Pada artikel ini, mari kita bahas mengenai tekanan internal yang timbul dari dualitas subjek dan objek. Bayangkan ketika kita menatap sebuah gunung, misal Gunung Merapi. Kita akan merasakan bahwa gunung itu sebagai sebuah objek yang berada di sana sementara diri kita adalah subjek yang berada di sini. Terasa ada jarak, ada pemisahan. Kita merasa berhadap-hadapan dengan gunung tersebut.
Apabila kita cermati lebih lanjut sebetulnya yang terjadi di medan pandangan kita pada dasarnya hanya berupa gambar gunung (tentu saja lengkap beserta semua elemen di sekitarnya seperti pepohonan, sawah, parit, jalan, lalu lintas, langit, awan, burung-burung, matahari, dan lain-lain). Itu saja kenyataan yang terjadi yaitu cuma ada sebuah gambar yang terjadi di layar pandangan kita.
Namun, ketika kita mulai "mengobjektifikasi" gunung itu, artinya ketika kita melihatnya sebagai sebuah objek (dengan demikian diri kita menjadi subjek), maka tiba-tiba kita merasakan sebuah perasaan pemisahan. Ada perasaan bahwa kita berada di sini yang sedang memandang Gunung Merapi yang berada di sana. Tiba-tiba terasa menjadi ada dua pihak, yakni aku di sini dan si gunung di sana.
Rasa keterpisahan ini, rasa pertentangan antara subjek dan objek, akan semakin kuat bilamana objeknya adalah sesuatu yang memicu gejolak emosi dalam diri kita. Misalnya kecoak, atau seorang pengendara yang nekat memotong jalur kita ataupun sesuatu yang memikat hati.
Rasa keterpisahan ini, rasa pertentangan antara subjek dan objek, akan semakin kuat bilamana objeknya adalah sesuatu yang memicu gejolak emosi dalam diri kita.
Dalam praktik meditasi, kita belajar mengenali dan mengelola rasa keterpisahan ini.
Kecenderungan kita untuk mengobjektifikasi tidak hanya terbatas pada gunung, kecoak atau pengendara yang memotong jalur. Ironisnya, kita bahkan cenderung mengobjektifikasi tubuh, pemikiran-pemikiran, dan emosi-emosi kita sendiri.
Ironisnya, kita bahkan cenderung mengobjektifikasi tubuh, pemikiran-pemikiran, dan emosi-emosi kita sendiri.
Kita mengatakan, "Ini adalah tubuhku, pemikiran-pemikiranku, emosiku." Dalam hal ini berarti kita memperlakukan tubuh, pemikiran, dan emosi kita sebagai objek dan seolah-olah ada aku sebagai agen yang terpisah sebagai subjek pemilik objek. Modus ini menciptakan rasa keterpisahan yang pada gilirannya menyebabkan ketegangan.
Tidak mengherankan bahwa kita sering merasa stres, gelisah, cemas dan tertekan di kebanyakan waktu. Baik saat terjaga maupun saat tidur, pikiran kita selalu mengandung perasaan pemisahan yang kronis — perasaan berhadap-hadapan, pertentangan, dan bahkan konflik.
Isu ini amat tidak lazim atau bahkan belum pernah dibahas di masyarakat kita sehingga orang-orang tak menyadarinya. Ironisnya justru modus ini malah yang dianggap sebagai "normal."
Namun, ketika kita mulai berlatih meditasi dengan metode yang efektif dan pernah merasakan mereda atau menghilangnya tekanan internal, maka kita pun akan mulai menyadari, "Ah, selama ini apa yang dianggap normal ternyata sesungguhnya adalah sangat tidak normal!"
Mungkin Anda ingin mencoba eksperimen berikut: saat melihat sesuatu, misalnya gunung, coba melihat tanpa "mengobjektifikasi." Cobalah untuk sekedar mengizinkan mata Anda "melihat" tanpa menambahkan interpretasi apapun. Artinya ketika Anda melihat maka Anda sekedar melihat.
Bagaimana perbedaan perasaannya ketika Anda mengubah sikap dalam cara melihat ini?
Selanjutnya, Anda bisa juga mencoba menerapkan sikap yang sama pada tubuh, pemikiran, dan emosi Anda.
Apa efek pengalamannya?
Semoga pengalaman latihan ini bisa memberi suatu perspektif baru bagi Anda.