Apakah kalian adalah mereka yang seringkali duduk di deretan paling belakang ketika mengikuti pelajaran atau suatu acara? Berharap tidak kena tunjuk guru atau terlihat oleh pembicara di depan agar tidak diminta menjawab pertanyaan. Apakah kalian adalah mereka yang seringkali mengarahkan pandangan ke bawah bahkan hampir menunduk ketika berjalan melewati banyak orang? Jika ya, kalian tidak sendirian. Saya pun begitu – dulu. Sekarang? Terkadang masih, tapi tidak separah dulu ketika masih bersekolah. Kata “minder” sepertinya sudah menjadi nama tengah saya sejak lama walaupun saya berusaha menampilkan diri sebaliknya ketika berada di lingkungan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan rasanya menjadi motivasi besar untuk perlahan bisa meningkatkan kepercayaan diri.
Tidak mudah rasanya untuk bisa memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Saya pun baru beberapa tahun belakangan menganalisa berbagai masalah yang menghambat kepercayaan diri itu. Terlahir di keluarga yang biasa saja dan bertumbuh di keluarga broken home bisa jadi salah satu alasan saya menyimpan rasa minder dalam diri. Gunjingan warga sekitar akan orangtua saya yang bercerai bukanlah hal yang mudah di masa kecil. Apalagi saat itu sepertinya keluarga saya adalah satu-satunya keluarga yang bercerai. Tidak seperti sekarang yang mana masyarakat sudah lebih mengenal kata “perceraian”, dahulu bercerai seakan suatu hal yang amat berdosa. Belum lagi sekolah swasta nan bonafit tempat saya menimba ilmu ketika Sekolah Dasar. Terlihat sekali perbedaan perlakuan para guru pada orangtua mereka yang berdonasi besar pada sekolah. Terutama karena saya termasuk siswi yang kurang berprestasi, sering lupa mengerjakan pekerjaan rumah, dan membawa buku. Rasanya sepanjang SD tidak pernah terlewat hukuman demi hukuman untuk kelalaian saya tersebut.
Tidak mudah rasanya untuk bisa memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Pengalaman berada di lingkungan tersebut sepertinya meningkatkan rasa minder dan sentimen saya pada mereka yang lebih beruntung soal uang dan popularitas. Saya merasa anak-anak yang lebih kaya, cantik, dan pintar akan lebih punya banyak teman dan mudah melewati masalah di masyarakat. Sikap minder semakin menjadi pula ketika di lingkungan pekerjaan di mana kala itu saya bekerja di majalah wanita. Bekerja bersama mereka yang sangat memperhatikan penampilan serta berada dalam dunia dengan gaya hidup glamor sepertinya tidak membantu saya memperbaiki perasaan malu dan enggan untuk tampil. Rasanya banyak sekali tekanan yang membuat saya selalu ingin keluar dari sana. Hingga suatu saat saya menceritakan pada seseorang apa yang saya rasakan dan begini katanya, “Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Mungkin dia terlihat senang di luar, bisa pergi ke sana, belanja ini-itu, mengaku anak siapa. Tapi kita tidak pernah tahu dalamnya seperti apa. Nyatanya setiap orang punya kesulitannya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan ukurannya.”
Perkataannya ini sampai sekarang selalu saya ingat ketika saya mulai membandingkan diri saya dengan orang lain. Barulah saya sadar bahwa setiap orang itu berbeda-beda dan punya medan perangnya sendiri. Mungkin pengalaman satu orang dengan orang lainnya mirip tapi tetap saja cara mereka merasakannya berbeda dan tidak bisa dibilang bahwa kitalah orang yang paling sedih, paling jelek, paling bodoh sampai menjadikan diri sendiri sebagai “korban”. Terlebih saya menyadari bahwa saya selama ini seringkali fokus pada orang lain bukan pada diri sendiri. Akar permasalahan yang menuntun pada rasa minder adalah kurangnya rasa cinta pada diri sendiri dan kurangnya penghargaan pada diri sendiri. Saya dulu melakukan sesuatu karena ingin menunjukkan pada orang lain bahwa saya juga bisa seperti dia. Tapi ternyata salah. Bukannya meningkatkan kepercayaan diri justru membuat saya lebih minder karena pembandingan diri itu tidak pernah usai. Saya tidak fokus pada kelebihan saya malah fokus pada kekurangan dan menyalahkan keadaan atau orang lain akan kekurangan tersebut.
Ketika saya mulai membandingkan diri saya dengan orang lain, barulah saya sadar bahwa setiap orang itu berbeda-beda dan punya medan perangnya sendiri.
Perlahan saya berupaya untuk lebih melihat apa yang saya bisa dan berhenti menganggap diri sebagai “korban”. Membandingkan diri saat ini dengan diri di masa lampau. Bukan dengan orang lain. Tidak mudah memang. Sampai sekarang pun masih banyak bisikan-bisikan yang menggoda saya untuk melihat si A sudah sampai sejauh apa, atau si B masih muda tapi kok sudah terlihat sukses. Wajar, kita manusia yang diciptakan dengan berbagai godaan. Sampai sekarang pun saya masih ada waktu-waktu tertentu di mana saya akan memilih untuk menarik diri dan mempersilahkan orang lain untuk maju. Namun itulah prosesnya. Meskipun sangat pelan, yang penting ada progresnya. Tidak perlu tiba-tiba langsung berani menjadi seorang penampil yang berada di depan khalayak ramai. Kalau memang bisa, bagus. Kalau belum coba saja sedikit demi sedikit. Mulai dari hal sesederhana memuji diri sendiri ketika selesai melakukan tugas dalam sehari. Lihat diri di cermin dan bilang, “Bagus, kamu berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu. Bangga sama kamu.” Atau mulailah untuk memberanikan melihat mata lawan bicara kala bersua.
Akan tetapi yang terpenting untuk mengurangi rasa minder dan lebih percaya diri adalah mencari tahu akar permasalahan diri kita dulu. Apa sih yang membuat kita minder. Apakah itu karena pernah memiliki pengalaman ditolak atau gagal sehingga sulit bangkit, pernah dipermalukan di depan orang banyak atau bahkan merasa bersalah pada diri sendiri karena suatu kejadian tidak menyenangkan. Setelah itu akui kalau ketakutan-ketakutan itulah yang menjadi sumber kelemahan dan fokuslah pada kelebihan kita. Contoh kecilnya adalah kelebihan kita sudah berani mengakui kelemahan. Ini sudah bisa menjadi kekuatan untuk meningkatkan rasa percaya diri. Lagi pula kalau mau dipikir-pikir lagi, tidak mungkin semua yang kita lakukan buruk. Pasti ada hal baik yang pernah kita lakukan. Memangnya kenapa kalau kita tidak berkulit putih bak model iklan pelembab kulit? Memangnya kenapa kalau kita tidak menguasai fisika? Bukan juara kelas, tidak punya pacar, atau tidak kaya? Jangan melulu memikirkan yang belum terjadi dan mengira-ngira dengan pertanyaan “Bagaimana kalau….?” Ekspektasi kita baik ekspektasi akan kegagalan ataupun keberhasilan hanya akan membuat kita tidak berani mencoba dan diam di tempat. Yah, kecuali kalau diam di tempat memang yang diinginkan.
Akar permasalahan yang menuntun pada rasa minder adalah kurangnya rasa cinta pada diri sendiri dan kurangnya penghargaan pada diri sendiri.