Saat berlatih meditasi kita lebih banyak memperhatikan reaktivitas pemikiran, emosi, dan sensasi yang terjadi pada diri kita sendiri. Kita tidak kepo atau terlalu sibuk tentang urusan liyan. Akan tetapi perlu dipahami bahwa rasa diri, rasa keakuan –sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah kutub lain yang berlawanan dari diri atau aku– yakni: liyan. Liyan di sini maksudnya adalah orang lain, pihak lain, atau pihak asing yang bukan diri kita.
Pada artikel sebelumnya yang berjudul Meditasi = Melarikan Diri?, kita sudah membahas mengenai tekanan internal, ingin dan tidak ingin. Bentuk lain dari tekanan internal itu juga bisa berupa dualitas aku dan liyan.
Rasa keakuan wujudnya selalu berupa tekanan pertentangan diriku vs liyan. Selama masih ada rasa diri, pasti ada rasa tentang liyan. Begitu pula sebaliknya, selalu satu paket! Rasa aku dan liyan ini sesungguhnya hanyalah dua sisi dari sebuah keping yang sama. Ibarat adanya gelap itu karena ada yang disebut terang. Kedua istilah tersebut keberadaannya senantiasa berpasangan. Andaikata seluruh jagad ini adanya cuma terang saja semata (tidak ada gelap), maka, otomatis yang disebut "terang" itu pun juga tidak ada. Buat apa disebut terang, kalau semuanya adalah terang? Ada disebut terang, itu karena ada "yang bukan terang" yakni "gelap".
Rasa diri ini akan semakin kuat ketika ada rasa lawan yang berhadapan-hadapan dengan diri, yakni rasa liyan yang menguat. Contoh yang jelas adalah ketika kita sedang grogi atau demam panggung. Diri ini rasanya terancam dan tertekan, oleh orang lain yang seolah sedang memperhatikan atau bahkan mengancam akan mempermalukan kita. Padahal lebih seringnya, hal yang kita cemaskan ini sebetulnya cuma imajinasi kita, cuma gejolak dalam benak kita sendiri.
Ketika kita sedang grogi atau demam panggung. Diri ini rasanya terancam dan tertekan, oleh orang lain. Padahal lebih seringnya, hal yang kita cemaskan ini sebetulnya cuma imajinasi kita, cuma gejolak dalam benak kita sendiri.
Grogi demam panggung terjadi karena obsesi berlebihan kita akan rasa aku atau obsesi terhadap diri. Oleh karena itu, orang yang berlatih meditasi perlu secara sadar dan sengaja untuk mengembangkan motivasi dan laku altruistik. Laku altruistik adalah kegiatan-kegiatan yang memberi manfaat bagi orang banyak atau liyan sehingga membantu kita agar obsesi pada diri ini bisa lebih mengendur dan semakin mengendur seiring dengan perjalanan latihannya.
Praktik meditasi perlu disertai dengan olah sikap selfless, melonggarkan obsesi akan perasaanku, pendapatku, diriku, milikku, sehingga rentetan pemikiran yang hanya berpusat pada diri sendiri ini juga bisa mereda.
Meditasi yang efektif akan ditandai dengan mengendur, berhenti, atau bahkan menghilangnya tekanan internal pertentangan antara aku dan liyan. Oleh karena itu sejak awal berlatih meditasi kita juga memupuk dan mengembangkan keterampilan logika, penalaran, pemahaman, kultivasi sikap dan laku selflessness, altruisme, kebaikan hati kepada yang lain, dalam hal ini tentu saja termasuk juga kepada diri sendiri.
Maka dari itu, sikap-sikap yang menyalahkan atau menyakiti diri sendiri, sesungguhnya juga termasuk dalam dualitas, aku dan liyan. Perilaku merugikan ini terjadi karena kita tidak tahan menghadapi tekanan internal, pikiran gelap mata kita mengarahkan agresi ke obyek yang kita sangka terpisah, yakni diri kita sendiri.
Sebagai kendali mutu, apabila seiring belajar meditasi justru kita semakin baper dan narsis, maka wawasan yang ditawarkan dalam tulisan ini boleh dijadikan satu sudut tilik diri. Sebuah cara untuk bercermin diri terhadap latihan meditasi yang sudah kita jalani. Apakah sudah membantu kita keluar dari tekanan internal atau masih perlu memperbaiki aspek-aspek lainnya dalam pemikiran.
Sebuah cara untuk bercermin diri terhadap latihan meditasi yang sudah kita jalani. Apakah sudah membantu kita keluar dari tekanan internal atau masih perlu memperbaiki aspek-aspek lainnya dalam pemikiran.