Kian modern dunia, kian kita memberikan banyak label dan pengertian label tersebut. Setiap kata memiliki definisi, setiap emosi memiliki interpretasi. Seperti pada kata kalah dan menang. Kita tak akan pernah tahu seperti apa rasanya menang jika tak mengerti pemahaman menang, bukan? Begitu pun sebaliknya. Namun, meski tahu arti kalah-menang, kita seringkali memberikan penerjemahan yang terlalu negatif pada kata kalah. Saat kita berada dalam sebuah kompetisi dan bukan menjadi pemenangnya kata kalah seakan-akan memberikan kita label baru: ‘pecundang’. Padahal kalau kita mau mengartikan kalah sebagai hal yang biasa saja tanpa adanya pengertian negatif berlebih kita juga tidak akan merasa diri kita kurang daripada orang lain, kan?
Perihal menjadi seseorang yang kompetitif sebenarnya sah-sah saja dan bahkan baik untuk memiliki motivasi lebih. Yang kurang baik adalah ketika kita terobsesi untuk menang dan tidak bisa melepaskan diri dari label kalah nan negatif tersebut. Kita merasa terpukul, tidak menerima kenyataan, merasa diri tidak bisa melakukan hal benar, bahkan bisa sampai meningkatkan rasa iri hati yang terlewat batas hingga melancarkan segala cara untuk terlepas dari label tersebut. Coba sekarang pikirkan kembali saat emosi meningkat kala kekalahan datang menghampiri. Banyak dari kita yang tidak bisa menerima kekalahan pasti akan sering bersungut-sungut, mencari beragam alasan mengapa bisa kalah. Kemudian bisa saja menjadi sangat manipulatif dan membuat strategi untuk mengubah keadaan demi tercapainya kemenangan. Ah, memikirkan emosi tersebut saja sebenarnya sudah tidak sehat. Apalagi benar-benar dilakukan. Rasa bersalah yang akan datang belakangan akan jauh lebih membuat diri kalah, lho.
Menjadi seseorang yang kompetitif sebenarnya sah-sah saja. Yang kurang baik adalah ketika kita terobsesi untuk menang dan tidak bisa melepaskan diri dari label kalah nan negatif.
Lalu bagaimana untuk bisa merasakan emosi yang positif saat sedang berada di kekalahan? Hal yang paling utama adalah menerima dengan ikhlas atau sering kita sebut let it go. Tidak melulu kok kita berada di bawah. Kita bisa saja ada di atas podium nomor satu suatu saat. Terus berusaha dan percaya bahwa jika waktunya tepat, kita pasti akan menang (dalam hal apapun). Ingatlah arti kata dunia fana yaitu dunia yang sementara. Ya, memang, semua hal di bumi ini sifatnya hanya sementara. Dalam satu hari saja perilaku satu pribadi bisa berubah. Tidak ada yang benar-benar dapat memastikan keesokan hari akan mengulangi kekalahan atau mengubah keadaan menjadi menang. Jadi the art of letting go menjadi langkah utama yang dapat membantu kita menerima rasa kalah tersebut. Kenyataannya, kamu tidak perlu merasa bahwa kemenangan itu bisa membawa kebahagiaan dan melengkapi hidup. Dengan berada di kondisi kalah kamu tetap bisa merasa bahagia. Semua tergantung persepsi kita dalam memberikan deskripsi pada label tersebut.
Tidak melulu kita berada di bawah. Suatu saat, kita bisa ada di atas podium nomor satu. Terus berusaha dan percaya bahwa jika waktunya tepat, kita pasti akan menang.
Yang penting lagi untuk diketahui adalah rasa kalah dapat menghantui kita dengan rasa iri hati. Kemudian perasaan itu berkembang menjadi kebencian pada orang lain karena seringnya membandingkan diri dengan orang lain. Tidak, tidak. Jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain baik saat kalah atau bahkan menang. Bandingkanlah diri dengan diri kita sebelumnya. Sejauh apa progres yang sudah dijalani hingga bisa sampai di tahap tersebut. Label ‘menang’ hanyalah bonus. Jika memang kalah, ya sudah berarti belum waktunya.
Oleh karena itu, penting untuk bermonolog dengan diri sendiri ketika pikiran kita mulai membicarakan orang lain di dalam hati. Suara-suara seperti: “ah dia kan menang karena orang tuanya kaya” atau “dia hanya beruntung saja padahal tidak ada apa-apanya dibanding saya”, bisa sangat berbahaya untuk mental kita di kemudian hari. Ibarat racun, kalimat-kalimat ini bisa menggerogoti hidup kita dan menenggelamkan diri pada sumur kebencian terdalam. Akhirnya? Kita bisa terobsesi untuk mengalahkan orang lain, menjadi individu yang bukan kita lalu malah tidak fokus pada kebahagiaan yang didamba. Mulailah mengenali suara-suara negatif tersebut dan beritahu pada diri sendiri bahwa suara tersebut hanyalah rasa iri kita bukan karena orang tersebut berbuat buruk. Cobalah untuk mulai mengontrol diri sendiri dari monolog-monolog tersebut dengan mempertemukan otak dan hati. Pikiran logis dan emosi. Ketika keduanya bisa saling berdialog, maka kamu akan semakin mahir melatih diri untuk menerima keadaan sekalah apapun dan akhirnya terbebas dari rasa kalah yang berkonotasi negatif itu.
Jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain baik saat kalah atau bahkan menang.