Self Health & Wellness

Mengambil Jeda Di Plum Village

Marissa Anita

Jurnalis & Aktris

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Bagi individu yang menjalani kehidupan urban, rasa rindu terhadap hidup yang lebih sederhana kerap datang. Kehidupan kota besar yang serba cepat mengingatkan kita betapa pentingnya mengambil jeda, istirahat sejenak raga dan pikiran dari bisingnya suara-suara dan ekspektasi kehidupan perkotaan.

Di awal bulan kelima tahun ini, saya sengaja melambankan langkah dan menyepikan pikiran dengan mengikuti retreat meditasi Plum Village di Ubud, Bali. Di sini saya mengasah mindfulness atau kesadaran penuh.

Mindfulness adalah suatu keadaan mental di mana seseorang memusatkan perhatian penuh hanya pada saat ini (Dictionary.com, n.d) Ketika kita penuh perhatian, kita dengan hati-hati mengamati pikiran dan perasaan kita tanpa menilai itu baik atau buruk. Mindfulness bisa menjadi cara yang sehat untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi tersembunyi yang dapat menyebabkan masalah dalam hubungan pribadi dan profesional kita (Psychology Today, n.d.).

Dalam lima hari empat malam, saya kembali belajar menjadi manusia yang pikiran dan raganya berada di satu tempat yang sama, di sini dan kini.

Begini rutinitas harian saya selama lima hari empat malam di Plum Village, Ubud, Bali:

5.00 - Bangun dan bersiap untuk meditasi (hening)

5.30 - Meditasi Duduk (hening)

6.30 - Meditasi Berjalan & 10 Gerakan Berkesadaran (hening)

7.30 - Makan Pagi s/d Cuci Piring (hening)

8.30 - Meditasi Kerja (hening)

9.00 - Waktu Personal

10.00 - Ceramah Dharma

12.00 - Makan Siang (hening)

13.30 - Relaksasi Total (hening)

15.00 - Sesi Berbagi (Dharma Sharing)*

16.30 - Olah Raga

17.30 - Waktu Personal

18.00 - Makan Malam (hening)

19.00 - Ceramah Dharma/ Sesi Berbagi (Dharma Sharing)*

21.30 - Keheningan Mulia (Noble Silence)*

Meditasi Duduk (Sitting Meditation)

Lonceng berbunyi. Saatnya masuk ke aula meditasi untuk duduk meditasi, memperhatikan nafas masuk dan nafas keluar, selama 30 menit penuh. Kaki sempat kesemutan, pikiran sempat kemana-mana. Kalau ini sudah kejadian, saya kembalikan fokus saya pada nafas – merasakan perut kembang kempis dan udara keluar masuk dari lubang hidung. Lama-lama kesemutan tidak lagi terasa dan pikiran yang tadinya loncat-loncat menjadi tenang.

Meditasi Berjalan (Walking Meditation)

Lonceng berbunyi. Saatnya meditasi berjalan. Saya memijakkan telapak kaki secara sadar ke wajah bumi, merasakan permukaan wajah bumi dan menikmati betul setiap langkahnya. Tak lupa untuk selalu ambil nafas panjang selagi berjalan. Saya jadi ingat lagi. Waktu umur lima tahun, saya diajak almarhum kakek, Amran Sutan Mudo, duduk hening menikmati angkasa yang jingga karena matahari mulai mengantuk. Nafas masuk, nafas keluar, untuk berada di sini dan kini.

Mindful Eating

Saat makan pagi, saya dan 163 peserta yang lain mengantri secara teratur dan dalam keheningan tanpa berbicara mengambil makanan nabati secukupnya. Ini adalah salah satu cara melatih diri untuk  tidak mengambil makanan secara berlebihan, belajar menahan keserakahan atau rasa takut kehabisan – berbagi dengan yang lain.

Sebelum mulai makan, kami mengucap syukur dalam hati atas nasi hangat, umbi-umbian, kacang-kacangan, jamur, sayur dan buah dalam piring kami – hasil bumi dan kerja keras para petani.

Seluruh makanan adalah nabati untuk mengurangi penderitaan hewan dan mengurangi kontribusi kita terhadap pemanasan global.

Setiap suap disarankan dikunyah 33 kali. Selain secara medis memang lebih baik untuk pencernaan, mengunyah 33 kali juga memberi kesempatan indra pengecap kita benar-benar menikmati manisnya kacang buncis dan bulir jagung, gurihnya tempe, tahu dan jamur.

Meditasi Kerja

Makan pagi selesai, saatnya meditasi kerja. Seluruh peserta dibagi dalam kelompok-kelompok berbeda. Saya kebetulan masuk dalam kelompok Denpasar. Bersama anggota Denpasar yang lain dan mereka dari kelompok Jimbaran, saya memotong puluhan tempe, memotong buncis, dan mengupas kentang kecil dan besar dari beberapa keranjang besar.

Ini semua untuk turut membantu menyiapkan bahan-bahan untuk kemudian diramu koki untuk makan siang kami semua.

Meditasi kerja ini memang paling ideal dijalankan tanpa bicara, hening. Namun ada sebagian peserta yang tak tahan dan menggunakan kesempatan ini untuk mengenal satu sama lain selagi tangan dan jari bergerak lincah menyiapkan bahan makanan. Tak apalah, cermin manusia si makhluk sosial bukan? Biksu dan bikuni pun hanya tersenyum saja mengamati interaksi kami semua.

Ceramah Dharma

Lonceng berbunyi. Tanda mulainya Ceramah Dharma. Di sini tempat biksu atau bikuni memberikan semacam kuliah umum yang mengeksplor emosi dan hubungan manusia. Salah satu yang dibahas adalah bagaimana menghadapi rasa marah, mengolahnya sehingga bisa mengungkapkan perasaan tidak enak ini secara konstruktif, dengan kalimat-kalimat yang tidak emosional melainkan penuh kasih.

Mereka yang suka marah-marah, menggendong energi yang tidak nyaman untuk sekitar ini adalah mereka yang menderita dan tidak tahu cara mengatasi derita ini, makanya biasanya jadi 'nyemprot' sana-sini. Dalam kuliah umum ini, kita diajak menjadi lebih sadar, aware dengan apa yang kita rasakan dan dari mana asal atau akar dari perasaan-perasaan ini.

Relaksasi Total

Setelah makan siang, seluruh peserta mengikut relaksasi total di mana kita tidur terlentang dalam posisi shavasana sambil  memperhatikan nafas kita. Nafas masuk, nafas keluar. Pernafasan ini ditemani petikan gitar instrumental dari seorang biksu, semilir angin dan gemerisik daun. Kalau pun tertidur, tidak masalah. Mungkin itu juga intinya: relaksasi total. Ada yang mendengkur pun tidak apa. Bagi mereka yang sudah terampil meditasi, dengkuran bahkan bisa menjadi bunyi  untuk membantu mereka meditasi.

Dharma Sharing (Sesi Berbagi)

Waktu dimana seluruh peserta berkumpul dengan kelompoknya masing-masing, dipandu seorang bikuni atau biksu, untuk saling berbagi kesan-kesan, pengalaman, atau refleksi mereka terhadap kegiatan *retreat*. Tidak ada yang tabu dalam diskusi ini. Dalam zona ini, apa yang dibagi bersifat konfidensial dan tidak ada penghakiman.

Noble Silence

Dari jam istirahat malam (21.30) hingga setelah sarapan pagi, peserta menjaga keheningan, tidak bicara sama sekali.

Selesai retreat ini, pikiran saya terasa lebih jernih, hati lebih ringan, lebih paham dan sadar tentang diri sendiri dan perasaan-perasaan yang datang dan pergi. Dengan mindfulness, hidup tenang di tengah riuhnya kota Jakarta.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024