Petang minggu lalu, menjelang selepas jam kerja, suasana ceria terdengar dari para mbak-mbak ART di halaman belakang rumah. Dari depan terdengar mereka menyebutkan sebaris kalimat, lalu tertawa riuh bersama. Terdengar lagi menyebutkan sebaris kalimat yang lain, diikuti gelak tawa riuh mereka lagi bersama-sama. Dan akhirnya mencapai puncaknya ketika mereka menyebut ungkapan, "Semua akan indah pada waktunya," maka pecahlah gelak tawa mereka yang berderai-derai, sambil disertai seruan "Huuu!"
Rupanya, mereka tengah mengolok-olok kebiasaan teman mereka di media sosial yang gemar memposting kalimat-kalimat klise. Di era modern ini, meskipun mereka mungkin tidak terlatih dalam merumuskan kalimat dengan akurat, namun mereka dengan cepat dapat mendeteksi ungkapan-ungkapan klise nan dangkal yang sering muncul di media sosial.
Situasi ini mengingatkan saya pada prinsip yang berlaku luas: "Jalan menuju ketidakmutuan dihiasi oleh platitude-platitude." Istilah "platitude" memang belum memiliki terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia, namun seperti yang diilustrasikan dalam cerita di atas, platitude mengacu pada kata-kata atau ungkapan yang terdengar indah dan berbunga-bunga, tetapi sebenarnya kosong, klise, basi, dangkal, diulang-ulang tanpa orisinalitas, dan tidak memiliki makna yang mendalam.
Contoh yang sering kita temui adalah dalam praktik mindfulness, di mana kita sering mendengar anjuran seperti "let it go" atau “sekedar disadari saja”. Penggunaan kata "let it go" atau “sekedar disadari saja” telah menjadi klise dan dangkal, seolah-olah hanya dengan mengucapkannya, kita telah berhasil mengimplementasikannya.
Adalah penting untuk memahami bahwa penggunaan platitude dalam konteks praktik mindfulness dapat memerosotkan maknanya. Dalam latihan mindfulness, kita ingin untuk menjadi lebih orisinal dan efektif. Kita perlu memilih kata-kata dengan bijak dan dengan penuh pertimbangan berusaha menghindari klise.
Kita perlu memilih kata-kata dengan bijak dan dengan penuh pertimbangan berusaha menghindari klise.
Namun, apakah seharusnya kita menghindari penggunaan ungkapan populer seperti "let it go"?
Menggunakan kata-kata terkenal sebagai aspirasi, cita-cita, atau tujuan tetap boleh dilakukan, asalkan kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan menghubungkannya dengan tindakan konkret yang memberikan manfaat nyata. Sebagai contoh, kita bisa merenungkan situasi konkret di mana kita perlu benar-benar melepaskan sesuatu dan kemudian mengimplementasikan "let it go" dengan tindakan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Menggunakan kata-kata terkenal sebagai aspirasi, cita-cita, atau tujuan tetap boleh dilakukan, asalkan kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan menghubungkannya dengan tindakan konkret yang memberikan manfaat nyata.
Di samping menghubungkannya dengan tindakan konkret, syukur-syukur apabila tindakan konkret itu adalah berasal dari pengalaman pribadi sehingga berarti kita punya skin in the game dalam gagasan yang kita sampaikan itu. Berikutnya, akan lebih baik lagi kalau kita juga menyertakan sebuah konteks. Dengan demikian menunjukkan pemahaman yang bonafide atas sebuah gagasan bahwa gagasan itu berlaku pada suatu konteks tertentu yang spesifik.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna sebenarnya dari platitude dan usaha untuk lebih kreatif dalam menyampaikannya, kita dapat menghindari jebakan klise dan membangun pemahaman yang lebih mendalam terhadap pesan-pesan yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Begitu pula, kita harus berhati-hati dalam penggunaan kalimat yang mungkin terdengar indah tetapi kehilangan makna sejati.
Dalam dunia mindfulness, makna yang sesungguhnya di balik kata-kata adalah yang utama. Yuk, kita bersama-sama menjauhi kata-kata hampa dan menjadikan kata-kata sebagai pilihan sarana cerdas bagi pertumbuhan pribadi dan kedamaian batin. Bagaimana pendapat kawan-kawan pembaca sekalian?
Dalam dunia mindfulness, makna yang sesungguhnya di balik kata-kata adalah yang utama.