Menurut WHO dari total populasi orang di dunia, hampir 90% di antaranya pernah mengalami kejadian traumatik minimal sekali dalam hidupnya tetapi yang kemudian berkembang menjadi stress disorder sekitar 16-20%. Artinya, sebagian besar orang sebenarnya mampu bangkit kembali.
Kejadian yang kita alami di masa lampau memang salah satu aspek yang bisa mengganggu seseorang, tetapi mungkin ada hal lain yang bisa mendukung seseorang untuk bangkit.
Ada banyak kesalahan berpikir yang saya temui di ruang praktik. Pertama adalah langsung lompat ke kesimpulan akhir. Contoh, saya tidak berhasil dalam ujian kali ini, kesimpulannya saya tidak mungkin sukses seumur hidup. Kesimpulan yang diambil bisa sangat jauh.
Kesalahan lainnya yang kerap saya jumpai adalah cara berpikir yang hitam putih. Kalau tidak benar maka salah. Seolah hanya ada dua kutub dalam cara berpikir, tidak ada area abu-abu. Ini juga bahaya karena dunia tidak sehitam putih itu.
Kesalahan selanjutnya adalah generalisasi. Misalnya dalam suatu keluarga ada satu orang anggota keluarga yang selingkuh, entah ayah atau ibu, lalu disamaratakan bahwa semua orang dari gender tertentu sama saja. Kemudian cara berpikir ini terus berantai, karea ia percaya semua orang dari gender A sama saja, akhirnya dia tidak benar-benar mau berkomitmen dengan gender A, lalu menjalani sebuah hubungan tanpa berkomitmen. Karena menjalani hubungan tanpa komitmen, ini justru meningkatkan kemungkinan untuk diselingkuhi padahal tujuannya tadi menghindari komitmen untuk menghindari perselingkuhan. Jadi, generalisasi bisa sangat bermasalah karea rantai pola pikirnya juga bisa saja bermasalah dan begitu seterusnya.
Kemudian saya tergelitik untuk menulis buku “Merawat Luka Batin” meski saya tau mungkin tidak akan banyak membawa pengaruh secara luas tapi paling tidak ada beberapa orang yang tersadarkan bahwa ini adalah masalah kesehatan mental. Luka batin juga butuh penanganan, saya akan sangat senang sekali kalau buku ini bisa membawa manfaat. Bagi orang yang mungkin memiliki keterbatasan waktu atau ada ide yang sulit dibicarakan di ruang konseling, buku ini bisa sedikit menenangkan. Saya tidak pernah meniatkan untuk menjadikan buku ini pengganti peran psikolog atau psikiater tapi mungkin bisa menjadi sumber tambahan ketika kita sedang konseling.
Sebenarnya judul awal buku ini adalah “Bersahabat dengan Depresi”. Banyak kasus depresi di keseharian yang saya temukan di ruang praktik tapi lebih banyak lagi yang tidak tau kalau ini adalah masalah kejiwaan, gangguan yang mungkin serius bagi beberapa orang. Dalam budaya kita mungkin akan dianggap sebagai hal yang wajar, normal, atau bahkan kelemahan personal.
Di bab awal buku ini memang spesifik membahas depresi namun rantai pembahasan selanjutnya sebenarnya cukup banyak membahas tentang distorsi dalam proses kognisi kita, dalam proses kita berpikir. Pada beberapa teori, distorsi kognitif justru mungkin hadir sebagai penyebab dari keadaan yang buruk atau kalau bukan penyebab minimal dia memperburuk keadaan yang sudah buruk. Ketika berbicara luka batin, sebagian orang mungkin langsung menafsirkan ini sebagai pembahasan tentang kejadian di masa lalau. Sebagiannya bisa jadi benar karena saya juga menulis bahwa masa lalu mungkin memengaruhi kondisi emosional kita saat ini, dan memang iya tapi tidak sepenuhnya benar.
Kalau kita memang benar-benar paham cara menangani luka tentu boleh saja dirawat sendiri. Seperti halnya luka fisik, kalau kulit kita tergores tapi kita tidak paham cara merawatnya dengan baik, luka kecil ini justru akan jadi masalah. Jika anda benar-benar memahami bagaimana cara merawat luka batin, bukan hanya menyamankannya sementara, silakan. Terkadang kita bisa merawatnya dengan terhubung bersama orang lain lewat cerita, berlatih meditasi, journaling, punya kelompok yang suportif. Keseluruhan hal ini bisa membantu tapi apakah kita benar-benar mengerti atau hanya menyamankan?
Kalau ada pemicu stress langsung cuti panjang buat healing, atau belanja secara impulsif, mungkin juga lari ke makanan, dan lain sebagainya, Nyaman sih, tapi merasa lebih baik tidak sama dengan pulih lebih baik.
Terkadang dalam merawat luka batin justru prosesnya tidak terasa nyaman. Sama seperti luka fisik yang ketika dibersihkan kadang terasa tidak enak, luka batin yang kita rasakan juga sama.
Lalu kapan kita tau bahwa yang kita lakukan ternyata hanya upaya menyamankan bukan merawat luka batin? Jawabannya adalah kalau polanya berulang dan tidak berubah. Kalau hanya sesekali, saya juga pernah stress terus belanja, atau makan. Itu semua juga perilaku impulsif tapi ini belum pernah kejadian sebelumnya dan saya percaya tidak akan terjadi setelahnya.
Kalau saat nilai jelek kita healing, ditegur dosen kita healing, tugas kelompok tidak selesai kita healing, ini kan pola. Sekalipun objeknya berubah pola kita tetap sama. Menurut saya lebih baik ke psikolog, karena bisanya kita tidak bisa melihat suatu hal dengan jelas kalau kita berada di dalam polanya.
Luka batin yang tidak dirawat dengan baik dapat berdampak pada kita. Sederhananya kualitas hidup kita bisa menurun. Kalau jawaban yang mungkin lebih ekstrem adalah luka biasanya tidak menetap dia bisa sembuh atau justru membesar. Selain makin sakit, juga akan lebih sulit diatasi. Bukan berarti menakut-nakuti, karena kapan pun kamu membaca artikel ini dan menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, lakukan sekarang.
Luka batin yang tidak dirawat dengan baik dapat berdampak pada kita. Sederhananya kualitas hidup kita bisa menurun. Kalau jawaban yang mungkin lebih ekstrem adalah luka biasanya tidak menetap dia bisa sembuh atau justru membesar.
Saya pribadi malah lebih suka orang datang untuk konseling sebelum terlalu berat karena ada banya sumber yang bisa diangkat. Bagus kok, untuk tidak menunggu terlalu berat untuk konseling, apalagi sudah berat, tetap ikuti konseling dan jangan berhenti sekalipun perasaan tersasa sudah lebih baik kecuali memang sudah waktunya berhenti. Indikatornya adalah progress individu, bukan sekedar merasa lebih baik.
Melalui buku “Merawat Luka Batin” ini saya harap orang akan lebih mengerti apa itu depresi. Saya harap buku ini bisa dibaca terutama untuk penyintas, orang yang ingin memahami apa itu depresi, pengasuh, orang yang mengalami depresi, serta orang-orang disekelilingnya. Rasa malu itu sering menyertai orang yang mengalami ganguan jiwa sehingga seakan-akan keseluruhan permasalahan ini adalah kesalahan personal, kelemahan individu, atau karena kurang bersyukur. Rasa malu dan merasa bahwa ini adalah kesalahan individu mempersulit kita untuk pulih.
Rasa malu akan berakhir ketika kita menemukan tempat untuk berbagi dan diterima tanpa dihakimi.