Self Lifehacks

Mengeluh Yang Tiada Berguna

Indah Ariani

@indahariani

Penulis

Ilustrasi Oleh: Mutualist Creative

Kendati membuai dan membuat kita merasa diperhatikan banyak orang, mengeluh mengandung efek adiktif yang berbahaya bagi jiwa kita.

“Duh, aku harus gimana ini? Perutku sakit sekali. OK. Stop. Terima saja, rasakan, nikmati. Jangan mengeluh.” Kalimat monolog itu meluncur dari bibir seorang sahabat saya yang sedang berjuang menghadapi kanker stadium lanjut. Rasa sakit teramat sangat tak sanggup ia sembunyikan dalam suaranya yang ia usahakan bernada tenang. Awal pekan ini, saya menjenguknya ke ruang perawatan di sebuah rumah sakit pusat nasional di Jakarta. Pagi hari esoknya, sahabat saya itu akan menjalani operasinya yang ketiga. Kami berpelukan, berpegangan tangan. Saya berusaha menyemangatinya. Saya senang karena di antara kekhawatirannya, ia tetap seorang yang ceria dan penuh daya hidup.

Bila ia mulai merasa kesakitan di sela-sela obrolan kami, saya hanya bisa diam memegang tangannya atau membantu mengelus punggungnya dengan harapan, elusan saya itu bisa membantu mengurangi rasa sakitnya. Dalam diam, saya terus merapalkan semua doa yang saya hafal dengan harapan bisa membantu menguatkannya. Ia pun juga tak putus memuji Tuhan tiap kali rasa sakitnya datang sembari sesekali mendengarnya mengatakan, “Ayo, jangan mengeluh. Jangan mengeluh.” Tiap kali kata “jangan mengeluh” ia lontarkan, saya selalu terpekur dan makin diam membisu sambil terus merapalkan doa sebanyak-banyaknya dalam hati. Betapa kuatnya sahabat saya ini.

Entah pada kata “jangan mengeluh,” yang keberapa, ingatan saya tiba-tiba tertarik ke sebuah percakapan yang terjadi sekitar akhir tahun 2002 di ruang kerja atasan saya, ketika saya mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaan saya sebagai wartawan muda di sebuah majalah wanita, kantor pertama saya, yang usianya baru menapak tahun ketiga. Sama persis seperti usia karier saya sebagai wartawan.

Atasan saya, seorang perempuan pengusaha dan ibu tunggal yang tangguh untuk dua anaknya, terkejut dan tak mau menerima surat pengunduran diri saya itu. Dia menanyakan alasan saya mengajukannya. Saya –yang saat itu tengah menghadapi sebuah persoalan cukup serius dengan pasangan- menceritakan alasannya. Saya bilang padanya, mungkin saya akan bisa menyelamatkan hubungan saya bila mengalah, menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Dia tak menerima alasan itu dan merasa, justru dalam kondisi begitu, saya sangat perlu menjadi mandiri secara finansial. Kami bicara hati ke hati panjang sekali hari itu. Di akhir percakapan kami, atasan saya yang usianya terpaut cukup jauh dari saya itu, mengatakan satu hal yang saat itu terasa menohok, tapi belakangan saya yakini dan jadikan pegangan tiap kali menghadapi masa sulit.

Dia bilang pada saya, “Dik, kamu boleh ambil ucapan saya yang ini atau tidak. Tapi saya ingin mengatakan ini pada kamu. Sesulit apa pun persoalan yang kita hadapi, usahakan tak banyak mengeluh dan sebisa mungkin tak perlu cerita ke mana-mana. Kalau bisa disimpan saja. Kalau tidak kuat, ceritalah pada sedikit orang yang kamu percaya saja. Percayalah, orang lain tak pernah benar-benar mendengarkan keluhan kita. Sedikit saja yang akan tulus mendengar. Sebagian akan berpura-pura mendengar dan bersimpati, sebagian lagi, mereka akan menggelar tikar, mengambil kacang goreng, menonton penderitaan kita dengan wajah iba tapi hatinya sukacita lalu menjadikan cerita itu sebagai bahan gosip seru di belakang, sementara kita akan terus merasa bahwa diri kita tak berdaya.”

Saat itu saya sempat bertanya-tanya, apakah dia menyindir saya? Tapi rasanya tidak. Atasan saya bukan orang yang suka basa-basi. Ucapannya kadang memang terasa tajam, tapi dia tak suka berpura-pura. Maka saya merasa yakin, dia adalah satu dari yang sedikit mendengar dengan tulus itu. Saya yakin, dia tak sedang menyindir. Maka saya ambil ucapannya itu, saya simpan baik-baik dalam ingatan dan perlahan mencoba lebih banyak menyimpan keluhan ketimbang membaginya pada orang lain. Pada banyak kali, saya kemudian memang membuktikan, menyimpan keluhan hanya untuk diri sendiri memang malah membantu saya terhindar dari banyak drama tak perlu.

Mengeluh, atau berkeluh kesah memang sangat menyenangkan dilakukan. Lewat kata-kata, kita ingin membagikan keresahan yang kitapada orang lain yang kita pikir bisa membantu mengurangi keresahan yang kita rasakan dalam hati. Saya sendiri pun, meski sudah berusaha mengurangi dan berhasil menekan banyak sekali frekuensi keluh kesah saya, tetap saja tak benar-benar bisa meninggalkan kebiasaan itu. Tapi mengeluh memang seperti candu. Kita sulit benar-benar lepas dari adiksi rasa tak sendiri yang dihasilkan oleh kegiatan mengeluh itu. Namun sesungguhnya, mengeluh tak benar-benar membantu kita. Bahkan, seperti yang atasan saya katakan belasan tahun silam, mengeluh hanya membuat kita merasa tak berdaya.  

Sebuah artikel yang menarik, lugas, tapi sekaligus lucu dan benar sekali, tak sengaja saya temukan di www.lifehack.org, ketika tengah mencari-cari ide tentang apa yang sebaiknya kita lakukan untuk bisa menghentikan kebiasaan berkeluh kesah ini. Onder Hassan, penulis buku How To Cure Social Anxiety: An Alternative Guide yang juga pemilik blog motivasi Dawn of Change menulis sebuah artikel tentang tiga alasan kenapa kita harus berhenti mengeluh.

Menurutnya, kita tak seharusnya mengeluh karena pertama, dunia tak berhutang apa pun pada kita. Dunia akan tetap berputar pada porosnya bila kita tak ada lagi di dunia ini. Kendati kita meyakini bahwa seluruh energi yang ada dalam Semesta ini saling terkait, namun sesungguhnya kita adalah poros yang menggerakkan semesta kita sendiri. Dunia dan isinya tak pernah ikut campur mengatur. Hal tersebut, terkait dengan poin kedua yang disampaikan oleh Hassan, bahwa kita, adalah satu-satunya “person in charge” dalam hidup kita.

Pendapatnya ini, mengingatkan saya pada ucapan guru meditasi saya dulu. Dia selalu bilang, “99 persen masalah dalam hidup kita, sebenarnya kita sendiri penyebabnya. Jadi jangan pernah salahkan orang lain untuk segala masalah yang kamu temui, meskipun dirimu meyakini bahwa kamu tak bersalah.” Lagi-lagi, ini pun teori yang cukup sulit diterima, karena hasrat kita untuk menyalahkan orang lain untuk masalah yang kita temui selalu lebih besar dari kebesaran hati kita untuk menerima tanggung jawab sebagai penyebab.

Tapi pemahaman bahwa segala masalah itu kita yang membuat dan harus bertanggung jawab, memang akan membuat kita lebih berhati-hati mengambil sikap dan membuat keputusan. Sebuah keahlian yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang ingin menjadi pempimpin. Sebab hal ini, terkait dengan poin ketiga yang disampaikan Hassan. Menurutnya, mengeluh tak akan bisa membangun jiwa pemimpin dalam diri seseorang. Sebab menurutnya, seseorang tak akan bisa menjadi seorang pemimpin ketika ia selalu saja berperilaku sebagai korban. Bagaimana mau memimpin dan bertanggung jawab bagi orang-orang yang dipimpinnya bila membantu dirinya untuk tak melulu menjadi atau merasa menjadi korban saja tidak bisa, bukan? Jadi? Sudah yuk, kita latihan berhenti mengeluh saja mulai sekarang.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024