Sepertinya sulit untuk mempraktikkan yoga secara rutin tanpa tertarik sama sekali untuk mempelajari filosofi dan pemikiran yang mendasari setiap puntiran, tarikan, atau tekukan tubuh yang kita lakukan di dalamnya. Pada titik tertentu, setelah sekian kali melakukan sun salutation di atas matras, seseorang pasti mulai mempertanyakan dari mana asalnya seluruh sensasi fisik maupun non-fisik yang mereka rasakan selama mensyukuri savasana di dalam ruang kelas.
Untuk saya, jawaban dari rasa penasaran itu baru muncul ketika berkenalan dengan aspek teoritis dari yoga. Teori-teori yang—bagi manusia awam dengan didikan kurikulum berdasar pada sains seperti saya—terdengar memiliki konsep yang sungguh... unik—jika tidak mau dikatakan aneh.
Bagi saya, selalu dibutuhkan kemauan besar untuk menihilkan isi kepala setiap kali menyelami universe pola pikir baru ini. Tentu jika teori-teori ini dijabarkan satu per satu, tulisan ini akan menjadi terlalu menyebalkan. Karena itu, saya akan mencoba merangkumnya sebagai satu kesimpulan yang terlalu dasar dan digeneralisasikan saja:
Dalam yoga, manusia adalah ‘jelmaan’ dari alam semesta. Seluruh aspek yang kita temui di jagad raya—baik itu tanah, air, api, udara, maupun ruang angkasa—bisa kita temukan di dalam diri kita.
Seluruh aspek yang kita temui di jagad raya—baik itu tanah, air, api, udara, maupun ruang angkasa—bisa kita temukan di dalam diri kita.
Tubuh manusia terbentuk dari beragam elemen. Kita memiliki elemen padat yang dapat dilihat dan jelas bentuknya—seperti kulit, rangka, geligi, dan sebagainya sampai elemen ruang yang kosong dan hampa—seperti rongga mulut, rongga hidung, dan rongga-rongga lainnya. Di dalam tubuh ini pun ada beragam sistem yang berjalan dengan mekanismenya masing-masing. Mulai dari pencernaan yang mengandalkan gerak pijatan peristaltik sampai reaksi kimia dari enzim-enzim, pernapasan yang mengubah wujud udara menjadi uap air, sampai proses terjadinya beragam gerak melalui relaksasi dan kontraksi otot tubuh.
Dari sekian banyak proses rumit tersebut, ada satu proses yang menurut saya mengandung pembelajaran yang luar biasa dan ingin saya bahas sedikit lebih mendalam pada tulisan ini, yaitu proses terbentuk dan menguatnya tulang belulang dalam tubuh.
Tulang yang dimiliki oleh manusia mengalami berbagai proses sepanjang hidupnya. Ketika masih bayi, perjalanan ini dimulai dari tulang rawan yang lunak kemudian terus memadat dan mengeras sedikit demi sedikit sampai mencapai puncak massa tulangnya ketika manusia dewasa. Tulang dewasa ini kemudian mulai merapuh sedikit demi sedikit, seiring dengan bertambahnya usia.
Memiliki tulang yang sehat, padat, dan kuat adalah salah satu ciri dari individu yang bertubuh sehat. Sebagai alat gerak pasif, pelindung organ-organ dalam, sekaligus pemberi struktur utama pada tubuh, sepertinya sedikit mustahil jika manusia mendefinisikan usia yang panjang dan bahagia tanpa kehadiran tulang belulang yang berada pada kondisi primanya. Pentingnya konsumsi zat-zat yang menjaga kesehatan tulang juga ramai dikampanyekan, dengan harapan agar semakin sedikit individu yang harus menderita penyakit-penyakit yang datang bersama dengan kerapuhan tulang.
Olahraga pun dipercaya menjadi salah satu aspek terpenting dalam mencapai cita-cita luhur ini. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa olah raga memegang peranan cukup penting dalam melindungi tulang manusia dari efek samping penuaan. Secara tidak langsung, olahraga membantu melalui dihasilkannya hormon pertumbuhan yang dapat meningkatkan kinerja sel pembentuk tulang. Sementara secara langsung, olahraga merangsang terbentuknya kepadatan tulang secara mekanik melalui tekanan yang dihasilkan oleh kontraksi otot pada tulang. Tekananlah yang membantu ‘mematangkan’ tulang rawan menjadi tulang padat pada manusia selama beranjak dewasa, dan tekananlah yang membantu mengubah jaringan spons pada tulang menjadi struktur yang padat dan kuat untuk melindunginya dari efek samping penuaan. Dengan kata lain, hadirnya tekanan pada tulang membawa manfaat yang luar biasa—sedikit sulit untuk diterima, karena faktor ini jugalah yang dapat dengan cepat menyebabkan trauma berupa fraktur pada tulang.
Fenomena ini seolah membuktikan keakuratan sebuah filosofi yang banyak dianut dalam hidup mereka yang bijak—bahwa tidak ada suatu kebenaran pun yang mutlak adanya. Jika tekanan bisa membawa kebaikan sekaligus keburukan pada tulang, bukankah sangat mungkin jika tekanan yang kita rasakan secara psikis juga membawa dualisme efek yang sama?
Tidak ada suatu kebenaran pun yang mutlak adanya
Saya sempat menyimak sebuah wawancara dengan seorang pensiunan astronot bernama Chris Hedfield. Ia menyampaikan bahwa untuknya, segala sesuatu yang terjadi ketika ia berada di luar atmosfer bumi tidak akan membuatnya merasa tertekan atau stres selama ia memiliki satu hal, yaitu kompetensi yang dicapai melalui latihan berulang-ulang. Kompetensi yang ia maksud adalah readiness, atau kesiapan. Selama seorang astronot siap untuk menghadapi skenario A sampai Z di angkasa luas, maka tidak ada lagi efek kejut yang menimbulkan kepanikan ketika tiba-tiba skenario J lah yang terjadi.
Saya rasa, prinsip inilah yang terjadi pada tulang manusia ketika menghadapi tekanan. Dalam besar yang dapat ia toleransi—atau yang siap ia terima—tulang akan semakin menguat dengan adanya tekanan. Namun tekanan yang besarnya melebihi kesiapannya akan membahayakan keutuhannya. Toleransi tulang pada besarnya tekanan ini dapat berkembang, namun tentu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Biar bagaimanapun, tulang—salah satu perwakilan elemen tanah dalam tubuh—ditakdirkan untuk memiliki sifat yang lebih lambat dalam memproses perubahan. Karena ini jugalah, kita diminta untuk menjaga kepadatan tulang sejak masa muda—agar manfaatnya dapat terakumulasi dan terasa indahnya ketika kita tua nanti.
Tapi seperti yang disampaikan oleh Hedfield, kesiapan mental dapat dicapai melalui latihan yang rutin dalam waktu yang relatif lebih cepat—paling tidak, tidak mencapai puluhan tahun lamanya. Thoughts, pikiran, atau kesadaran kita adalah perwujudan elemen cahaya yang jauh lebih halus daripada tanah. Dengan metode yang tepat, kita dapat dengan cepat membelokkan atau membiaskan arah cahaya, bukan? Begitu pula kita dapat menciptakan perubahan pada pola pikir kita. Baik itu tekanan sosial, pekerjaan, maupun budaya, tidak akan dapat mengurangi nilai kita sebagai manusia jika kita dapat melatih diri untuk siap menghadapinya. Namun ketika bertemu dengan tekanan yang ternyata belum siap kita hadapi, kita selalu memiliki pilihan untuk mengubah cara kita memandang tekanan tersebut: apakah ia akan menjadi tekanan yang menguatkan kita, atau menjadi tekanan yang menyakiti dan mematahkan kita. Karena tidak pernah ada kebenaran yang bersifat mutlak, maka seluruh keputusan untuk menyikapi tekanan ini pun sepenuhnya ada pada kesadaran kita. Tidak seperti kekuatan tulang yang jelas batasannya, kekuatan mental kita sejatinya nyaris tidak ada batasannya. Jika tulangmu saja bisa menguat karena tertekan, yakinlah bahwa kamu—‘jagad raya’ yang menaungi tulang belulang itu—pasti bisa lebih kuat dari itu.
Jika tulangmu saja bisa menguat karena tertekan, yakinlah bahwa kamu—‘jagad raya’ yang menaungi tulang belulang itu—pasti bisa lebih kuat dari itu.