Meski tak ada peperangan, hari-hari belakangan ini, terasa sekali bagaimana kita seperti terbelah menjadi kubu-kubu bermusuhan yang setiap saat selalu punya peluru untuk ditembakkan ke lambung lawan. Ironisnya, peperangan yang membuat teman, atau bahkan keluarga kita berada di posisi musuh, sesungguhnya bukan peperangan murni yang kita mulai dan miliki. Kubu-kubu itu tercipta atas nama keyakinan dan pilihan. Kita, seperti pula mereka yang menjadi musuh, sama-sama yakin bahwa keyakinan dan pilihan kitalah yang paling benar.
Di luar itu, kita pun mungkin saja menghadapi peperangan dan permusuhan yang bersifat personal. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tak jarang permusuhan itu berumur lebih dari tujuh turunan. Terlalu sia-sia sebenarnya. Tapi adakah yang sia-sia bila kita berhadapan dengan sesuatu yang kita sebut sebagai pembelaan dan perjuangan mempertahankan kehorman dan harga diri? Tak ada yang terasa sia-sia meski jauh di dalam hati, kita sebenarnya tahu bahwa apa yang kita lakukan dengan terus merawat permusuhan itu memang hanya sia-sia belaka.
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah kita memaafkan dan berdamai dengan mereka yang kita anggap sebagai musuh? Jawabannya tentu saja mungkin. Bisa. Bukankah semua agama dan kepercayaan selalu mengatakan demikian? Kunci memaafkan sebenarnya ada di tangan kita. Bagaimana cara menggunakannya?
Lepaskan Kemelekatan Pada Diri Sendiri
Rasa amarah dan benci amat mudah singgah manakala kata “musuh” melintas di benak kita. Jangan biarkan perasaan itu menguasai dan menggerakkan reaksi yang kita lontarkan. Bila perasaan itu datang, usahakan menghentikannya. Mengingat rasa marah dan benci akan terus melekat pada setiap ingatan tentang orang tersebut dan kita tak bisa menghentikannya, hal yang paling mungkin kita lakukan adalah menghentikan pikiran kita untuk hentikan diri kita. Amati dan berhati-hati dengan perasaan tersebut. Saat perasaan itu muncul, berusahalah melepaskan diri dari pikiran kita sendiri. Menarik napas panjang – bila perlu lepaskan dengan sedikit hentakan, dan berdiam diri sejenak, biasanya cukup ampuh untuk memberi sedikit ruang bagi pikiran untuk berhenti sebelum kita alihkan perhatian pada hal lain.
Berusaha Melihat Dari Sudut Pandangnya
Meski sulit, berusahalah memakai “sepatunya” untuk melihat persoalan. Bayangkan bila kita adalah dia, apa yang akan kita rasakan dalam hati, bagaimana musuh kita bisa menjadi seperti dirinya saat ini. Pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki “pertempuran”nya sendiri, masih sangat mutlak untuk diyakini. Bahwa tak ada orang yang benar-benar baik dan benar-benar buruk pun adalah fakta yang sulit disangkal kebenarannya. Maka, cobalah berusaha memakai sepatu dan topi musuh kita, agar kita bisa sedikit memahami apa yang ia alami, meskipun kita tak ingin, dan memahaminya sama sekali tak penting.
Menerima Membuat Hati Kita Nyaman
Sama seperti poin pertama, menjadikan diri kita sebagai poros utama dalam permasalahan akan membuat kita jauh lebih nyaman menghadapi sebuah permusuhan. Bila kita tak punya kuasa untuk mengubah pendapat dan sikap musuh, kita selalu punya kuasa untuk mengubah pendapat dan sikap kita terhadap persoalan kita dengannya. Menerima permasalahan – meski bukan kita yang bermasalah, akan lebih meringankan hati ketimbang kita memaksa keadaan berubah sesuai keinginan kita. Biarkan saja perbedaan dan permusuhan dianggap ada olehnya. Kita, sebagai poros dalam persoalan ini, sangat bisa tak bersepakat dan memiliki pendapat yang berbeda dengannya. Kita tak harus menanggapi permusuhan dan manuver-manuvernya yang menyebalkan. Abaikan saja musuh yang terus memancing amarah kita. Kita adalah tuan dari diri dan kedamaian kita sendiri.
Maafkan Dan Biarkan Masa Lalu Pergi
Bisa saja kita sulit benar-benar untuk memaafkan orang yang menyakiti kita. Tapi dari banyak pengalaman, pada satu titik, kita bisa saja, tanpa kita tahu kapan dan bagaimana caranya, tiba-tiba saja tak lagi merasakan amarah dan kebencian yang terlalu menggebu-gebu seperti sebelumnya. Fakta yang terpaksa harus diterima bahwa kita memang tak bisa mengubah masa lalu dan berlalunya waktu, memang seringkali jadi obat yang menyembuhkan perasaan. Terima dan berdamailah. Sebab, sekali kita bisa berdamai dengan masa lalu, kita akan memiliki kemampuan yang sama untuk melakukannya lagi dalam kondisi yang berbeda.
Temukan Hal Yang Kita Sukai Darinya
Alih-alih berkutat dengan rasa marah dan benci, cari dan temukan hal-hal yang membuat kita bisa tertawa dan –mungkin bisa pula- mengasihi orang tersebut. Misalnya saja pada kebiasaannya membuat lelucon-lelucon garing yang membuat semua orang tertawa, atau kebiasaannya membantu orang dan mengabarkan betapa gembiranya dia melakukan itu. Lagi-lagi, meskipun tak mudah, tapi dengan latihan yang terus menerus, kita akan menemukan hal yang bisa membuat kita mengasihinya.
Lihat Musuh Kita Seperti Kita Melihat Diri Sendiri Atau Orang Yang Kita Cintai
Bila melakukan langkah-langkah di atas terasa sulit, tak ada jalan lain selain memposisikan mereka seperti diri kita sendiri, atau orang yang kita sayangi.
Buka Hati, Rangkul Mereka
Terdengar tak mungkin, tapi banyak orang dapat melakukannya. Hati kita memang memiliki kecenderungan untuk menutup pintunya bagi orang lain, sebagai sebuah bentuk perlindungan diri. Kondisi ini bersifat mekanis, seperti sensor yang dimiliki oleh daun putri malu yang segera menutup saat tersentuh. Hati kita akan melakukannya manakala sinyal rasa takut akan kesedihan, perasaan tertolak dan tersakiti dikirimkan oleh otak. Mekanisme seperti ini yang kerap kita alami manakala memikirkan musuh. Rasa tak suka atas sikapnya, membuat kita menutup hati dan membatasi kemungkinan yang bisa hati kita lakukan, seperti memaafkan. Buatlah hal ini menjadi tantangan yang menarik untuk ditaklukkan. Perlu latihan yang gigih dan berkelanjutan. Mungkin kita bisa melakukan latihan ini dengan mencoba merangkul “mantan” musuh kita menjadi teman baik.