Saat kita mendapat undangan atau akan datang ke suatu acara dengan keterangan waktu tertentu, pasti dalam benak kita terlintas sejumlah pertanyaan. Apakah acaranya akan dimulai tepat waktu sesuai jadwal? Kira-kira bila datang on time, acaranya akan ngaret nggak ya? Sudah banyak teman yang datang belum ya kalau hadir di awal? Dan lain sebagainya.
Entah mengapa kita di Indonesia, kebanyakan orang menganggap waktu adalah suatu hal yang lentur. Bahkan, kita pun memiliki istilah ‘jam karet’ untuk hal ini. Jadi, kalau diperhatikan, terlambat itu seolah menjadi hal yang lumrah dan oleh karenanya, selalu menjadi perhitungan saat seseorang menentukan suatu jadwal. Misalnya seorang penyelenggara acara yang akan dengan sengaja menulis waktu mulai acara 30 menit sebelum acara sebenarnya dimulai untuk memberi ruang bagi mereka yang terlambat untuk tetap mengikuti acara bersama dengan yang lain.
Meskipun kita selalu memiliki waktu, kita belum tentu memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu yang secara spesifik terikat dalam alokasi waktu tertentu.
Memang sih, waktu itu akan selalu kita miliki karena ia tidak pernah habis berputar dan terikat di hidup kita. Tapi di satu sisi, waktu itu tidak bisa berulang. Jadi, meskipun kita selalu memiliki waktu, kita belum tentu memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu yang secara spesifik terikat dalam alokasi waktu tertentu. Bagaimana dengan pernyataan yang selama ini kita kenal seperti; ‘tidak ada kata terlambat dalam memulai sesuatu’ atau ‘lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’? Ya kalau bagi saya, itu kan berbicara dalam konteks usaha atau memulai suatu hal, bukan spesifik mengenai waktu dalam artian jam. Jangan jadikan itu sebagai excuse untuk kita boleh datang terlambat.
Menurut saya, dengan membiasakan diri tepat waktu, kita telah menghargai tiga hal dalam hidup; waktu yang Tuhan berkahi, orang lain, dan diri kita sendiri. Ingat deh, saat kita tidak terlambat, tentu waktu yang ada menjadi lebih dapat digunakan secara optimal, orang lain yang kita temui merasa dihargai atau senang, serta diri kita pun merasa lebih tenang karena tidak diliputi perasaan tidak enak karena terlambat atau semacamnya. Mungkin sewaktu kita kecil, kita sama-sama mendapat pendidikan akan waktu saat mulai bersekolah. Saat kita datang terlambat, otomatis terdapat sanksi yang akan kita terima. Harapannya sebenarnya, kita akan merasa malu dan tidak ingin mengulang hal yang sama, sehingga membentuk kesadaran untuk datang tepat waktu di kemudian hari. Tapi umumnya, seiring kita dewasa dengan tanggung jawab untuk mengatur waktu terletak di pundak sendiri, kontrol diri untuk datang tepat waktu menjadi tantangan. Ada saja hal yang membuat kita terlambat. Entah karena kondisi jalan, pekerjaan, atau keluarga. Dalihnya seringkali, semua hal itu terjadi secara tiba-tiba diluar perhitungan. Tapi sebenarnya, semua distraksi itu bukan berarti tidak bisa dipersiapkan sebelumnya, kan? Akan selalu ada 1001 alasan serta kesempatan untuk terlambat yang sama-sama dimiliki setiap orang. Yang membedakan satu orang dengan orang lainnya adalah, sikap serta prioritas mereka. Mungkin seseorang tidak begitu memprioritaskan untuk hadir di suatu acara dibanding waktu untuk keluarga. Oleh karenanya, ia terlambat datang karena harus mengantar anak ke sekolah dahulu.
Dengan membiasakan diri tepat waktu, kita telah menghargai tiga hal dalam hidup; waktu yang Tuhan berkahi, orang lain, dan diri kita sendiri.
Bagi saya, datang tepat waktu itu melibatkan cost yang tidak sedikit. Terdapat biaya untuk menggaji supir atau membayar jasa valet agar kita tidak perlu berlama-lama mencari parkir untuk bisa langsung turun mobil dan masuk ruangan. Bisa saja seseorang dapat naik angkutan umum yang lebih murah namun akhirnya memilih naik kendaraan lain yang mengeluarkan biaya lebih agar dapat tiba lebih cepat. Atau, ada juga kan kemungkinan seseorang sengaja tidak sarapan bersama keluarga dan anaknya untuk mengejar waktu meeting pagi di kantor? Rasanya tidak enak bila membayangkan orang lain telah melakukan pengorbanan demi tiba tepat waktu sementara kita datang terlambat dengan sejumlah alasan yang mungkin saja mereka alami sebelumnya, namun telah mereka hadapi.
Walaupun datang terlambat merupakan salah satu hal yang saya takuti, saya tidak mengatakan diri saya 100% selalu datang tepat waktu. Tapi, komitmen untuk datang lebih awal atau tepat waktu, selalu ada dalam benak, kecuali bila saya tidak menganggap penting acara tersebut. Dan jika ternyata saya akan terlambat, biasanya saya akan berusaha terlebih dahulu mengabari bila saya akan datang lebih lambat dari seharusnya kepada teman atau dengan siapapun saya memilki janji terkait waktu. Tujuannya agar, mereka memiliki kesiapan mental atau waktu persiapan yang cukup saat menyadari mereka akan menunda suatu hal karena saya, atau memulai sesuatu terlebih dahulu tanpa diri saya.
Akan selalu ada 1001 alasan serta kesempatan untuk terlambat yang sama-sama dimiliki setiap orang. Yang membedakan satu orang dengan orang lainnya adalah, sikap serta prioritas mereka.
Menjadi pribadi tepat waktu, erat kaitannya dengan perencanaan waktu. Dan terkait menghargai diri sendiri, perencanaan waktu dimulai dari kita mengenal kemampuan diri untuk dapat menentukan apa saja yang sanggup kita lakukan serta tidak. Misalnya, kita tahu kita tidak bisa bangun pagi. Ya jangan membuat janji bertemu di pagi hari sekali. Bukankah saat mengatur janji kita biasanya berkompromi menentukan waktu yang terbaik antar dua pihak? Jujur saja dengan siapa pun kita mengatur waktu, akan kemampuan kita dalam memenuhinya. Kecuali bila kita tidak terlibat dalam penentuan waktu, ya itu lain soal. Tapi di sisi lain, kita juga perlu peka dalam memprediksi ketepatan waktu orang lain. Bila misalnya kita tahu rumah mereka jauh, maka ada baiknya saat bertemu dilangsungkan di jam yang memberi mereka waktu yang cukup dalam perjalanan.
Kadangkala saat kita mengatur waktu keberangkatan, kita tidak sedetail itu untuk memberi alokasi waktu pada hal-hal kecil yang mungkin sepele, namun nyatanya berpengaruh memakan waktu. Misalnya waktu mencari parkir, kemungkinan tidak langsung mendapat angkutan umum, jadwal kereta yang tertunda, bahkan lama waktu menukar ID pass di resepsionis kantor. Bagi Ibu yang bekerja, mungkin terdapat waktu untuk membujuk anak dahulu untuk mau melepas kepergian yang perlu diperhitungkan. Tidak ingin kan pergi dengan suara tangis anak mengiringi?
Perencanaan waktu dimulai dari kita mengenal kemampuan diri untuk dapat menentukan apa saja yang sanggup kita lakukan serta tidak.
Siapapun kita dan apapun pekerjaan kita, soal waktu, menurut saya semua orang kedudukannya sama. Waktu sendiri tidak membedakan berapa alokasi yang mereka berikan pada tiap orang - sama-sama 24 jam sehari. Oleh karenanya, secara pribadi, saya tidak setuju bila siapa yang memiliki jabatan lebih tinggi dimaklumi atau boleh datang lebih lambat tanpa alasan yang jelas. Justru bila presiden atau orang penting datang terlambat, saya menganggap lucu. Mengapa mereka bisa terlambat? Bukankah mereka memiliki pengawalan yang memungkinkan kendaraan mereka melaju tanpa hambatan? Bukankah mereka memiliki protokol yang bertugas memantau waktu? Untuk mereka yang merupakan pemimpin, bukankah mereka adalah contoh untuk anggota yang dipimpin? Setiap agama pun mengajarkan pada umatnya untuk mengatur waktu dengan baik. Jadi, untuk menjadi pribadi tepat waktu, semua kembali lagi pada diri kita. Akankah kita membiasakan diri menjadi salah satu di antaranya atau tidak?