Mengaku alergi musik dangdut, tapi ikut girang mendengar rentak lagu Meraih Bintang yang rancak? Aha! Itu guilty pleasure. Seberapa boleh guilty pleasures ini dilakukan?
Seringkali, ada beberapa aktivitas yang selalu kita akui sebagai “bukan saya banget” dan selalu ingin kita sangkal atau ingkari, tapi nyatanya membuat kita bahagia kala melakukannya. Makan makanan manis ketika diet ketat seharusnya kita lakukan, merokok lagi setelah memproklamirkan diri berhenti, menikmati jenis musik atau menonton film tertentu yang seringkali kita cap tidak berkelas dan banyak hal lain merupakan guilty pleasures yang mungkin acap kita lakukan.
Agak sedikit disayangkan, bahasa Indonesia tidak memiliki kosakata yang ringkas untuk menerjemahkan frasa yang entah mulai dekade kapan mulai akrab dengan kita di sini. Dalam Bahasa Indoensia, guilty pleasures kerap dianalogikan dengan jargon “benci tapi rindu”. Benci sebuah aktivitas, tapi rindu melakukannya. Dalam dunia psikologi, guilty pleasures ini kerap diartikan sebagai sebuah aktivitas jangak pendek yang memberi dampak positif bagi seseorang karena kesenangan yang diperolehnya, namun seringkali membawa konsekuensi negatif jangka panjang yang biasanya menyulitkan. Seseorang yang melakukannya, umumnya sadar bahwa ia melakukan kesalahan, namun tak ingin kehilangan kesenangan yang diperoleh dari aktivitas tersebut hingga ia terus saja melakukannya.
Dilema pengendalian diri seperti ini seringkali hadir sebagai sebuah keadaan kontras yang harus dipilih antara kesenangan sesaat dan kesenangan jangka panjang. Menurut Roger Giner-Sorolla, profesor psikologi sosial di Kent University, dilema ini bisa digambarkan sebagai biaya tertunda (guilty pleasures) atau keuntungan tertunda (grim necessity). Studi yang dilakukan oleh Giner-Sorolla menunjukkan bahwa orang kerap mengasosiasikan emosi yang berbeda dengan jenis-jenis konsekuensi yang berbeda.
Dalam kondisi tertentu, partisipan studi yang ia adakan ditanyakan mengenai contoh aktivitas yang memiliki konsekuensi jangka pendek yang lebih positif ketimbang jangka panjang dan mereka umumnya menganggap bahwa guilty pleasures yang identik dengan konsekuensi jangak pendek menghadirkan emosi-emosi negatif yang cenderung membuat mereka lebih memiliki kesadaran diri. Sementara emosi-emosi positif yang mereka rasakan dan datang bersamaan mereka melakukan aktivitas yang bersifat guilty pleasures ini acapkali bersifat hedonistik dan mendatangkan kesenangan sesaat. Aktivitas yang mereka sebut sebagai “fun” dan “happy”. Studi lain yang dilakukan menunjukkan bahwa pada aktivitas guilty pleasures tertentu, kesadaran emosi biasanya ikut terbawa oleh kontrol diri yang lebih berkuasa. Hal ini yang membuat seseorang bisa memiliki berbagai alasan untuk melakukan hal-hal yang tak seharusnya ia lakukan.
Dalam hal ini, terlihat bahwa emosi bisa membantu atau justru mencederai kontrol diri, tergantung pada apakah konsekuensi yang mana yang ingin mereka pilih, jangka pendek atau jangka panjang. Pada soal-soal tertentu, mengantisipasi konsekuensi emosional dari kesadaran diri sebelum konsekuensi tersbeut terpaksa dihadapi bisa sangat membantu. Perasaan tidak nyaman karena melakukan hal-hal yang tidak baik, atau tidak sesuai dengan katahati selalu akan dialami. Tiap kali datang, hati akan melakukan tindakan antisipasi yang membuat lama kelamaan kita makin biasa saja melakukan hal-hal tak sesuai dengan katahati itu. Ini yang biasanya membuat guilty pleasures ini terus saja dilakukan oleh seseorang. Hal ini merupakan konteks negatif dari perilaku guilty pleasures ini. Dalam kenyataannya, mengantisipasi penyesalan memang bisa menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan. Maka, keputusan memang benar-benar berada di tangan kita. Guilty pleasures tak selalu bermakna negatif, asal kita tahu cara mengelolanya.