Self Lifehacks

Jujur dalam Bersyukur

David Irianto

@tygerd

Co-founder Greatmind & Kurator Konten

Hari ini melelahkan sekali, pekerjaan demi pekerjaan datang bertubi-tubi sampai larut malam. Melangkah lunglai keluar dari kantor hanya untuk terjebak macet di jalanan. “Kenapa jalanan masih macet jam segini, sih…” Kemudian di sela-sela mobil terlihat menyeruak sesosok lusuh berjalan perlahan, mengetuk kaca mobil dan menengadahkan tangan. Membuka sedikit jendela untuk menyampaikan sedekah sambil membatin, “Syukurlah saya masih punya pekerjaan dan berada di dalam mobil yang nyaman seperti ini.”

Jujur, seberapa sering skenario itu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari? Mungkin tidak sama persis, variasinya bisa jadi terjadi waktu kuliah, ketika kita bersyukur akan nilai tugas kita yang biasa saja karena paling tidak nilai itu lebih baik dari nilai sahabat kita. Atau saat ketemu mantan yang jalan sama gandengan baru yang terlihat tidak sekeren waktu jalan sama kita. Atau dalam omelan orang tua yang mengingatkan bahwa seharusnya kita bersyukur tersedia makanan di meja padahal ada begitu banyak anak-anak tidak bisa makan setiap hari. Rasa syukur seperti ini hadir dari perbandingan kondisi kita terhadap kemalangan orang lain.

Rasa syukur adalah perasaan berterima kasih atas apa yang telah kita terima, jadi tidak terfokus pada diri sendiri tetapi pada apa yang datang dari sekitar kita.

Memang menurut dua orang peneliti gratitude bernama Robert Emmons dan Michael McCullough rasa syukur memiliki reputasi sebagai emosi yang berorientasi orang lain (other-oriented), dengan kata lain aspek “other” menjadi pendorong munculnya rasa syukur. Rasa syukur adalah perasaan berterima kasih atas apa yang telah kita terima, jadi tidak terfokus pada diri sendiri tetapi pada apa yang datang dari sekitar kita. Sehingga rasa syukur menurut para ahli adalah lem bagi hubungan sosial yang menguatkan hubungan antara teman, keluarga, pasangan, dan menjadi tulang punggung kehidupan bermasyarakat. Tetapi kecenderungan kita untuk bersyukur dengan membandingkan diri akan apa yang kita alami dan kemalangan yang terjadi pada orang lain, merujuk kepada proses perhitungan atau pengukuran kognitif, yang tidak menjangkau jauh ke dalam lubuk hati kita. Alih-alih rasa syukur membantu membebaskan diri dari perbandingan sosial, kebutuhan akan rasa syukur malah menjebak kita dalam perbandingan terhadap kondisi orang lain. Dan ini tentunya menimbulkan masalah, misalnya ketika kita bertemu orang lain di posisi yang lebih dari kita.

Rasa syukur menurut para ahli adalah lem bagi hubungan sosial yang menguatkan hubungan antara teman, keluarga, pasangan, dan menjadi tulang punggung kehidupan bermasyarakat.

Praktik syukur seperti ini bisa menyebabkan kita iri hati ketika melihat orang yang lebih, bahkan bisa menimbulkan perasaan kecewa kepada diri sendiri. Kita bisa jadi sibuk menduga-duga ada hal yang tidak beres atau negatif dalam kehidupan mereka yang kita pikir ada ‘di atas’ kita. “Walau dia kaya raya, mungkin enggak diperhatikan sama orangtuanya,” “Istrinya cantik sih, tapi pasti engak bisa masak,” “Dia pinter banget tapi pasti enggak punya teman,” “Kariernya sukses tapi pasti kejam sama anak buahnya,” dan sebagainya. Walau memang benar kehidupan itu tidak sempurna, tapi bukan lantas kita mencoba mencari-cari hal negatif orang lain supaya kita bisa ‘bersyukur’. Dan bagi kita yang sedang berada di posisi terendah dalam kehidupan kita, misalnya dalam trauma berkepanjangan, diskriminasi sistemik, hidup dalam ancaman kemiskinan, penyakit mental dan fisik serius, ‘suruhan’ untuk bersyukur bisa jadi terasa seperti hinaan atas perjuangan menghadapi penderitaan atau kemalangan yang terjadi.

Bagi kita yang sedang berada di posisi terendah dalam kehidupan kita, ‘suruhan’ untuk bersyukur bisa terasa seperti hinaan atas perjuangan menghadapi penderitaan.

Menurut dua peneliti tadi, rasa syukur didefinisikan sebagai proses dua langkah: langkah pertama mengakui bahwa kita telah menerima sebuah hasil yang positif dan langkah kedua mengakui bahwa ada kekuatan eksternal yang membantu kita menerima hasil positif ini; bisa orang lain, takdir, semesta, atau Tuhan. Perhatikan bagaimana pada langkah pertama kita harus menyadari ada hal positif yang sudah kita terima di diri kita. Ini proses internal, menyadari bahwa sesuatu di dalam diri kita itu positif, berkelimpahan, dan baik untuk dinikmati, sehingga kita mengekspresikan rasa terima kasih. Baru pada langkah kedua kita memberikan pengakuan kepada pihak eksternal yang membuat kita menerima atau memiliki hal baik tadi. Kedua langkah ini adalah kesatuan. Langkah pertama saja bisa membentuk kita menjadi seseorang yang self-centered, tidak mengakui kontribusi orang-orang di sekitar maupun lingkungan terhadap hal-hal baik yang kita terima dan miliki. Sementara langkah kedua jika dilakukan tanpa langkah pertama malah mungkin akan membentuk insecurity karena kita merespons sesuatu yang datangnya dari eksternal sebelum mengakuinya secara internal.

Dalam TEDtalk-nya seorang biarawan bernama David Steindl-Rast menyatakan bahwa rasa syukur sejatinya terbit ketika kita mengalami atau memperoleh sesuatu yang sangat berharga tapi hal yang berharga tersebut diberikan secara cuma-cuma. Dua hal ini juga harus terjadi bersama-sama: perasaan menerima sesuatu yang berharga, sesuatu yang berharga itu kita terima tanpa syarat apa-apa.

Rasa syukur diperoleh dari pengamatan mengenai hal-hal yang sudah ada di hadapan kita: pada hal-hal yang sudah kita miliki, bukan apa yang tidak kita miliki.

Filsuf Yunani kuno bernama Epictetus memberikan gambaran yang tepat bagaimana seharusnya perilaku bersyukur itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Epictetus mengandaikan hidup seperti di sebuah jamuan makan, ketika begitu banyak hidangan dibagikan, kita mungkin mengulurkan tangan untuk membantu meraih dan meletakkannya di hadapan kita. Tetapi ketika hidangan itu disajikan melewati kita maka kita tidak mengulurkan tangan untuk menghentikannya. Kita juga tidak berlari menjemputnya tetapi menunggu sampai tiba di hadapan kita. Epictetus menggunakan kata ‘eucharistos’ untuk menyebut rasa syukur (gratitude), kata yang berarti ‘melihat’ secara sadar apa yang sebenarnya terjadi di setiap momen dan mengenali segala peluang yang diberikan secara cuma-cuma di setiap momen. Dalam perspektif ini rasa syukur diperoleh dari pengamatan mengenai hal-hal yang sudah ada di hadapan kita, pada hal-hal yang sudah kita miliki, bukan apa yang tidak kita miliki. Yang kita lihat pada diri orang lain? Hal tersebut bukan milik kita. Yang kita lihat di media sosial? Hal tersebut juga bukan milik kita. Ketika kita melepaskan keinginan untuk mengejar lebih banyak dan melepaskan kerinduan atas hal yang belum menjadi milik kita, kita memperoleh kebebasan untuk benar-benar hadir pada masa kini.

Tidak ada pencapaian orang lain yang bisa membuat kita insecure, juga tidak ada kemalangan orang lain yang membuat kita ‘bersyukur’.

Kembali ke kisah di awal tulisan ini bahwa memang rasa syukur itu muncul dari pengamatan kita terhadap momen yang kita sedang alami. Namun rasa syukur yang sejati tidak akan muncul dari membandingkan diri kita dengan kemalangan orang lain. Syukur yang sejati muncul ketika kita melihat secara sadar bagaimana di dalam sebuah momen kita menerima sesuatu yang sangat berharga yang diterima secara cuma-cuma. Dengan jujur mengakui bahwa memang dorongan rasa syukur kita selama ini salah, kita bisa mulai mengalibrasi syukur kita pada orientasi pertumbuhan, sehingga tidak ada pencapaian orang lain yang bisa membuat kita insecure, juga tidak ada kemalangan orang lain yang membuat kita ‘bersyukur’. 

David Steindl-Rast mengatakan bahwa mereka yang bersyukur tidak akan fearful (penuh rasa takut) dan mereka yang tidak dihantui ketakutan tidak akan melakukan kekerasan.

Kita akan turut tertawa bersama mereka yang memperoleh hal baik dan sedih bersama mereka yang tertimpa kemalangan. Dan bahkan menggunakan kesempatan yang kita miliki untuk berkontribusi memberikan sesuatu yang berharga kepada orang lain secara cuma-cuma dengan harapan orang lain mengalami rasa syukur sejati yang kita rasakan. David Steindl-Rast mengatakan bahwa mereka yang bersyukur tidak akan fearful (penuh rasa takut) dan mereka yang tidak dihantui ketakutan tidak akan melakukan kekerasan. Mereka akan menjalani hidupnya atas dasar rasa berkecukupan bukan didasarkan oleh rasa takut kekurangan. Jadi, jika kita bersyukur dengan cara ini kita akan menikmati perbedaan setiap manusia, menghormati satu sama lain, dan akhirnya menyadari bahwa bentuk kehidupan kita semua bukanlah sebuah piramida atas bawah tetapi sebuah jaringan yang terhubung satu sama lain yang diperkuat oleh lem rasa syukur itu tadi.

Bentuk kehidupan kita semua bukanlah sebuah piramida atas bawah tetapi sebuah jaringan yang terhubung satu sama lain yang diperkuat oleh lem rasa syukur itu tadi.

N.B.: Telah banyak penelitian yang menyatakan manfaat positif praktik bersyukur bagi kesehatan mental kita, namun praktik bersyukur bukanlah obat bagi masalah mental yang kita alami, apalagi menjadi pengganti bantuan profesional. Praktik bersyukur adalah sebuah potongan puzzle, itu akan membantu kita melihat gambar yang utuh, tetapi kita tetap butuh potongan lain untuk menyelesaikan puzzle tersebut. Jadi, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dan melakukan check-up mental secara rutin.

Related Articles

Card image
Self
Kebahagiaan yang Tidak Sehat, Sehat, dan Dhyana

Definisi kebahagiaan dan cara mencapainya telah menjadi subjek perdebatan panjang sejak zaman kuno oleh berbagai filsuf seperti Plato, Socrates, Aristoteles, hingga para pemikir modern seperti David Hume, Nietzsche, dan konsep populer seperti Ikigai di Jepang serta indeks kebahagiaan nasional dari PBB.

By Agus Santoso
17 March 2024
Card image
Self
Kembali Menemukan Diri Sendiri

Pagi berganti malam, hari berganti minggu, bulan berganti tahun, hingga akhirnya kita sampai kembali di momen bulan Ramadan. Selain tentu saja menjadi momen yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Ramadan ini adalah waktu yang tepat untuk merekatkan kembali hubungan yang sebelumnya sempat menjauh karena segala kesibukan.

By Greatmind
17 March 2024
Card image
Self
Seni Mengkurasi Hidup

Mengatur hidup dengan cermat bukanlah soal membatasi diri, tetapi lebih kepada memilih dengan bijak apa yang ingin kita pamerkan dalam galeri kehidupan kita. Sama halnya dengan seorang kurator seni yang memilih karya-karya terbaik untuk dipamerkan, kita juga perlu memilih dengan bijak dalam memilih prioritas dan menyesuaikan komitmen kita sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup yang kita inginkan.

By Gupta Sitorus
17 March 2024