Terkadang tajamnya komentar dan sangarnya perbuatan orang lain bisa menjadi hal yang menyakitkan karena tak ada yang tahu kekuatan hati seorang manusia. Ada yang dilahirkan dengan hati tebal sekeras baja, ada pula yang dianugerahi hati mudah rapuh seakan terbuat dari kaca. Setiap insan memang berbeda. Karenanya bagaimana hati kita menerima itu semua menjadi beragam. Ada yang bisa memaafkan, namun ada yang sebaliknya memendamnya dalam-dalam hingga menggumpal menjadi dendam.
Bagi yang hatinya seakan tertempel label “Fragile. Please Handle Carefully”, rasa sakit akan begitu membekas. Bukan hanya sehari dua hari – mungkin bahkan hingga dibawa mati. Tak jarang kita berharap dendam dalam hati ini bisa menguap begitu saja. Hilang ditelan awan. Hingga kita bisa lebih lega menjalani hidup tanpa harus menanggung perasaan. Namun nyatanya, kebanyakan dendam justru menggenang laksana kubangan sisa air hujan di langit-langit rumah yang menanti seberapa kuat plafon mampu bertahan.
Saat tersakiti, tidak mungkin kita menyalahkan Tuhan yang memberi hati tipis yang mudah luka ini. Yang ada, seharusnya kita belajar – menggunakan kemampuan pikiran – untuk bisa mencoba melapangkan dada dan berusaha menerima karena dendam sama sekali tidak membuat kita lebih baik ataupun menyembuhkan luka-luka lama. Menyimpan dendam tak ubahnya seperti menjadikan kisah pahit sebagai sebuah obyek yang kita simpan dan koleksi. Sebuah cara pengingat bagi diri sendiri dan orang lain atas kesakitan-kesakitan yang telah kita rasakan.
Nyatanya, dendam tidak lah berhubungan dengan hati. Meski terlahir dari sebuah rasa sakit, dendam justru dibangun di dalam kepala. Ia bukanlah sebuah rasa – dendam adalah sebuah pemikiran. Dendam kemudian lebih sering bermetamorfosa menjadi sebuah pola pikir yang kemudian menutup rasa empati kita dalam hati dan membutakan diri. Mengubah manusia yang sebelumnya seakan lemah tersakiti menjadi figur antagonis nan keji.
Sebelum jatuh terjerat pada keinginan membalaskan perbuatan kepada mereka yang menyakiti, baiknya mengingat bahwa ada jalan lain untuk terlepas dari gemuruh jiwa ini.
Jalan keluar untuk terbebas dari dendam bukanlah dengan mendapatkan kata maaf dari mereka yang telah menyakiti. Ya, meski mungkin itu akan cukup mengobati. Sesungguhnya yang terpenting adalah dengan berdamai dengan masa lalu dan memaafkan diri sendiri.
Pada praktiknya, semudah mencari ruangan yang sepi seperti kamar tidur dan duduklah serta menyendiri. Ingat dan rasakan situasi yang terjadi saat luka itu ditorehkan oleh mereka dalam hati kita. Rasakan kembali emosi-emosi yang timbul dalam diri. Tak apa untuk menangis dan berteriak, karena sesungguhnya kita terlalu sering memendam rasa sakit hanya agar kita dapat menjalani hari-hari seperti biasa. Karena sesungguhnya, tangisan bisa meleburkan rasa sakit itu dalam diri dan membuangnya lewat tetes-tetes air mata.
Saat kita mencoba merasakan kembali pedihnya rasa sakit itu, mungkin kemudian kita akan bertanya, "Lho? Kenapa malah harus mendatangi rasa itu lagi?" Jika dulu perasaan tersakiti itu datang dengan tiba-tiba dan jiwa kita seakan tak siap menerimanya. Kini saatnya kita merasakan kembali namun dengan pola pikir yang berbeda. Datangi rasa itu dengan jiwa ksatria, dengan hati lapang yang dapat menjadi obat bagi luka dalam diri.
Untuk melepaskan dendam yang terpendam, kita harus menjauhkan fokus dari sosok yang telah menyakiti kita dan beralih pada diri sendiri dengan merasakan keadaan saat ini. Dengan mencoba menerima kenyataan yang kita jalani sekarang – menggeser atensi dari sebab menjadi akibat – kita akan lebih paham dan mengenali diri sendiri. Perlahan, coba bangun perasaan sayang pada diri yang kemudian akan menjadi obat bagi dendam. Karena sesungguhnya, yang diinginkan oleh dendam hanyalah sebuah rasa kasih sayang.