Siapa di sini yang suka ga sabaran, ngaku! Kali ini kita bahas soal kesabaran yuk!
Selama dua tahun belakangan kesabaran kita benar-benar diuji. Apalagi buat kamu yang berduka karena ditinggalkan oleh orang terkasih. Saya sudah bahas soal berduka di salah satu video Lesson Learned.
Sekarang, konteks sabar di sini adalah sabar menunggu. Kita harus menunggu vaksin Covid diproduksi dan didistribusikan, setelah itu nunggu giliran buat divaksin, dan nunggu untuk bisa kumpul lagi dengan keluarga. Tentunya banyak hal terjadi dalam kehidupan kita, tapi seringkali satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah sabar menunggu.
Bagi saya, sabar tuh nggak gampang. Kayanya semakin canggih teknologi, semakin kita nggak sabaran deh. Contohnya, sebelum ada Netflix, kita perlu nunggu seminggu buat nonton episode terbaru dari serial favorit. Anak-anak milenial atau generasi 90-an pasti pernah ngalamin ini kan? Sekarang kalau nunggu buffering lebih dari dua detik aja, rata-rata penonton video online akan meninggalkan videonya atau buka video lain (Krishnan & Sitaraman, 2013).
Bagi saya, sabar tuh nggak gampang. Kayanya semakin canggih teknologi, semakin kita nggak sabaran deh.
Nah, menurut psikolog Sarah Schnitker, ada tiga jenis kesabaran (Schnitker, 2012):
-
Interpersonal patience, contohnya sabar dalam menghadapi orang lain.
-
Daily hassle patience, contohnya sabar menghadapi internet yang lelet
-
Life hardship patience, contohnya mampu menunggu dan bersabar mengahadapi cobaan yang berat.
Berdasarkan risetnya, semakin tinggi tingkat kesabaran berhubungan dengan kualitas kesehatan mental yang lebih baik, bisa menghadapi permasalahan lebih baik, tingkat depresi yang lebih rendah, dan lebih sedikit masalah kesehatan.
Tiap orang kan beda-beda, ya, ada yang emang sabaran ada juga yang tidak. Tapi tingkat kesabaran juga tergantung situasi dan kondisinya. Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi tingkat kesabaran adalah persepsi mengenai waktu. Contohnya kita sering pesan makanan online dari tempat yang sama dan biasanya dalam waktu 30 menit makanan udah sampai. Tapi kalau lebih dari 30 menit belum sampai juga kita jadi nggak sabaran kan? Apalagi kalau lagi lapar. Kalau kita tau alasan di belakang keterlambatannya, itu membantu kita untuk bisa menunggu lebih lama tanpa frustrasi alias bisa maklum (Thompson, Yarnold, Williams & Adams, 1996).
Kadang kita jadi cemas karena menunggu, misalnya nunggu hasil interview kerja atau nunggu buka puasa bagi yang menjalankan. Nah, ketika kita cemas karena menunggu membuat kita memusatkan perhatian pada proses menunggunya alhasil membuat waktu terasa berjalan semakin lambat (Maister, 1984).
Apa yang terjadi di otak ketika menunggu?
Menunggu berkaitan dengan self-control, yaitu kemampuan untuk mengelola dorongan, emosi, dan perilaku. Self-control ini berkaitan dengan aktivitas di prefrontal cortex dan anterior cingulate cortex (McClure, Laibson, Loewenstein, & Cohen, 2004).
Aktivitas penting lain di otak yang berkaitan dengan kesabaran adalah neurotransmitter serotonin. Serotonin berkaitan dengan mood atau suasana hati, tapi memiliki peranan penting untuk ngerem perilaku impulsif. Jadi, bisa nggak sih jadi lebih sabar? Bisa dong! Caranya adalah dengan mengubah cara pandang kita. Situasi yang membuat kita frustrasi, kita lihat sebagai kesempatan. Teknik ini disebut dengan cognitive reappraisals atau reframing (Schnitker, 2012).
Jadi, kalau kita meyakinkan diri kalau bersabar itu baik untuk kesehatan mental atau kamu percaya kalau orang sabar disayang Tuhan. Ketika kamu harus bersabar dan menunggu, kamu jadikan kesempatan tersebut untuk pengembangan diri kamu.
Contoh lebih praktis, daripada bengong di perjalanan ketika naik kereta atau bus atau lagi jalan kaki, waktu tersebut bisa dipake buat dengar audiobook atau podcast, baca, atau ambil online course. Buat saya pribadi teknik ini sangat membantu, karena ada banyak faktor eksternal yang di luar kendali kita kan?
Referensi:
Krishnan, S. S., & Sitaraman, R. K. (2013). Video stream quality impacts viewer behavior: inferring causality using quasi-experimental designs. IEEE/ACM Transactions on Networking, 21 (6), 2001-2014
Thompson, D. A., Yarnold, P. R., Williams, D. R., & Adams, S. L. (1996). Effects of actual waiting time, perceived waiting time, information delivery, and expressive quality on patient satisfaction in the emergency department. Annals of emergency medicine , 28 (6), 657–665. https://doi.org/10.1016/s0196-0644(96)70090-2
Schnitker, S. A. (2012). An examination of patience and well-being. The Journal of Positive Psychology , 7 (4), 263-280.
Maister, D. H. (1984). The psychology of waiting lines . Boston: Harvard Business School.
McClure, S. M., Laibson, D. I., Loewenstein, G., & Cohen, J. D. (2004). Separate neural systems value immediate and delayed monetary rewards. Science , 306 (5695), 503-507.