Pada telapak kaki yang dilangkahkan dengan penuh kesadaran, tak jarang kita menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dapat diuraikan oleh pikiran.
Saat saya masih kecil dan kalimat mensana in corpore sano – di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat - begitu populer didengungkan sebagai slogan kesehatan. Berolahraga kemudian menjadi sebuah ritus yang jarang ditinggalkan. Memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat, adalah slogan lainnya tentang kesehatan, yang membuat Senam Pagi Indonesia menjadi agenda wajib mingguan di sekolah-sekolah dan berbagai instansi pemerintah. Badan Usaha Milik Negara, dan kadangkala juga instansi-instansi swasta, juga menjadikan olahraga sebagai agenda mingguannya.
Hari Jumat, biasa dijuluki hari krida, di mana semua orang akan datang ke sekolah atau kanornya dengan mengenakan pakaian olahraga, menghabiskan dua atau tiga jam pertamanya di sekolah dan kantor pada hari itu dengan melakukan senam pagi disambung berlatih olah raga lain seperti bola voli, bulutangkis atau tenis meja. Sehat tubuh diharapkan memperkuat jiwa. Begitu katanya. Apakah demikian hasilnya, saya tak pernah benar-benar tahu jawabannya. Saya hanya ikut meyakininya saja.
Di antara olahraga-olahraga yang semakin jarang saya lakukan sejak mulai kuliah, jalan kaki menjadi olah raga yang masih kerap saya lakukan hingga hari ini. Tak selalu pagi hari selama setengah jam yang menurut banyak pakar kesehatan baik bagi kesehatan, melainkan kapan saja saya bisa melakukannya. Saya suka berjalan kaki dan cukup kuat berjalan jarak jauh, meski pun kadangkala cepat lelah juga bila jalannya terjal mendaki. Tapi saya selalu menyukai aktivitas berjalan kaki.
Semakin bertambah usia, saya menemukan, bahwa jalan kaki ternyata bukan hanya aktivitas raga semata. Aktivitas sederhana itu nyatanya adalah juga sebuah laku spiritual yang patut ditakzimi. Pada tiap ayunan langkah kaki yang kita sadari, terdapat sebuah hubungan yang sangat intim antara kita dengan diri sejati, dan juga ibu bumi yang kita tapaki.
Mindful walking. Berjalan dengan penuh kesadaran. Begitu biasanya istilah yang digunakan. Saya mulai berkenalan dengan istilah dan praktik mindful walking itu saat mulai berlatih meditasi pada 2003. Dalam latihan-latihan meditasi yang saya terima, ada kalanya latihan berjalan diselipkan oleh guru meditasi saya di Energi Prana Kasih, komunitas meditasi pertama yang saya ikuti.
Mulanya saya merasa aneh dengan laku tersebut. Berjalan kaki kenapa perlu disadari? Bukankah berjalan adalah cara kita mencapai sebuah tujuan? Tapi, bukankah kita memang membutuhkan kesadaran penuh untuk mencapai sebuah tujuan? Sementara, kadangkala, kita seringkali melakukan segala sesuatu yang telah menjadi rutin secara auto-pilot, tanpa disadari seperti sesosok robot yang menjalani segala perintah yang telah diprogramkan.
Berjalan kaki dengan kesadaran, terlebih bila dilakukan sendirian, jadi latihan yang baik bagi saya untuk kembali menghubungkan si robot itu dengan diri sejati. Saat itulah, saya biasa berdialog dengan hati. Pikiran saya memang tetap saja mengembara ke mana-mana. Ke persoalan-persoalan yang mengantri untuk dipikirkan, ke pekerjaan-pekerjaan yang belum terselesaikan, ke percakapan-percakapan yang mengambang dalam tanya dan sebagainya. Tapi biasanya, saat berjalan sendiri, hati saya selalu menemani berbincang. Memberi jawaban atas pertanyaan, atau bahkan teguran keras untuk menerima dan menjalani sesuatu yang ingin saya ingkari. Tak jarang, berbagai emosi silih berganti terasa mengambang di wajah saya. Kadang hangat di mata, dingin di pipi, kelu di bibir terasa tanpa saya perlu melakukan apa-apa selain terus melangkahkan kaki dan kembali merasakan tapak kaki saya menyentuh permukaan jalan.
Dalam banyak keyakinan, berjalan kaki tampaknya memang diakui sebagai sebuah laku spiritual yang memiliki banyak manfaat. Ketika berjalan kaki, kita acap menemukan kepingan-kepingan pemikiran atau rasa yang terselip dan membuat kita merasa ada sesuatu yang tak genap. Kita juga bisa merasa lebih terhubung dengan bumi. Tak jarang, kita juga menemukan keyakinan diri tetang banyak hal yang kita ragukan, menemukan pemecahan masalah untuk persoalan yang sedang jadi ganjalan, selain tentu saja kesehatan dan penyembuhan karena terjadinya gerakan fisik yang membuat otot-otot di tubuh kita bergerak dan membuat peredaran darah menjadi lebih lancar.
Mungkin itu sebabnya, ada banyak sekali laku spiritual dalam berbagai agama yang melibatkan prosesi berjalan kaki. Tawaf atau berjalan mengelilingi Ka’bah dalam ibadah haji dalam Islam, prosesi berjalan kaki dalam ritual the Camino Santiago de Compostela yang banyak dilakukan para peziarah Katolik, juga laku berjalan kaki yang dipraktikkan dalam ritual agama Buddha dan Hindu, misalnya. Begitu pula suku-suku asli yang amat akrab dengan berjalan kaki seperti masyarakat Baduy yang mampu menempuh jarak fantastis. Saya sendiri selalu menikmati kesempatan berjalan kaki sambil membiarkan pikiran dan hati saya berbincang, atau sesekali saling berbantahan secara jujur. Saya percayakan slogan mensana in corpore sano pada kedua kaki. Seringkali, saya harus mengucapkan terima kasih pada mereka –kedua kaki saya- setelah beberapa saat berjalan. Sebab bukan hanya tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat yang saya dapat, tapi juga jawaban dan pemecahan untuk persoalan-persoalan yang tengah saya pikirkan.