantikan pekerja manual, prestasi menyaingi dedikasi, serta efisiensi menjadi relevansi - sejumlah profesi menjadi tidak lagi dibutuhkan.
Acapkali mereka yang tergantikan merasa tersisih dari lingkar aman dunianya. Bayangan akan hal apa yang selanjutnya mereka lakukan, terkadang sulit terucap mengingat ritme perubahan yang cenderung cepat dan sulit ditebak. Meski sebenarnya bukan tidak mungkin sebelumnya diprediksi, adanya pergeseran ilmu serta keterampilan yang dibutuhkan menyebabkan seseorang lantas tidak dapat cepat melakukan perpindahan. Tidak mudah memang mencari pekerjaan baru. Namun akan lebih tidak mudah lagi bila kita berhenti mencari, dan hidup tanpa sesuatu yang dilakukan.
Sebuah ungkapan akan pekerjaan yang terus dilakukan berulang dan tanpa ujung dikisahkan oleh Homer dalam kitab kisah masyarakat Yunani kuno, Iliad. Sisyphus dihukum Zeus untuk menggiring bola batu ke puncak bidang miring yang terjal. Tidak berhenti disana, bola batu tersebut akan kembali menggelinding ke bawah sebelum berhasil dibawa hingga ke puncak, yang membuatnya harus mengulang pekerjaannya sedari awal. Terlepas dari kesia-siaan yang ia lakukan, ia ditakdirkan melakukan hal yang sama berulang kali tanpa berhenti, selamanya.
Sisyphus seolah tampak tanpa harapan dan motivasi. Begitu pula dengan pembiasaan, lambat laun dapat berujung pada hukuman. Mengutip peribahasa lama ‘bagai katak dalam tempurung’, menolak perubahan, sama saja seperti membiarkan si katak dalam tempurungnya - tumbuh namun tidak berkembang. Sebatas tempurung yang ditempatinya, wawasan dunia si katak tidak lebih besar daripadanya. Untuk tetap hidup, si katak harus keluar. Tidak hanya si katak yang pada akhirnya perlu keluar, siapa pun juga perlu melihat dunia di luar tempurungnya. Keinginan untuk keluar seharusnya lebih besar daripada keinginan untuk berdiam diri di tempat.
Perubahan yang tiba-tiba menghampiri, sebenarnya hanyalah picu yang dianugerahkan ke kita untuk tidak dilewatkan. Anggap saja itu sebagai bantuan yang membuat tempurung di katak terbalik atau terguncang, yang menyebabkan si katak terlontar keluar ke alam bebas. Apakah si katak akan mati? Tidak juga. Terdapat lebih banyak nyamuk untuk disantap dan kolam sebagai tempat tinggal bila si katak tahu dimana ia akan menemukannya. Bahkan, ia bisa menemukan sungai yang jauh lebih besar dari kolam, yang membuatnya dapat berenang tiada henti ke tempat-tempat baru yang dialirinya untuk mendapat lebih banyak nyamuk. Alangkah menyenangkannya hidup baru si katak.
Albert Camus, seorang penulis dan pemikir Perancis, juga menyadur kisah Sisyphus dalam elaborasi pemikiran absurditasnya. Alih-alih mendoktrin Sisyphus sebagai sosok tanpa motivasi, dalam Le Myth de Sisysphe, ia mendorong orang untuk meyakini bahwa Sisyphus bahagia. Dengan memiliki sesuatu untuk dikerjakan setiap harinya dan merayakan pergantian detik yang berlalu, secara tidak langsung itulah yang membuatnya tetap bertahan dalam roda waktu yang bergulir, sekaligus memberontak dari ketetapan takdir yang sudah pasti. Terlepas dari kisahnya, mari kita coba melihat dari sudut pandang berseberangan, di mana keluar dari suatu repetisi, dari suatu kebiasaan, justru adalah perayaan bagi diri kita. Hidup kita tidak semembosankan Sisyphus, bukan? Bayangkan adanya petualangan seru untuk dilalui, hal baru untuk ditemui, serta kejutan tidak disangka yang menanti. Sayang sekali bila semuanya dilewatkan begitu saja. Hidup hanya sekali, tiada yang sama berulang kembali.
Memulai suatu yang baru, terdengar klise. Tapi itulah hidup. Kelak, setiap orang pasti akan tergantikan. Dengan membuka diri untuk kesempatan, pengalaman, dan keterampilan baru, akan menjadikan diri kita memiliki banyak tempat untuk diisi nantinya. Layaknya air yang mudah mengisi ruang tanpa mengubah unsur pembentuknya, alih-alih tergantikan, ia akan tetap mengalir dibutuhkan hingga waktu yang tidak terbatas. Kabar baiknya, kita bukanlah Sisyphus yang harus menunggu Zeus mencabut hukumannya untuk bebas, atau si katak yang perlu menunggu kejadian tertentu dahulu agar tempurungnya terbalik. Tapi kita adalah manusia bebas, yang memiliki kendali akan diri kita, atas apa yang akan kita kerjakan selanjutnya. Tepat saat ini, esok, atau seterusnya, di tangan kita lah kemudi itu berada. Dan kami ingin tahu, bagaimana kisah Anda selanjutnya.