Being alone doesn't always mean lonely. Ada banyak hal yang dapat dilakukan, dinikmati, dan disyukuri dengan menghabiskan waktu seorang diri - meski kita sebenarnya sedang tidak ingin sendiri.
Bila kita sedang ingin sendiri, memang menyenangkan memiliki ‘me time’ yang dapat kita habiskan sesuka kita untuk bersantai, bekerja lebih fokus, atau meluangkan waktu yang berharga hanya untuk diri kita sendiri. Sebut saja setelah satu pekan sibuk bekerja, wajar saja bagi kita untuk ‘menyepi’ di akhir pekan untuk beristirahat. Secara sadar kita memilih diri kita dalam kesendirian, bukan berarti kita soliter dan tidak menyenangi interaksi dengan teman. Namun lebih agar untuk sekejap, kita meminimalisir gangguan yang mungkin ada, untuk merasa present dan menikmati waktu yang berjalan.
Lain cerita bila misalnya kita telah memiliki rencana untuk menghabiskan akhir pekan bersama teman untuk pergi menonton konser. Dalam benak kita, telah tertanam ekspektasi bahwa kita akan menghabiskan waktu yang seru dan menyenangkan bersama mereka. Kita tidak akan berpikir di suatu acara yang hampir semua orang membawa teman-teman mereka untuk bersenang-senang, kita akan pergi seorang diri. Namun coba bayangkan, bila tiba-tiba saja teman kita tidak jadi dapat ikut menonton karena ada hal darurat yang harus ia selesaikan. Apakah kemudian kita akan merasa kesal atau kecewa? Adakah yang justru merasa senang? Seberapa banyak dari diri kita yang lantas mengurungkan diri, tidak jadi pergi karena tidak ada teman atau langsung mencari teman pengganti agar tidak merasa kesepian?
Sendiri memang memiliki beragam maksud dan cerita di baliknya. Ada mereka yang cenderung ingin sendiri karena memang memiliki pribadi yang tertutup, ada pula yang merasa sedih bila tidak ditemani kemana pun ia pergi. Tentu saja, standar ‘kesepian’ yang merupakan bawaan dari ‘kesendirian’ yang dimiliki tiap orang berbeda, tergantung pada tiap karakter dan pengalaman hidup masing-masing. Bagi mereka yang cukup petualang, pergi berlibur seorang diri tentu dapat dirasa menyenangkan dan penuh kebebasan.
Terlepas dari itu semua, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang menyenangi interaksi dan membutuhkan dukungan emosional dari sesamanya, selalu ada waktu dimana kita dihadapkan pada kondisi dimana kita berharap ditemani atau menghabiskan waktu bersama orang tertentu, yang ternyata tidak dapat tercapai.
Sebenarnya saat kita sedang sendiri, kita memiliki pilihan untuk tidak merasa sendiri atau kesepian. Dalam ‘The Vision: Reflections on the Way of the Soul’, Kahlil Gibran menulis sepenggal frasa yang secara sengaja diletakan dengan apik untuk melengkapi untaian kata dalam suatu kalimat; ’my solitude is my intoxication’. Kesendirian saya adalah hal yang memabukkan. Kurang lebih itulah yang disampaikannya. Penulis dan penyair Libanon-Amerika ini memang banyak menuliskan pemikirannya perihal rasa kesendirian dan kesepian. Meski dalam sejumlah penafsiran rasa kesepian, yang merupakan bentuk akibat lanjut dari kesendirian seseorang, kerap erat dikaitkan dengan hubungan kasih sayang manusia, menjadi ‘solitude’ atau ‘kesendirian’ itu sendiri, dapat berarti banyak hal. Apakah ’mabuk’ karena sangat menikmati momen kesendirian? Ataukah ‘mabuk’ karena berusaha mengalihkan diri dari rasa kesepian akibat kesendirian?
Boleh jadi kita sedang sendiri, namun belum tentu kita tengah atau merasa sedang kesepian. Tampaknya perlu disadari bila hidup di masa kini, sebenarnya kita tidak pernah benar-benar sendiri. Saat kita sendiri, maka sikap refleks yang sering kita lakukan adalah langsung membuka telepon genggam, mengecek media sosial, atau langsung menghubungi teman kita sehingga kita merasa memiliki teman berbicara di samping kita dan tampak ‘sibuk’ walaupun secara fisik kita tidak ada yang menemani. Ini hanyalah salah satu cara yang kerap ditemui untuk merasa tidak kesepian. Akan tetapi, apakah cara ini tepat? Sebenarnya tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Namun, mengapa kita harus selalu menggantungkan diri pada telepon genggam untuk menyembuhkan kesepian atau menghibur diri bila ternyata kita justru tengah diberi anugerah akan waktu untuk dinikmati seorang diri? Anggap saja itu sebuah hadiah kejutan yang Tuhan berikan. Mungkin pada awalnya kita akan terkejut, namun biasanya lambat laun kita akan menyenanginya. Jadi, tenangkan pikiran dan tersenyumlah.
Ada banyak orang di luar sana yang menginginkan dapat lepas dari telepon genggamnya barang sekejap saja untuk menikmati waktu dan merasa bebas dari beban. Entah beban beban pekerjaan, lingkungan pertemanan, hingga tekanan sosial yang dapat muncul dari pengaruh paparan media sosial. Saat kita sendiri, kita tengah dilimpahkan anugerah waktu yang dapat digunakan hanya untuk diri sendiri. Mungkin tidak selalu apa yang kita butuhkan datang saat kita menginginkannya. Tuhan lebih tahu, dan ia tahu kapan kita perlu berjeda, untuk beristirahat, dan menyelami diri kita sendiri untuk mengeluarkan sisi terbaik dan bertransformasi menjadi pribadi yang berkembang. Lagipula, bukan berarti kita menjadi anti sosial dengan sekali dua kali memilih untuk sendirian.
Kita dapat berpikir, kita dapat bekerja, kita dapat melakukan aktivitas apa saja yang kita mau saat kita sendiri. Mungkin dengan berkenalan dengan orang baru, mengeksplor tempat yang belum pernah dikunjungi, atau mencoba hal yang teman kita tidak sukai sehingga kita tidak akan melakukannya bila tengah bersamanya?
Kita hanya perlu mengubah pikiran kita dari merasa kesepian, menjadi merasa bila kesendirian yang dimiliki ini diperoleh untuk suatu alasan yang mungkin belum dapat kita pahami secara langsung. Dan menimbang ‘kesendirian’ bisa saja masuk dalam daftar barang langka dalam sekian dekade ke depan, apa salahnya bila saat kita sendiri, kita membatasi diri kita untuk melakukan sesuatu atau berpikir akan hal yang justru akan memperkeruh pikiran? Kita tidak akan mendapatkan waktu yang sama kembali. Rasakan saja setiap rasa serta suasana yang mengalir dalam diri dan berlalu di sekitar kita.
Sekarang, bagaimana bila kita melakukan hal-hal yang kita senangi?