Waktu itu bergerak ke depan. Hanya saja waktu manusia di bumi inilah yang menyingkat. Ketika berbicara tentang waktu terkadang kita memberikan rasa penyesalan padanya. Kadang bahkan membandingkannya. Sering kita bilang lebih baik tempo dulu daripada sekarang. Padahal banyak hal yang bisa kita pelajari darinya tanpa harus menyesali atau membandingkan. Sejatinya, setiap detik yang kita lalui sampai saat ini adalah berkah dan harus dimanfaatkan sebaiknya untuk masa depan.
Memang terkadang kita tak terlepas dari kenangan masa lalu yang disebut nostalgia. Bahkan ada dari kita terjebak di dalamnya. Merasa lebih senang berada di kenangan melainkan di pijakan kaki hari ini. Padahal nostalgia hanyalah pintu rehat sejenak untuk sekadar dijadikan pengingat dan penyemangat. Kadang aku membuka pintu nostalgia ketika sedang merasa lelah dan membutuhkan waktu jeda. Kembali melihat masa kecil nan bahagia. Maklum, aku sudah berada di usia produktif di mana lebih banyak tekanan ketimbang di kala usiaku remaja. Dari selintas nostalgia aku kembali bersemangat melihat diriku dulu yang bahagia dengan cara yang amat sederhana. Kembali mengingat bahwa dulu aku adalah anak yang penakut. Mau naik perosotan tinggi saja tidak berani. Memori ini pun seakan mengingatkanku di masa dewasa bahwa apa yang aku takuti sebenarnya tak seburuk itu. Bahwa ketakutan itu sebenarnya hanya ada di kepala saja. Tak ada sedikitpun keinginan untuk mengubah diriku di masa kecil itu. Hanya kalau bisa kuberikan nasihat, aku mau bilang untuk dia jadi lebih berani.
Nostalgia hanyalah pintu rehat sejenak untuk sekadar dijadikan pengingat dan penyemangat.
Inilah arti penting nostalgia. Sebagai pengingat layaknya catatan-catatan sejarah yang kita pelajari di sekolah. Kalau tidak diingat, dicatat, dan disimpan baik-baik nanti bisa hilang. Kalau sudah hilang bagaimana kita bisa membagikan kisah kehidupan di masa lampau pada anak cucu? Bisa-bisa mereka tidak tahu asal-muasalnya dari mana sebab dari masa lalu kita mendapatkan petunjuk akan jati diri. Karakter kita hari ini berasal dari didikan orang tua. Mengapa mereka mendidik kita demikian? Karena 30-50 tahun lalu, mereka diajarkan untuk berperilaku seperti itu oleh kakek dan nenek kita. Jadi dari nostalgia kita bisa memahami alasan di balik suatu kejadian. Menghargai proses terjadinya sebuah fenomena hingga akhirnya menuntun kita pada sinar mentari pagi ini.
Buku Generasi 90an pun sejujurnya berporos pada pemahaman tersebut. Aku membuatnya untuk anakku kelak. Inspirasinya datang pada saat aku membuka ruang jeda nostalgia. Di momen itu aku berpikir suatu hari nanti pasti akan banyak yang hilang kalau tidak dicatat. Lalu aku pun berusaha mengarsipkan ingatanku. Di saat yang sama aku memiliki kegelisahan akan standar kebahagiaan yang sedang berkembang. Aku merasa kenapa semakin hari bahagia terasa lebih muluk-muluk. Banyak orang kini merasa bahagia ketika sudah memiliki smartphone yang berharga jutaan. Rasanya dulu kebahagiaan bisa sesederhana bermain bola bekel atau kelereng yang harganya tidak lebih dari lima ribu rupiah. Aku pun mengira-ngira seperti apa standar kebahagiaan anakku nanti. Sampai akhirnya terciptalah buku ini sebagai pengingat akan makna kebahagiaan yang sederhana — yang mana itu cukup.
Dari nostalgia kita bisa memahami alasan di balik suatu kejadian.
Besar harapanku keberadaan arsip nostalgia ini pun bisa mengajarkan mereka yang lahir menjadi generasi berikutnya agar bisa menghargai proses. Mereka lahir dengan segala hal nan instan. Semuanya serba cepat dan kilat. Kalau tidak diingatkan takutnya mereka lupa bahwa untuk sampai ke era serba instan ini ada orang-orang yang berjuang melalui proses panjang demi para generasi terkini hidup nyaman. Pentingnya adalah supaya kita tidak enggan mengerjakan sesuatu dari nol. Tidak meremehkan sebuah pekerjaan dan bisa memberikan apresiasi pada hasil sekecil apapun. Meningkatkan rasa syukur pada apa yang didapatkan. Lagi-lagi seperti belajar sejarah. Alasan kita perlu belajar sejarah adalah agar kita menghargai perjuangan para pahlawan yang menuntun negara kepada kemerdekaan. Akhirnya kita bisa memberikan nilai pada apa yang bisa dinikmati saat ini. Tapi tetap saja kita perlu mengingat untuk tidak memperdebatkan perkembangan zaman melainkan mengadaptasikan yang baik dari masa lalu dan membenarkan yang keliru. Toh, kalau zaman dulu sudah sempurna — sampai tidak ada lagi yang harus dibenahi, sepertinya kita juga tidak akan bergerak ke mana-mana, bukan?
Kalau zaman dulu sudah sempurna — sampai tidak ada lagi yang harus dibenahi, sepertinya kita juga tidak akan bergerak ke mana-mana, bukan?