“Blok akun yang kamu rasa mengganggu.”
“Mute akun yang menurutmu berisik, tapi jangan di-unfollow, nggak enak."
“Follow akun yang menurutmu pantas di-follow, termasuk follow back.”
“Upload paling bagus pada pagi hari jam sekian atau malam jam sekian.”
Setiap dari kita memiliki ego dalam bermedia sosial. Ada ego untuk menjadikan media sosial sebagai pekerjaan utama, ada ego untuk bisa diterima setiap masyarakat atau netizen, atau ego menjadikan media sosial sebagai album online.
Nah, mari kita coba berbicara mengenai sebuah ego dalam hal yang lekat dalam keseharian kita. Ego dalam bermedia sosial. Saya yakin, kita semua pasti pernah mengalami masa di mana kepuasan kita tercipta dari interaksi media sosial kita. Kita pun ada keinginan menciptakan sebuah tujuan saat mengunggah sebuah foto dan juga caption. Apakah itu adalah ego kita?
Sigmund Freud pernah menuliskan bahwa ego adalah bagian dari kepribadian yang memediasi tuntutan ‘Id’ atau identitas awal, superego, dan kenyataan. ‘Id’ adalah bagian dasar dari kepribadian yang mendorong orang untuk memenuhi kebutuhan mendasar mereka. Superego adalah bagian moralistik dari kepribadian yang terbentuk sejak kanak-kanak dari pola hidup dan pengaruh sosial. Ego lah yang bertugas sebagai pencapai tujuan untuk penyeimbang keduanya. Namun sayang bahwa seringkali superego menjadi dominan jikalau pengaruh lingkungan sosial mendominasi keseharian kita—termasuk media sosial.
Saya, contohnya. Pernah ada momen sekitar dua tahun lalu di mana saya berusaha keras untuk bisa diterima di dunia maya. Segala konten pun saya caplok dan saya relevansikan dengan kepribadian saya. Ada kalanya satu konten ternyata sesuai dengan saya sehingga engagement yang dihasilkan pun baik—kepuasan secara mental pun tercapai. Ada kalanya konten yang jauh berbeda dengan saya, tetap saya paksakan untuk dikaitkan. Hasilnya? Terlalu memaksa. Bahkan saya merasa persona yang ingin saya ciptakan di media sosial tidak berkaitan. Namun hanya karena topik tersebut tengah viral, maka jadilah saya ikuti ego itu. Mengejar viral namun tidak bisa mempertanggungjawabkan—satu hari pun mereka akan lupa siapa yang telah mengunggah. Haus akan eksistensi, itulah candu yang harus segera diobati.
Haus akan eksistensi, itulah candu yang harus segera diobati.
Tidak ada yang salah dalam berlomba membuat konten agar mendapatkan likes atau menjadi viral. Namun bagaimana cara kita mendapatkan ambisi itu yang harus menjadi perhatian. Banyak orang yang akhirnya mengorbankan kenyataan dan kebutuhan dasar, hingga akhirnya terbawa ego.
Sering juga kita dengar detoks media sosial atau membatasi media sosial. Hal itu sangat baik menurut saya. Namun, apakah pembatasan itu bisa diaplikasikan ke semua orang?
Ada memang orang yang tidak terlalu aktif dalam bermedia sosial, sehingga pembatasan itu menurut mereka mudah dilakukan. Namun bagaimana dengan orang yang sudah terikat terlalu ketat pada rutinitas bermedia sosial? Sulit untuk dilakukan. Bahkan hanya dengan mencoba detoksifikasi satu-dua hari—saya menyebutnya baby steps, akan berasa terlalu sulit. Rutinitas yang berkaitan dengan ponsel dan mudahnya akses menuju aplikasi itu membuat gatal jemari kita untuk melihat media sosial.
“Ah, cek barangkali ada kerjaan masuk lewat DM.”
“Eh, dia lagi apa ya? Mantan sama siapa sekarang?”
“Berapa yang likes foto terakhir gue?”
“Dia udah likes foto gue belum, ya? Kalau dia DM gimana dong?”
“Berapa yang follow ya?”
Dan seterusnya hingga detoksifikasi hanya sebatas rencana dan konsep.
Saya percaya ketika kita terlibat dengan FOMO atau Fears Of Missing Out, maka akan tercipta tantrum eksistensi. Sebab itulah yang menjadi pedoman hidup kita. Terlalu terbiasa menyempatkan diri bermedia sosial, bukan bermedia sosial ‘jika’ sempat.
Ketika kita terlibat dengan FOMO atau Fears Of Missing Out, maka akan tercipta tantrum eksistensi.
Selama bertahun-tahun itulah yang terus saya cari solusi untuk mengurangi candu tersebut. Berbagai distraksi seperti menyaksikan Netflix, menyelesaikan buku, dan menulis artikel selalu ada momen dimana saya harus melihat akun Instagram saya. Blessing in disguise, saya tiga kali mengalami pembajakan akun Instagram saya, sehingga saya merasakan momen ‘dipaksa’ cuti media sosial. Perasaan hilang dari peradaban pun saya rasakan, padahal saya tahu kalau saya masih hidup di kehidupan dan rutinitas saya. Sampai hari ketiga saya tidak lagi memikirkan harus unggah konten apalagi, melainkan perasaan ‘ya sudahlah’. Hingga saya memiliki akun lagi, dan saya tertantang untuk melakukan rutinitas media sosial yang sehat. Sampai saat ini beruntung saya masih bisa mengendalikan antara mana konten yang akan saya lihat dan saya unggah, dan berbagi hal konyol.
Berbagai langkah bisa kita lakukan untuk membatasi ego kita dalam bermedia sosial, sehingga sesuai harapan untuk menciptakan lingkungan bermedia sosial pribadi dengan sehat. Sulit memang, gatal rasanya jari ini untuk bisa segera mengakses sosial media. Uninstall? Dengan kemudahan internet bisa dengan cepatnya saya install ulang.
Namun kitalah yang memiliki filtrasi untuk menentukan mana konten yang bisa kita unggah atau kita tahan. Inilah momen dimana ego bisa kita tingkatkan atau kurangi untuk menunjukkan kedewasaan kita dalam bermedia sosial. Saya selalu percaya, sesuatu hal yang dilakukan berlebihan akan menghasilkan penumpulan ego dan pengurangan kemampuan filtrasi diri. Identitas asli kita akan hilang, tertutup oleh citra yang terlanjur kita buat. Sampai kapan akan bertahan?
Sesuatu hal yang dilakukan berlebihan akan menghasilkan penumpulan ego dan pengurangan kemampuan filtrasi diri. Identitas asli kita akan hilang, tertutup oleh citra yang terlanjur kita buat.
Kita sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berinisiatif untuk membuat perubahan dalam diri kita. Ketika itu sudah tercapai lalu apa yang harus kita lakukan? Konsistensikan langkah pendewasaan itu. Pertahankan keseimbangan ego untuk bisa bersikap secara obyektif.
Oke, tidak usah kita terlalu memusingkan sebuah konsep ego dalam media sosial lagi. Coba kita tilik lagi momen ketika kembali kita akses sosial media. Apa yang kamu lakukan? Langsung scrolling? Cek likes dan followers baru? Atau langsung cek Story orang lain? Atau Direct Message?
Atau kamu seperti saya? Gatal ingin unggah foto baru, namun memikirkan apakah foto ini sesuai dengan citra saya. Tidak ada yang salah di sana, sekali lagi kita mengerti yang terbaik untuk kita. Terlalu sibuk mengikuti konten yang tengah viral lalu mengikutinya untuk mendapatkan atensi dan popularitas, tidak salah. Berkreasi semaksimal mungkin untuk mendapatkan atensi publik bahwa orisinalitas ada di diri kita, tidak salah juga. Namun bagaimana dengan diri kita. Apakah kepuasan yang tercapai betul membuat bahagia diri kita?
Apakah kepuasan yang tercapai betul membuat bahagia diri kita?