Ingat tidak pada tahun 2014 sebuah film bertajuk Her diluncurkan ke tengah-tengah masyarakat? Film ini menampilkan sisi teknologi modern yang mendominasi kehidupan manusia di mana masyarakat lebih banyak berinteraksi dengan dunia maya dan elektronik canggih daripada makhluk hidup lainnya. Saking canggihnya, seseorang bahkan bisa merasa seperti punya pasangan dengan program komputer. Mengambil latar jauh di depan, banyak kritikus film menyangka bahwa film ini digagas sebagai peringatan untuk kita manusia modern yang kian hari kian tenggelam dalam inovasi. Mengapa? Karena sebenarnya inovasi memang penuh dengan “rayuan gombal” yang dapat mengambil alih otak dan hati kita di mana dapat memengaruhi perilaku sehari-hari. Tentu saja hal ini menjadi sebuah paradoks karena di balik keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan terdapat unsur manipulasi.
Inovasi memang penuh dengan rayuan gombal yang dapat mengambil alih otak dan hati kita.
Faktanya, perkembangan zaman yang tiap harinya memunculkan sesuatu nan baru menyematkan strategi pemasaran yang begitu manipulatif sehingga dapat mengubah cara pandang dan kepribadian kita. Salah satu perencanaan marketing yang tepat sasaran adalah dengan menganalisa perilaku pasar. Dalam proses ini terdapat begitu banyak rencana untuk dapat mempengaruhi pasar memandang inovasi tersebut. Di sana terdapat banyak trik-trik psikologi yang membuat kita tertarik untuk melakukan apa yang mereka sampaikan. Bahkan mereka bisa meyakinkan kita untuk merasa butuh akan apa yang ditawarkan.
Pertama-tama mari kita lihat sederetan nama besar mesin pencarian online (search engine). Kita menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, membuka salah satu mesin pencarian kemudian mulai terjebak dalam dunia maya untuk menelusuri sejumlah informasi. Para perusahaan mesin pencari ini sungguh pintar untuk menanamkan kepercayaan kita pada mereka. Dari masa ke masa kita diyakinkan bahwa informasi yang mereka sediakan adalah yang benar. Secara tidak sadar luput dari perhatian kita bahwa semua orang dapat berpartisipasi dalam pembuatan informasi tersebut. Fakta atau tidak, itu tidak lagi kita pikirkan pertama kali. Otak kita seakan-akan secara otomatis menerima apapun hasil penelusuran mesin pencarian tersebut. Kita yang sebelumnya mencari informasi dari bacaan-bacaan di perpustakaan di mana berlandaskan pengetahuan khusus dari narasumber kini menjadi malas repot. Dengan penyebaran pesan “Memudahkan dan mempercepat pencarian informasi” kita jadi kurang teliti akan akurasi. Pengaruhnya adalah timbulnya perilaku instan. Semuanya yang kita lakukan harus berbasis kecepatan dan kemudahan sehingga kini kita kurang menghargai proses.
Kita yang sebelumnya mencari informasi dari bacaan di perpustakaan di mana berlandaskan pengetahuan khusus dari narasumber kini menjadi malas repot.
Belum lagi dengan media sosial yang dapat mengonsumsi banyak emosi diri. Menurut Scott, seorang profesor marketing dari Amerika Serikat menyatakan bahwa lewat gambar yang dipublikasikan di media sosial dapat menciptakan empati. Kita secara tidak sadar memainkan perasaan saat membuka aplikasi media sosial tersebut. Ada perasaan untuk dicintai dan mencintai kala berinteraksi di media sosial. Kita seakan merasa dicintai ketika ada orang-orang yang menekan tombol Like. Begitu pula saat kita yang melakukannya demi mencurahkan rasa empati terhadap pemilik akun tersebut. Perusahaan-perusahaan besar yang meluncurkan aplikasi-aplikasi tersebut menyebarkan pesan bahwa kita “butuh” pengakuan dicintai dan mencintai tersebut. Kita dibuat seakan-akan bersalah jika tidak melakukan hal yang sama dengan kebanyakan orang. Jika tidak memberikan “empati” dengan menekan tombol Like atau tidak Follow akun-akun yang bahkan hampir tidak pernah bertatap muka. Kemudian karena kita makhluk sosial, itulah yang kita anggap dapat meningkatkan nilai sosial di dalam hidup.
Ada perasaan untuk dicintai dan mencintai kala berinteraksi di media sosial. Kita seakan merasa dicintai ketika ada orang-orang yang menekan tombol Like.
Belum lagi dengan sederetan nama e-commerce yang terus-terusan mengirimkan pesan berbelanja atau traveling. Ada saja promosi menarik untuk kita akhirnya terlibat kampanye mereka dan tanpa sadar sudah mengisi keranjang online. Karena iming-iming mudah dan cepat kita pun tanpa pikir panjang mengonsumsi barang-barang yang tidak dibutuhkan. Merasa sayang kalau tidak menggunakan voucher promosi atau kalau tidak beli tiket pesawat saat itu karena lain kali akan lebih mahal. Padahal kalau kita pertanyakan kembali sejujur-jujurnya itu sebenarnya bukanlah prioritas. Apa daya? Keyakinan dan kepercayaan kita pada nama-nama perusahaan besar itu kian lama kian mendarah daging. Kita sudah terhipnotis dengan strategi pemasaran mereka yang membuat kita seakan-akan menjadi seseorang yang lebih baik.
Sekarang coba dipikirkan kembali, apa iya kita menjadi lebih baik dengan menggunakan layanan atau produk inovatif dari merk-merk terkenal ini? Lalu jangan lupa tanyakan kembali pada diri apakah kita benar-benar butuh atau tidak. Mulailah jujur pada diri sendiri dalam menjawab ini, ya.