Jujur, berapa kali kamu memutuskan beli barang secara impulsif karena lagi diskon?
Membuat atau mengambil keputusan itu susah-susah gampang.
Nggak ada satu detik pun dalam keseharian di mana kita tidak harus mengambil keputusan. Mulai dari memutuskan nasi uduk atau bubur kacang hijau buat sarapan, pilihan jurusan kuliah dan karir, sampai keputusan untuk melajang atau hidup dengan pasangan.
Dalam mengambil keputusan, tentunya tiap orang akan berbeda-beda. Kita ambil contoh kopi, deh. Ada yang suka kopi tubruk dan ada yang suka cappuccino. Lalu alasan seseorang minum kopi pun berbeda. Ada yang memang karena ingin melek karena mengantuk atau sekadar ingin menghangatkan tubuh ketika sedang dingin.
Memilih dan mengambil keputusan bisa melelahkan juga menghabiskan energi dan waktu. Makanya saya mulai mengadopsi gaya hidup minimalis dan decluttering secara rutin. Intinya sih saya mau mengalokasikan energi saya untuk membuat keputusan besar atau penting. Bukan sekadar memilih baju apa yang akan dipakai atau foto mana yang mau dipost dan jam berapa supaya banyak dapat like. Bagi saya ini tidak penting, tapi tentunya bagi para influencer, hal ini sangat penting. Kembali lagi, apa yang penting dan menjadi prioritas bagi tiap orang kan berbeda-beda.
Saya rasa dengan mengurangi beban pengambilan keputusan dalam sehari-hari untuk hal yang tidak relevan dengan tujuan, memudahkan saya untuk membuat keputusan besar dalam hidup. Karena saya merasa benar-benar bisa fokus dan bisa mempertimbangkannya lebih matang. Seperti ketika memutuskan untuk meninggalkan kehidupan saya di Jakarta demi melanjutkan studi di Inggris untuk menekuni bidang neurosains. Pada saat itu saya masih sok aktif di Instagram, sekarang saya agak menyesal sih. Karena setelah dipikir-pikir, waktu saya terbuang buat tahu informasi yang kebanyakan nggak penting-penting amat. Dan bagi saya pribadi, karena selalu melihat dan tahu apa yang teman atau keluarga lakukan dalam hidupnya, saya jadi nggak kangen-kangen amat dan kayak nggak ada elemen kejutannya lagi ketika ngobrol atau bertemu. Itu bagi saya loh yaa...
Saya rasa dengan mengurangi beban pengambilan keputusan dalam sehari-hari untuk hal yang tidak relevan dengan tujuan, memudahkan saya untuk membuat keputusan besar dalam hidup.
Nah fungsi kognitif yang satu ini melibatkan bagian lobus frontal dari otak, khususnya orbitofrontal cortex yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pemrosesan emosi. Berbicara soal peran dari bagian-bagian otak, untuk berfungsi optimal tiap bagian otak harus saling berinteraksi satu sama lain, jadi tidak ada yang berdiri sendiri.
Dalam pengambilan keputusan, kondisi emosi sangat berpengaruh. Secara garis besar, emosi memengaruhi kognisi.
Ada dua hal yang akan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan, estimasi seberapa besar kemungkinan sesuatu akan terjadi, dan estimasi nilai dari hasil keputusan yang kita ambil (outcome). Contohnya, kalau kita dikasih kado barang yang persis sama dengan yang sudah kita punya, nilai dari produk tersebut jadi rendah kan? Bukannya nggak menghargai pemberian orang lain ya, tapi tentu berbeda halnya kalau barang yang diterima adalah barang yang kita butuh dan belum dimiliki. Atau meskipun kemungkinan terjadi kecelakaan lalu lintas kecil, tapi karena konsekuensinya besar, makanya nilai untuk pakai sabuk pengaman jadi tinggi alias penting banget.
Ada dua hal yang akan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan, estimasi seberapa besar kemungkinan sesuatu akan terjadi, dan estimasi nilai dari hasil keputusan yang kita ambil (outcome).
Kita, manusia, yang memiliki akal dan pikiran, sayangnya tidak selalu rasional dan logis dalam mengambil keputusan, contohnya dalam konteks sebagai konsumen dalam berbelanja. Sebuah studi melibatkan partisipan di mana mereka diminta untuk mencicipi wine dan menilai kualitas rasanya. Ketika diberi tahu bahwa wine yang dicicipi harganya mahal, aktivitas di orbitofrontal cortex lebih tinggi dan sensasi kenikmatannya pun meningkat, berbeda ketika diberi tahu bahwa harga wine-nya murah. Padahal sih wine-nya sama.
Studi seperti ini disebut neuroekonomi, bidang ilmiah yang masih sangat muda gabungan antara ekonomi, psikologi dan neurosains. Tujuan dari neuroekonomi adalah untuk mempelajari pengambilan keputusan manusia dengan fokus perhatian pada mekanisme yang terjadi di otak.
Karena pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kondisi emosi. Jadi kita harus bisa mengelola emosi lebih baik supaya bisa mengambil keputusan dengan lebih baik pula.
Karena pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kondisi emosi. Jadi kita harus bisa mengelola emosi lebih baik supaya bisa mengambil keputusan dengan lebih baik pula.
Pasti kamu pernah kan buat keputusan yang kamu sesali? Sama! Tapi jangan kelamaan disesali dan malah jadi overthinking dengan sesuatu yang sudah terjadi. Dijadikan pelajaran agar tidak terulang dan hadapi konsekuensinya. Waktu kan nggak bisa diputar Kembali ya. Zaman saya ABG dan lagi malas-malasnya belajar, Bapak saya pernah bilang, “Waktu kalau sudah hilang, nggak bisa dicari lagi, meskipun hanya satu detik”.
Semoga keputusan kamu untuk nonton video ini sampai akhir tidak kamu sesali, ya.
Saya Trisa Triandesa, sampai jumpa di video Lesson Learned lainnya!
Zaman saya ABG dan lagi malas-malasnya belajar, Bapak saya pernah bilang, “Waktu kalau sudah hilang, nggak bisa dicari lagi, meskipun hanya satu detik”.