Bicara tentang kesehatan mental, masih banyak sekali orang di masyarakat kita yang belum percaya bahwa seseorang bisa memiliki gangguan mental. Akhirnya, orang-orang yang mengalami hal tersebut enggan untuk menceritakan apa yang dirasakan dan memendamnya sendiri. Padahal ia sangat membutuhkan pertolongan untuk keluar dari kemelut benaknya.
Saya telah bergulat dengan depresi sejak masih di usia 14 tahun. Sayangnya, orang tua saya bukanlah individu yang akrab dengan isu kesehatan mental. Ketika saya remaja dan merasa ada yang salah dengan diri, mereka kurang menanggapi dengan serius. Bahkan ketika itu saya sempat berada dalam fase yang amat gelap. Entah secara sadar atau tidak, saya menyakiti diri sendiri karena pikiran-pikiran yang mengganggu. Saat orang tua mengetahuinya, mereka pikir saya hanya mencari perhatian saja dan sejak itu saya merasa depresi yang dialami semakin buruk.
Rasanya sejak kecil hingga masa remaja, saya tidak pernah menjadi seorang anak yang ceria. Hingga sekarang, saya masih merasa memiliki gangguan kecemasan sosial atau social anxiety. Inilah yang terus hidup dalam diri saya sampai dewasa. Gangguan kecemasan sosial yang berujung pada frustasi dan depresi mempersulit saya untuk mencintai diri sendiri. Untuk bangun dari tempat tidur saja, terasa sulit sekali. Terkadang, saya tidak bisa berpikir jernih. Semuanya terasa buram. Yang saya tahu adalah setiap kali merasa benci dengan diri sendiri, meragukan kemampuan diri, saya ingin melepaskannya dengan menyakiti diri sendiri. Kerap kali saat momen itu datang, saya merasa layak dan pantas mendapatkanya. Entah mengapa. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, tapi seakan ada sensasi yang berujung pada kelegaan setiap kali saya merasakan luka.
Saya telah melakukan berbagai macam cara untuk tidak lagi mengulangi itu. Mulai dari mencoba olahraga, konsumsi asupan sehat, hingga pergi ke praktisi kesehatan mental. Pada satu titik, itu semua tidak berhasil. Saya tetap merasa ingin menyakiti diri sendiri. Hingga suatu waktu, saya pernah mencoba mengakhiri hidup. Kala itu saya merasa tidak lagi sanggup berada di dunia ini. Namun setelah melihat mama saya menangis karena tahu saya mencoba mengakhiri hidup, saya mulai luluh dan mencoba untuk memperbaiki keadaan. Sejak itu, yang bisa membuat saya mengurungkan niat untuk menyakiti diri adalah adegan mama menangis tak karuan. Itu pula yang mungkin membuat saya bertahan hingga sekarang.
Menceritakan ini, mungkin sebagian orang akan berpikir saya tidak mensyukuri apa yang telah saya miliki. Tapi tidaklah demikian. Saya bersyukur memiliki orang-orang yang menemani perjalanan hidup saya, bersyukur masih memiliki atap yang melindungi dari panas dan hujan, masih memiliki pekerjaan dan mimpi untuk suatu hari menjadi penulis skenario dan sutradara. Saya tahu benar tidak seharusnya saya komplain atau mengeluh tentang hidup. Saya pun tahu di luar sana masih banyak orang-orang yang berada dalam kondisi lebih buruk dari saya. Mungkin saya hanya butuh waktu untuk memahami apa yang terjadi pada diri sendiri.
Belakangan, saya kembali menemui ahli kejiwaan dan itu sangatlah membantu. Namun saya masih menyayangkan masih banyak orang yang tidak percaya pada adanya gangguan kesehatan mental. Terutama di Jakarta. Saya tahu ketika orang-orang melihat goresan luka di sekujur tangan, mereka pasti ingin bertanya atau justru membicarakannya di belakang saya. Buktinya, goresan-goresan tersebut telah memengaruhi pekerjaan saya. Ini berarti kesehatan mental belum dapat dibicarakan dengan leluasa.
Masih banyak stigma yang seakan membuat topik kesehatan mental adalah hal tabu. Padahal seharusnya kesehatan mental harus dibicarakan lebih banyak seperti layaknya kesehatan fisik. Gangguan mental juga harus direspon dan ditangani secara serius. Sama seperti saat kita pusing atau mengalami sakit pada fisik. Mental health is real. Saya juga berharap dengan semakin kita membuka diri terhadap isu-isu kesehatan mental, mereka yang mungkin mengalami gangguannya bisa merasa tidak sendirian.
Masih banyak stigma yang seakan membuat topik kesehatan mental adalah hal tabu. Padahal seharusnya kesehatan mental harus dibicarakan lebih banyak seperti layaknya kesehatan fisik.
[Disclaimer: Jika kamu salah satu orang yang memiliki pengalaman serupa segera berkonsultasi dengan para ahli kesehatan mental atau mencari komunitas-komunitas yang dapat membantu memberikan perspektif lain seperti Into The Light.)