Sudah cukup lama kenangan masa kecil tak terlintas di pikiran. Mungkin salah satu penyebabnya adalah kesibukan kita kala dewasa yang membuat kita tak lagi memikirkan masa-masa tersebut. Ya, umur memang menjadi faktor penting dalam hal ini. Saat mengingat masa kecil yang paling sering terlintas adalah bagaimana saya dengan saudara dan sepupu bermain bersama. Apalagi dengan perbedaan umur saya yang jauh dengan adik laki-laki. Seolah-olah mendorong saya untuk “memperpanjang” masa bermain.
Meskipun begitu, masa kecil saya tidak terlihat berbeda dari yang lain. Saya tergila-gila dengan mainan Transformers, He-Man, Star Wars, Lego dan papan permainan, komputer serta video game. Bergulat dengan kakak perempuan pun terlintas dalam pikiran — meski saya pun heran mengapa tidak ada yang melarang. Tapi ingatan saya membuat arena bergulat dengan bantal sofa membuat tersadar bahwa itu tidak boleh diulangi di masa sekarang. Belum lagi dengan sederetan program TV seperti Knight Rider, animasi Looney Tunes dan Animaniacs yang membentuk selera humor saya sekarang. Lalu saya pun ingat ritual kami dengan ayah. Kami pergi ke toko buku setiap minggu dan boleh membeli beberapa buku di mana saya sering memiliki buku-buku Roald Dahl, Enyd Blyton dan buku-buku bertema sains. Seandainya saya masih menyimpan mainan waktu kecil mungkin saya akan lebih mudah mengingat kenangan masa kecil. Terdapat satu mainan yang sangat menyentuh hati saya yaitu boneka Pooh yang didapat ketika saya, mama dan saudari pergi ke Disneyland pertama kali.
Kini melihat ke belakang, sewaktu kecil saya ingin sekali cepat dewasa. Mungkin karena kita seringkali mendapatkan komentar dari orang dewasa seperti: "Kalau sudah besar jangan lupa bantu papa, ya." atau "Wah, anaknya sudah besar bisa mandiri." Seakan-akan menjadi dewasa adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Sepertinya kita dapat lebih mudah diterima oleh sekitar ketika kita memiliki karakter atau bersikap layaknya orang dewasa ketika kecil. Namun sebaliknya saat dewasa setiap kali menunjukkan sikap yang terkait dengan anak-anak seperti mengenakan baju dengan gambar kartun, membeli mainan anak-anak, atau bahkan sekadar menggunakan kaos kaki bergambar beruang kita diberikan label seperti anak-anak. Tentu saja label ini berkonotasi negatif.
Seakan-akan menjadi dewasa adalah sebuah kebanggaan tersendiri.
Saat saya bekerja pertama kali, sikap humoris saya kurang dapat diterima. Terasa seperti dihakimi menjadi seseorang yang tidak serius dan dianggap tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan baik. Terdapat stigma bahwa untuk mengerjakan suatu hal kita harus memiliki karakter yang serius pada semua situasi. Ini pun membuat saya berpikir bahwa menjadi humoris adalah suatu kesalahan. Padahal bersikap seperti anak-anak dan kekanak-kanakan adalah dua hal yang berbeda.
Stigma bahwa untuk mengerjakan suatu hal kita harus memiliki karakter yang serius pada semua situasi membuat saya berpikir bahwa menjadi humoris adalah suatu kesalahan.
Kekanak-kanakan berarti kita sebagai orang dewasa memiliki karakter seperti anak-anak yaitu tidak dapat berpikir dewasa tidak dapat menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana seperti layaknya anak-anak yang belum mengerti salah atau benar. Seseorang yang kekanak-kanakan dapat digambarkan seperti anak yang egois, manja dan memiliki narsisme yang tinggi seperti seorang anak yang belum meningkatkan pengetahuan. Sebaliknya bersifat seperti anak-anak berarti memiliki sifat alami anak-anak seperti jujur, penuh energi dan antusiasme serta keingintahuan yang tinggi. Lebih spesifiknya lagi bersifat seperti anak-anak adalah:
Tidak pernah berhenti belajar (selalu merasa ingin tahu). Seperti Alice pada cerita Alice in The Wonderland, dia adalah karakter yang memiliki keingintahuan yang besar. Seperti ketika anak-anak kita seringkali menanyakan berbagai hal pada orang tua hingga mereka amat terganggu. Itulah yang childlike atau memiliki karakter alami anak-anak. Bagaimana kita melihat dunia sebagai sebuah arena yang misterius di mana kita ingin terus mencari tahu lebih banyak. Saya suka sekali jalan-jalan, dan saat saya berplesir saya selalu bertanya: Kenapa? Kemudian saya pun mencari panduan lokal untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan ini pun sangat berpengaruh di pekerjaan kita. Ketika kita mulai bertanya kenapa maka berbagai kesempatan pun akan muncul.
Tidak berhenti berimajinasi. Albert Einstein pernah berkata bahwa “The true sign of intelligence is not knowledge but imagination.” Berarti kecerdasan itu bukan tentang pengetahuan tetapi imajinasi. Dengan imajinasi kita bisa berpikir di luar kebiasaan. Pengetahuan bisa dipelajari tetapi imajinasi dapat membawa kita pada kesempatan yang berbeda. Cobalah untuk memulainya dengan sebuah kertas kosong lalu pikirkan segala kemungkinan yang dibayangkan. Sama seperti saat kita membangun balok Lego menjadi sebuah bangunan yang ada di otak kita. Bisa saja Lego tersebut menjadi kapal, istana, rumah, apapun. Saat dewasa cobalah untuk berpikir bahwa pengetahuan kita layaknya balok Lego dan imajinasi kita adalah bangunan yang disusun dari balok-balok tersebut. Kita pasti memiliki gol tertentu dalam diri di mana terdapat “bangunan balok” yang harus dipelajari untuk menjadi sebuah bangunan yang diinginkan demi mencapai gol tersebut. Balok-balok ini kemudian dapat disusun dengan berbagai tekinik, kolaborasi dan sebagainya. Selama kita bisa tetap berimajinasi, kita bebas menciptakan beragam alat untuk menyusun balok tersebut menjadi sebuah bangunan.
Bahagia. Temukan kebahagiaan di hal-hal sederhana. Seorang anak dapat menemukan kebahagiaan pada hal yang amat simpel. Tapi orang dewasa kadang memiliki ekspektasi yang tinggi demi mencapai kebahagiaan. Pekerjaan, hubungan, proyek tertentu, semuanya harus sempurna alih-alih merasa bahagia. Kita menunggu penemuan satu bagian puzzle yang dapat melengkapi kerangkanya untuk merasa bahagia. Padahal akan selalu ada bagian puzzle yang dapat membuat kita bahagia, tidak melulu bagian yang rekat dengan bagian lainnya. Belajar bahagia di momen apapun yang terjadi sekarang adalah cara untuk merasa bahagia. Kapan terakhir kali kita merasa seperti anak-anak dan memperbolehkan diri untuk menemukan kebahagiaan di situasi apapun? Sesederhana saat kita merasa sangat bahagia ketika membantu orang lain.
Selalu melihat hal baik dari setiap orang. Kala dewasa kita seringkali menutup pikiran, menghakimi orang lain dan berprasangka buruk akan orang lain. Sedangkan anak-anak biasanya kita memperhatikan orang lain, mempelajari orang lain. Inilah yang harus kita pertahankan. Berpikir dan bersikap terbuka untuk melihat apa yang baik pada diri orang lain dan mempelajarinya. Cobalah untuk tidak peduli para pembenci dan fokus pada kebaikan seseorang.
Bersikap seperti anak-anak dan kekanak-kanakan adalah dua hal yang berbeda.
Saya cukup beruntung karena berada dalam pekerjaan yang saya senangi. Dalam lingkup Marketing saya diharuskan untuk banyak bergaul dengan kolega dan kolaborator yang cenderung selalu ingin keluar dari batas yang ada. Saya beruntung untuk memiliki lingkungan yang tidak mengurung dan bahkan terlibat dalam “kenakalan” saya. Saya dapat melancarkan gurauan pada teman-teman atau menciptakan “hiburan” yang termasuk agak gila. Saya pun tidak melupakan bagaimana mengapresiasi seni yang telah menjadi bagian besar dalam hidup sedari remaja. Pergi ke toko musik untuk mendengarkan lagu para musisi baru atau ke perpustakaan dan toko buku, mencari judul-judul dari masa lampau atau majalah indie di mana saya dapat mempelajari sub culture dan street art.
Kebiasaan tersebutlah yang mengantar saya mengenal Koons, Banksy, Murakami dan Kaws sejak awal 90-an. Ini juga yang saya pertahankan hingga sekarang. Saya selalu suka memahami latar belakang seorang seniman, mengapa dia melakukan suatu hal dengan cara yang tidak biasa, proses berpikirnya dan kisah hidupnya. Kini dengan media sosial, saya lebih mudah mencari para artis baru. Tetapi tetap saja kita pun harus berhati-hati dengan jebakan algoritma yang dapat mengarahkan pada hal yang itu-itu saja. Sehingga kita pun harus ingat untuk menjaga rasa keingintahuan agar tidak terjerumus dalam jebakan di dunia maya.
Jujur, saya rindu masa-masa masih sangat ingin tahu tentang banyak hal, pergi mencari berbagai informasi tentang topik yang menarik perhatian. Kapan terakhir kali kita membiarkan diri melihat sesuatu tanpa praduga, dengan mata berbinar dan pikiran terbuka tanpa menghakimi? Kapan terakhir kali kita membiarkan diri membayangkan beragam kemungkinan yang terasa tidak masuk akal menjadi solusi saat bekerja? Apakah kita bisa membuat diri terlepas dari kejenuhan akan belajar sesuatu yang baru dan asing dalam rangka memperluas pengetahuan dan mengasah kemampuan? Mari kita gunakan kesempatan ini untuk membiarkan diri menjadi anak-anak lagi.