Pernahkah kamu merasa tidak mampu saat sudah berusaha membulatkan tekad untuk memulai sesuatu yang baru?
Merilis lagu yang kamu tulis atau mengemukakan ide yang ingin kamu sampaikan dalam forum di kantor. Jika pernah, tenang banyak diantara kita juga merasakan hal yang sama. Terkadang alasan terbesar kita mengurungkan niat untuk mengeksplorasi hal baru adalah diri kita sendiri. Tentu akan ada banyak faktor yang akan memengaruhi, salah satunya mungkin lingkungan dan pola asuh keluarga atau bisa juga karena pengalaman kita akan kesalahan atau kegagalan yang pernah dirasakan.
Terkadang alasan terbesar kita mengurungkan niat untuk mengeksplorasi hal baru adalah diri kita sendiri.
Setiap hari yang kita jalani tentu akan memberikan pelajaran baru dalam proses pengembangan diri kita dan sayangnya memang belum tentu selalu mengarah ke emosi yang positif. Terkadang kita bisa putus asa atau bahkan memberikan kritik tajam pada diri kita sendiri. Sebuah penelitian dari Yale University, Amerika Serikat, mengungkapkan ada dua hasil mendasar dari proses pengembangan diri yang kita jalani. Pertama, pengembangan kapasitas terkait kesehatan dan hubungan yang membangun. Kedua, pengembangan identitas diri yang positif.
Seiring dengan proses pengembangan diri yang kita jalani terkadang kita tidak menemukan hasil yang ideal dan menghasilkan karakteristik personal yang cenderung menyulitkan kita secara mental maupun fisik. Salah satunya adalah kecenderungan bergantung pada orang lain dan self-criticism atau kritik pada diri sendiri yang cenderung mengarah pada penilaian yang negatif.
Terdapat dua level dalam self-criticism. Pertama adalah comparative self-criticism yang dapat didefinisikan sebagai pandangan negatif saat membandingkan diri dengan orang lain. Kedua adalah internalized self-criticism yaitu pandangan negatif terhadap diri karena standar tertentu yang kita percayai, ini bahkan bisa terasa lebih berat daripada membandingkan diri dengan orang lain.
Punya standar tertentu terhadap diri sendiri tidak selalu buruk, tergantung bagaimana kita memaknai standar yang kita buat. Orang yang perfeksionis cenderung tidak mudah puas akan capaian yang ia raih dan kerap merasa tidak pantas untuk mengakui keberhasilan dirinya sendiri. Di sisi lain, orang dengan orientasi kesuksesan yang sehat akan mendefiniskan kembali pemahaman dirinya akan makna sukses saat menghadapi kegagalan-kegagalan dalam hidupnya. Masalahnya bukan pada target-target diri kita yang dianggap tidak realistis melainkan bagaimana respon kita akan hasil yang kita dapat dalam setiap usaha yang kita lakukan. Kita punya pilihan untuk menyalahkan diri sendiri saat menghadapi kegagalan tapi ada pilihan lain yang mungkin bisa kita ambil yaitu dengan mendefiniskan kembali makna sukses.
Masalahnya bukan pada target-target diri kita yang dianggap tidak realistis melainkan bagaimana respon kita akan hasil yang kita dapat dalam setiap usaha yang kita lakukan.
Jadi, jangan batasi dirimu sendiri untuk memulai apa pun yang ingin kamu mulai. Biasakan dirimu berteman dengan kesalahan dan jadikan itu sebagai bagian dari proses pengembangan diri. Ada banyak hal-hal lain yang tidak bisa kendalikan yang mungkin akan memperlambat jalan kita atau bahkan memaksa kita berhenti saat kita sedang tidak lelah tapi kita juga punya pilihan untuk memulai lagi.
Hiduplah sepenuhnya, karena mungkin saat kamu merasa tidak pantas kamu hanya perlu mencoba untuk lebih yakin pada kemampuan yang kamu miliki.
Referensi:
Thompson, R., & Zuroff, D. C. (2004). The Levels of Self-Criticism Scale: comparative self-criticism and internalized self-criticism. Personality and individual differences, 36(2), 419-430.
Blatt, S. J., Quinlan, D. M., Chevron, E. S., McDonald, C., & Zuroff, D. (1982). Dependency and self-criticism: psychological dimensions of depression. Journal of consulting and clinical psychology, 50(1), 113.