Bayangkan: kamu sedang di gym. Baru selesai olahraga. Kamu menghampiri meja petugas untuk mengambil handuk, sambil menghitung waktu yang tersisa untuk mandi dan siap-siap sebelum kamu harus ke kantor. Kalau Semanggi macet, mungkin harus berangkat 08.30 dari sini? Apa lebih baik kirim satu-dua email dulu dari sini, baru jalan?
Kepalamu penuh dengan pikiran, kamu menunjukkan kartu ke petugas, yang balik menunjuk ke rak kosong di belakangnya. "Handuknya lagi habis."
Kamu tersentak dari pikiran-pikiran lain. Kamu teringat harganya menjadi anggota di gym ini, yang harusnya cukup untuk menyediakan bahkan hingga lima handuk per anggota. Bagaimana handuknya bisa habis? "Lho, terus bagaimana?" kamu menuntut (walaupun itu kalimat tanya, tapi jelas dari nadamu bahwa ini adalah tuntutan: you will fix this problem for me)
"Ada sih satu mbak, tapi itu handuk laki-laki."
Stop.
Setiap kali saya menceritakan kisah ini, semua pendengar bertanya hal yang sama, dan mungkin kalian juga begitu. Saya bisa menceritakan jawaban petugas itu, tapi berhentilah sejenak. Perhatikan jeda di antara stimulus yang kamu keluarkan, dan stimulus yang kamu terima.
Kamu teringat kata "sensemaking", dan ingat kembali bahwa perbedaan utama antara orang dewasa dengan anak-anak adalah kemampuan orang dewasa untuk making sense dari dunia sekitar. Namun yang universal adalah kemampuan sense-making. "Sense" itu sendiri bisa berbeda-beda di tiap individu. Artinya, saat menghadapi suatu kejadian aneh, maksudmu adalah situasi ini tidak masuk akal dengan nalar pribadimu. Bisa jadi masuk akal dengan nalar orang lain. "Namun saya logis!", katamu, yang memang benar, namun tidak relevan. Walaupun kamu logis, handuknya akan tetap habis, kecuali yang buat laki-laki. Bukan itu makna dari momen ini.
Buat saya, itulah arti time out. Sebelum mengejar gratifikasi yang di depan mata, kita berhenti sejenak, karena bukankah itu yang membuat hidup menjadi seru? Ketidaktahuan mengenai apa yang ada di depan kita. Nikmati, walaupun sementara, kemampuan kita untuk berimajinasi, menimbang-nimbang, menyatukan logika dan kreativitas untuk berpikir sebelum diberitahu. Apa kira-kira jawaban dari pertanyaan ini? Apakah karena situasi ini absurd, maka jawabannya juga absurd?
Sebelum mengejar gratifikasi yang di depan mata, kita berhenti sejenak, karena bukankah itu yang membuat hidup menjadi seru?
Cerita kedua. Saya sedang di bandara di negara lain. Setelah bekerja cukup lama di negara tersebut, saya bersiap kembali ke Jakarta. Buat kalian yang sering bepergian (itu hal lain yang baru saya sadari, sepertinya semua orang di sekitar saya suka traveling; nampaknya lingkup pertemanan saya kurang beragam), mungkin suka melakukan hal ini juga: saya ingin menghabiskan sisa koin dari negara tersebut, supaya tidak perlu dibawa ke Indonesia. Toh belum tentu saya bisa kembali lagi ke negara tersebut. Dan saya sudah duduk manis di area boarding, jadi sudah pasti tidak perlu menyimpan lagi uang negara tersebut. Plus rasanya ada kebanggaan sendiri kalau berhasil menghabiskan semua uang; artinya financial planning saya sudah akurat. Waktu itu bahkan saya telah sukses menghabiskan semua uang kertas, dan hanya tersisa 2 koin: 50 sen dan 25 sen. Apa yang bisa saya beli dengan 75 sen? Permen? Gantungan kunci? Kartu pos?
Saya sedang sibuk mencermati harga di toko suvenir, lalu telepon saya berdering. Ada seorang kawan dari negara itu yang baru sadar bahwa saya akan pulang, dan ingin mengucapkan selamat jalan. Ini adalah seorang kawan yang cukup dekat, dan saya cukup tersentuh dengan gesture itu. Tapi, saya sedang konsentrasi. Dan kawan saya terus mengobrol, bertanya tentang rencana saya selanjutnya, lima menit, sepuluh menit, sampai saya mulai mendengar panggilan untuk naik pesawat. Saya lekas berjalan menuju gate, satu tangan memegang ponsel, satu tangan membawa ransel, mulut saya berbicara, mata saya sibuk mencari sesuatu untuk menghabiskan koin-koin ini. Atau apakah ada kotak sumbangan? Yang mana sih gate-nya, kenapa angkanya tidak berurutan? Eh sorry, what did you say?
Mendadak pikiran itu muncul: kemampuan konsentrasi saya sedang memilih antara uang dan persahabatan, dan saya memilih 75 sen. Ini membuat saya terhenyak. Karena merasa bersalah, saya menceritakan momen itu pada kawan saya ("sorry to cut you off, my mind is being blown right now.."). Dan dia tertawa, lalu mengucapkan selamat tinggal. Semoga kita bisa bertemu lagi.
So, a year has passed since the last time a year has passed (omong-omong, kalimat absurd ini hasil candaan saya waktu mengucapkan ulang tahun ke Zack Petersen. Silakan dipakai untuk ucapan apapun yang frekuensinya tahunan). Tulisan ini adalah peringatan untuk diri saya sendiri, bahwa kejelasan membawa ketenangan, dan ketidakjelasan membawa ketegangan, dan seberapapun besar godaannya, sesungguhnya kita tidak ingin hidup tanpa ketegangan.
Kejelasan membawa ketenangan, dan ketidakjelasan membawa ketegangan.
Oh ya, omong-omong soal ketegangan, handuk laki-laki ukurannya lebih besar.