Hidup yang kita jalani, telah memiliki jalan ceritanya sendiri. Sejumlah rentetan peristiwa yang terjadi, ada karena suatu sebab dan alasan yang akan makin membentuk pribadi kita ke depannya. Oleh karenanya, kita perlu ‘eling’ atau ingat bahwa kita adalah manusia, yang perlu untuk bersikap tenang dalam menjalani kehidupan yang telah digariskan oleh-Nya.
Seringkali, kita menyadari bahwa tubuh kita ada di sini, namun pikiran tidak ikut menyertai keberadaannya di waktu yang sama. Pikiran kita cenderung mengembara ke masa lalu, atau melompat ke masa depan untuk merencanakan hal-hal yang belum terjadi. Jarang sepenuhnya ada di sini, untuk benar-benar berpikir dan merasakan sekitar di ruang waktu yang raga kita tengah singgahi.
Penyebabnya ialah, dimanapun sejak kecil, kita selalu diminta untuk berpikir. Karena bertahun-tahun kita telah dilatih untuk melakukannya, kita cenderung menjadi manusia yang kecanduan berpikir tanpa kita sendiri sadari. Ketika kita sedang tidak melakukan apapun atau tengah bersantai, justru dalam benak kita timbul perasaan bersalah, karena seolah tidak memanfaatkan dengan baik waktu yang dimiliki untuk bekerja.
Bukan berarti saya menyalahkan dan melawan pembelajaran berpikir. Namun tampaknya, kita perlu mengevaluasi pola asuh dan pendidikan yang kita terima. Ada yang lebih penting dari pada berpikir, yaitu menyadari. Konsep menyadari ini sendiri, mungkin agak sulit kita pahami. Namun sebenarnya, menyadari itu seperti ketika kita sedang melihat sesuatu, kita benar-benar hanya melihat saja. Sesedikit mungkin kita berasumsi, sesedikit mungkin tergesa merespon, atau sesedikit mungkin menghakimi. Just being mindful.
Berpikir memang penting. Namun, untuk berdiam diri dan sepenuhnya sadar keberadaan kita untuk merasa, juga tidak kalah penting.
Sejumlah permasalahan yang ada di hidup ini, seringkali berawal dari pikiran kita yang gaduh. Inilah yang acapkali membuat batin kita merasa ‘sakit’.
Dalam sudut pandang mindfulness, batin seseorang terluka atau merasa tidak sehat sebenarnya dikarenakan dirinya sibuk berpikir. Entah terus terjebak kenangan masa lalu, menyesal dan berandai-andai akan sebuah kejadian yang telah berlalu, atau sibuk memenuhi pikiran dengan ketakutan dan kecemasan akan apa yang belum terjadi di masa depan. Hal-hal inilah yang akan membuat batin tidak kunjung sembuh.
Contoh sederhana, misalnya ada seseorang yang menargetkan tahun kemarin menikah. Tahun berganti, dan kenyataannya, target itu meleset. Ia belum dapat menikah dikarenakan suatu alasan. Satu kenyataan bahwa ia tidak belum dapat menikah tahun lalu tentu secara wajar akan membuat ia merasa kecewa. Suatu kejadian yang secara nyata tidak sesuai dengan harapan inilah yang dinamakan first arrow. Yang kemudian menjadi rumit, bukanlah kenyataan yang merupakan first arrow ini, namun pikiran-pikiran yang mengikuti di dalam benak. Misalnya ia lantas berpikir ia batal menikah karena tidak layak, tidak berpenampilan menarik, dan lain sebagainya hingga membandingkan diri dengan yang lain atau menyesali sejumlah keputusan yang diperbuat di masa lalu. Pikiran ini lantas berlanjut semakin ramai, menumpuk, dan memperkeruh benak. Pikiran-pikiran yang muncul sebagai respon dari suatu kejadian inilah yang dinamakan second arrow.
Secara komposisi, first arrow hanya menyumbang sekitar 20% rasa sakit atau sedih di batin. Selebihnya, peran dari second arrow-lah yang bermain besar. Melalui mindfulness, dengan hanya berpikir di saat ini, kita dapat memulihkan serta menjaga agar batin tidak tidak mudah terluka lagi. Berlatih dengan mindfulness, berarti berlatih atau berurusan dengan second arrow. First arrow adalah kenyataan yang tidak dapat dikendalikan. Tidak semua hal yang terjadi dalam hidup dapat kita kendalikan memang. Selalu ada kemungkinan akan terjadi lagi hal-hal lain yang jauh dari harapan. Yang dapat kita kontrol dan perhatikan adalah pikiran yang menguasai kita, atau yang disebut juga dengan second arrow.
Berlatih mindfulness bukan berarti mengendalikan pikiran, namun lebih kepada saat pikiran-pikiran negatif tersebut muncul, kita melatih diri kita untuk menyadari bahwa semua itu hanyalah pikiran, bukan kenyataan. Pikiran yang bermacam-macam tersebut tidak akan memiliki dampak yang terlalu besar dalam hidup, sehingga tidak perlu dipusingkan hingga menambah kerumitan tersendiri. Setelah mampu mengurangi sedikit demi sedikit second arrow yang ada, maka disinilah emotional healing atau penyembuhan batin terjadi.
Layaknya sakit fisik yang perlu waktu untuk sembuh, memulihkan luka batin pun membutuhkan waktu dalam kurun yang bervariasi.
Ada sebuah asumsi yang mengatakan, seberapa lama kita terus membiarkan luka batin ini tanpa upaya untuk menyembuhkan, maka seberapa lama itu pula kita membutuhkan waktu untuk pulih. Jadi misalkan 3 tahun lalu terjadi luka batin yang lantas dibiarkan, maka penyembuhannya membutuhkan waktu 3 tahun pula, sama dengan lama waktu kita membiarkan luka batin tersebut bersarang dalam tubuh. Meski demikian, kembali lagi ini hanyalah sebuah asumsi perkiraan waktu. Ada yang dapat sembuh dalam waktu relatif singkat, ada pula yang butuh waktu lebih lama. Oleh sebab itu, luka batin sebenarnya tidak dapat diremehkan.
Saat kecil, kita tahu atau diajari bagaimana mengobati sakit secara fisik, seperti lutut berdarah, demam, ataupun patah tulang. Meski tidak mendalami dunia medis, paling tidak kita tahu bagaimana pertolongan pertama atau apa yang seharusnya dilakukan. Bahkan kita pun tahu, bila sakit fisik ini tidak diobati, akan berdampak ke sesuatu yang lebih parah seperti infeksi, dan lain sebagainya. Namun ironisnya, kita tidak dibiasakan untuk mengobati sakit batin, yang dengan semakin bertambahnya umur, akan semakin mungkin untuk datang menghampiri. Kita menjadi tidak memiliki bekal atau kemampuan untuk mengobati batin, mental, atau cedera psikologis yang dialami. Padahal, seperti halnya jatuh atau terkilir yang sudah umum ditemui sehari-hari, cedera batin pun demikian. Seberapa sering kita mengalami penolakan, kegagalan, sakit hati, atau kehilangan seseorang? Mungkin kita jumpai dalam keseharian, bukan? Dan seperti sakit fisik yang bila dibiarkan akan berakibat lebih buruk, luka batin pun bila dibiarkan dapat berujung pada snowball effect, atau membesar menjadi semakin parah, hingga menimbulkan komplikasi. Itulah pentingnya kita melakukan emotional healing.
Melalui pendekatan mindfulness, cara pertama untuk melakukan emotional healing adalah dengan belajar istirahat atau belajar duduk diam hanya untuk menyadari nafas. Kita melakukan meditasi dan relaksasi sehingga pikiran kita dapat berjeda. Bukan berpikir, namun memberikan jeda untuk beristirahat sehingga pikiran yang gaduh dapat berhenti sejenak. Pikiran kita sibuk sekali. Di luar kesibukan secara fisik, umum bagi manusia modern untuk semakin sibuk berpikir.
Ketika pikiran kita menyadari nafas kita, disitulah sebenarnya kita berhenti berpikir, karena otak kita tengah menyadari, bukan berpikir. Di saat ini pula, tubuh dan pikiran kita tengah sadar penuh serta hadir utuh hanya disaat ini. Saat latihan ini makin terus dilatih, maka lambat laun pikiran kita akan terbiasa untuk tidak terlalu memikirkan masa lalu atau masa depan, dan di sanalah ketenangan batin itu terjadi.
Meski terdengar sederhana dan mudah, pada kenyataannya, menjadi mindful sebenarnya cukup menantang. Perlu latihan yang tekun dan santai untuk membiasakan diri melakukannya. Sedari kecil, umumnya kita diminta untuk berjuang meraih, mengubah, menggapai, dan mendapatkan lebih banyak lagi segala sesuatu. Sebaliknya, kemampuan diri untuk berpasrah dan ikhlas saat kita menerima suatu kenyataan yang tidak diharapkan, jarang ditekankan sehingga kita perlu melatihnya secara sadar. Esensinya adalah, saat kita ikhlas menerima kenyataan, maka kekecewaan, kesedihan, kegalauan, dan perasaan kehilangan akan sembuh. Bila dilihat lebih dalam, karena kita terus menolak kenyataanlah maka segala sesuatu terasa rumit. Hidup ini sederhana. Karena pikiran kitalah yang mendorong suatu kenangan, impian, harapan, dan pengandaian seolah terjadi atau harus kita capai, itulah yang menjadikannya kompleks.
Salah satu tanda ketika kita sudah merasa sembuh dari luka batin yang dialami adalah dimana saat kita teringat kembali kejadian tersebut, kita tidak lagi merasa pedih. Tidak merasa pedih bukan berarti melupakan. Kita perlu menyadari bahwa pikiran kita tidak dapat melupakan. Ada banyak hal yang dapat membuat kita kembali mengingat suatu momen atau kejadian. Namun, apabila kita telah sembuh, saat ingatan itu datang kembali, kita tidak akan tergulung dalam kesedihan yang sama. Tentu semua proses ini berjalan secara bertahap. Bila dahulu setiap teringat bisa jadi emosi kita memuncak, dengan berjalannya waktu saat proses pemulihan ini terjadi, mungkin saja kita hanya meneteskan air mata. Pelan-pelan, semakin lama batin kita terobati, akan tiba suatu momen dimana saat teringat hal yang sama, alih-alih menangis atau tergulung kesedihan, bibir kita akhirnya mampu membentuk seulas senyum ikhlas, yang turut diiringi hati yang mengucap rasa penuh syukur. Itu suatu tanda, eling.