Definisi kebahagiaan dan cara mencapainya telah menjadi subjek perdebatan panjang sejak zaman kuno oleh berbagai filsuf seperti Plato, Socrates, Aristoteles, hingga para pemikir modern seperti David Hume, Nietzsche, dan konsep populer seperti Ikigai di Jepang serta indeks kebahagiaan nasional dari PBB.
Dalam artikel bulan lalu, kita membahas definisi kebahagiaan menurut psikolog pemenang Nobel, Daniel Kahneman. Penting untuk memiliki konteks dan pemahaman yang sama atas istilah tersebut, guna menghindari kesimpangsiuran karena interpretasi pribadi yang terlalu jauh berbeda.
Dalam artikel ini, kita akan menggunakan definisi simpel yang berlaku di masyarakat pada umumnya, yakni bahwa kebahagiaan adalah tercapainya apa yang kita inginkan. Meskipun ada aneka opini yang berbeda tentang definisi kebahagiaan, namun konsep bahwa setiap individu ingin agar keinginannya tercapai tidaklah terlalu kontroversial.
Konsep yang simpel perihal kebahagiaan ini sangat berpeluang untuk bisa memayungi seluruh opini yang berbeda-beda tentang makna kebahagiaan. Termasuk dalam hal ini misalnya pemikir yang skeptis seperti Albert Camus atau bahkan yang sinis terhadap kebahagiaan seperti Nietzsche, mereka semua tentu ingin agar pendapatnya disetujui, dengan kata lain, mereka semua tentu ingin agar keinginannya dipenuhi. Jadi kita menggunakan definisi bahwa kebahagiaan adalah tercapainya apa yang kita inginkan.
Tantangan muncul ketika kita menyadari bahwa keinginan kita itu nyatanya ada banyak macamnya dan sering kali akan menghasilkan akibat-akibat yang justru saling bertentangan. Misalnya, kita menginginkan kesehatan tetapi kita juga malas, dengan kata lain tidak ingin untuk melakukan kegiatan seperti berolahraga atau menjaga pola makan yang sehat.
Kita juga menyadari bahwa agar keinginan kita itu bisa terpenuhi ternyata kita akan menghadapi reaksi-reaksi pertentangan, baik internal maupun eksternal, berupa persaingan, penolakan, hingga pertentangan terhadap usaha-usaha untuk mencapai keinginan kita tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu mengontemplasikan secara mendalam tentang semua dorongan keinginan-keinginan kita, bernegosiasi dengan diri sendiri, dan menyimpulkan tentang apa sih prioritas kita yang sesungguh-sungguhnya? Hal ini membutuhkan kecerdasan, baik secara kognitif maupun emosional, seperti yang ditunjukkan dalam studi Marshmallow yang meneliti tentang kemampuan anak-anak dalam menunda kenikmatan atau mengendalikan diri demi mendapatkan sesuatu yang lebih besar di masa depan.
Kita tentunya tidak ingin diperbudak oleh keinginan-keinginan nikmat instan —yang kita sangka sebagai “kebahagiaan”— yang ternyata menghasilkan akibat yang justru bertentangan dengan keinginan jangka panjang kita sendiri. Kita tidak ingin hidup kita serba dipenuhi dengan hal-hal yang tidak kita inginkan sendiri, dengan kata lain serba berkonflik, dengan diri sendiri maupun dengan liyan.
Setiap orang ingin dipenuhi keinginannya. Berikutnya kita perlu menelaah keinginan yang dalam jangka panjang ternyata akibatnya malah menimbulkan hal yang tidak kita inginkan. Kebiasaan mental yang tidak terkendali yang hanya mengejar kenikmatan instan tanpa menimbang akibat jangka panjangnya kita sebut sebagai kecanduan.
Michael Huberman, seorang profesor neurosains di University of California, San Diego, yang meneliti tentang adiksi menyebut konsep "proximity to the reward" atau jarak yang dekat antara keinginan dan pemenuhannya. Ini merujuk pada gagasan bahwa semakin dekat seseorang dengan mendapatkan imbalan dari perilaku tertentu, semakin mungkin mereka akan terjerumus ke dalam kecanduan atau ketergantungan terhadap perilaku tersebut.
Semakin dekat seseorang dengan mendapatkan imbalan dari perilaku tertentu, semakin mungkin mereka akan terjerumus ke dalam kecanduan atau ketergantungan terhadap perilaku tersebut.
Huberman mempelajari tentang bagaimana otak merespons terhadap dorongan-dorongan yang memengaruhi perilaku addiktif. Salah satu temuan yang dia teliti adalah bahwa semakin dekat jarak antara tindakan atau perilaku yang mengarah pada imbalan (seperti mengonsumsi zat adiktif atau melakukan perilaku tertentu) dengan pengalaman dari imbalan itu sendiri, semakin kuat respons otak terhadap dorongan tersebut. Dengan kata lain, semakin dekat seseorang dengan "memperoleh hadiah", semakin mungkin mereka untuk berulang kali melakukan perilaku tersebut. Ini adalah dasar dari konsep "proximity to the reward" yang dikemukakan oleh Huberman. Imbalan atau hadiah adalah merujuk ke hal yang sama yakni terpenuhinya keinginan alias kebahagiaan.
Jadi kita tahu bahwa ada “kebahagiaan” yang dalam waktu jangka panjang malah membawa kepada penderitaan atau bahkan kecanduan. Ada kebahagiaan atau tercapainya keinginan yang dalam jangka panjang akan membawa kepada hal-hal yang sesuai dengan keinginan kita yang lebih besar. Tentunya kita tidak ingin membawa diri kita sendiri ke sebuah ketergantungan atau kecanduan. Kita ingin kebahagiaan yang lebih bersifat stabil dan jangka panjang.
Mempelajari, mendiskusikan, dan merenungkan banyak studi tentang kebahagiaan dan pandangan dari para pemikir besar dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih baik dan menghindari kesalahan yang tidak perlu dalam hidup ini.
Berikutnya apabila kita cermati lebih jauh pandangan-pandangan para filsuf-filsuf besar seperti Plato, Sokrates, Aristoteles dan seterusnya, tak peduli seberapa pun sophisticatednya pandangan pemikir-pemikir itu, tapi kebahagiaan yang mereka maksudkan selalu akan berada dalam batas lingkup pemikiran dan perasaan.
Pada kesempatan ini, kita ingin menyajikan satu perspektif baru yang tidak lazim di masyarakat, yakni kebahagiaan melalui meditasi dhyana. Kebahagiaan dhyana itu justru terjadi ketika pemikiran dan perasaan terlampaui. Ternyata ada ranah kesadaran yang melampaui atau di luar ranah segala pemikiran maupun perasaan-perasaan kita.
Paradoksnya, sumber kebahagiaan meditasi dhyana itu sesungguhnya ternyata sudah selalu ada setiap waktu dan tersedia dalam diri kita sendiri tanpa membutuhkan objek eksternal.
Paradoksnya, sumber kebahagiaan meditasi dhyana itu sesungguhnya ternyata sudah selalu ada setiap waktu dan tersedia dalam diri kita sendiri tanpa membutuhkan objek eksternal.
Kebahagiaan meditasi dhyana akan mulai terbit ketika gangguan-gangguan internal yang tak lain tak bukan justru keinginan-keinginan dan ketidakinginan-ketidakinginan kita sendiri itu berhasil diredakan atau dideaktifasikan.
Semoga perspektif kebahagiaan meditasi dhyana ini bisa memberi wawasan yang segar dan baru bagi para pembaca.